Sabtu, 27 Juli 2024

Membaca Kesaksian Sang Pekerja Keras

Baca Juga

 

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah (62):10)

Membaca kisah para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah membaca kesaksian. Ada yang pulang dengan kemenangan, ada pula yang kembali dengan luka dan air mata. Semua bersaksi atas kegagalan dan keberhasilannya masing-masing.

Seorang janda, di kota kelahiran saya di Jawa Timur (Jatim), sudah dua kali ini berangkat ke Negeri Jiran. Namun, dua kali itu pula ia pulang dengan tangan hampa. Katanya, ia ditipu oleh calo. Di desanya, kehidupan janda berusia kepala lima itu tidak jauh beda dengan warga lainnya. Ketika ada kendaraan motor model terbaru, ia tidak mau ketinggalan untuk kredit. Aneka perhiasan dan kebutuhan picisan lainnya ia paksa beli. Sekali lagi, dengan kredit.

Warga kampung itu lama-lama kian tenggelam dalam penyakit kronis kehidupan. Sawah warisan orang tuanya habis ia jual. Janda itu, kini telah merantau menjadi TKI di negeri Jiran sebagai pekerja rumah tangga (PRT) untuk kesekian kalinya.

Mengutip data dari LSM Migrant Care, angka kematian TKI sepanjang 2009 menyentuh angka1.018 jiwa. Angka itu cukup fantastik karena tertinggi selama satu dekade terakhir. Sebanyak 63 persennya, yakni 683 orang, meninggal di Malaysia. Selain harus meregang nyawa, tidak sedikit TKI yang menjadi korban kekerasan dan penyiksaan. Setidaknya di tahun yang sama sudah mencapai 2.878 orang dalam setahun. Data-data itu bukan sekadar angka-angka. Namun, sebuah kesaksian betapa martabat bangsa Indonesia kian merosot di hadapan bangsa lain yang mengeksploitasi pekerja.

Islam Membela Kelas Tertindas

Problematika TKI bagai dua sisi pada sekeping mata uang. Ia tak bisa dipisahkan. Pertama, problematika dari TKI sendiri. Mereka yang berangkat ke negeri orang hanya berbekal nekad. TKI, serendah apapun tingkat pendidikan dan pengalamannya, haruslah dibekali keterampilan sesuai pekerjaannya, bahasa, dan pemahaman perbedaan budaya dalam lingkungan pekerjaannya yang baru.

Hak-hak mereka sebagai tenaga kerja jangan semata diartikan hak menerima upah, melainkan hak-haknya yang paling asasi sebagai manusia. TKI semakin mengetahui hak-haknya dan tahu bagaimana cara memperoleh hak-haknya, maka akan semakin mudah bagi mereka untuk memperoleh perlindungan.

Jangan sampai eksplotasi terhadap TKI terus berlanjut. Islam menolak segala bentuk tirani, eksploitasi, dominasi, dan hegemoni dalam pelbagai aspek kehidupan: ekonomi, politik, budaya, gender, dan lain-lain. Karena Islam hadir untuk membebaskan umat manusia dari kondisi-kondisi sosial yang timpang. Al-Qur’ân menyerukan kita agar menjadi pembela kelas yang tertindas dan golongan yang lemah (al-Nisâ` [4: 75]).

Problem kedua menyangkut kondisi dan situasi negara penerima. Dalam suatu kesempatan, Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat, melemparkan pertanyaan retoris kepada saya, “Kenapa TKI di Malaysia atau di Arab Saudi secara kesejahteraan masih memprihatinkan dibandingkan dengan TKI di Hongkong atau Taiwan?” Salah satu faktornya, kata Jumhur, ialah karena negara tujuan!

Saya berharap, jawaban Jumhur saat itu bukan semata apologi atau lepas dari tanggung jawabnya sebagai institusi yang berkewajiban menuntaskan benang kusut TKI. Sebab, jika perlindungan hukum dan pembekalan negara kepada TKI masih memble atau sekadar memoles pada tataran karikatif, maka itu sama halnya dengan lepas tangan.

Pemerintah juga mesti memperhatikan persoalan strategi dalam menghadapi problem yang mungkin timbul di negara tujuan. Saya berharap TKI  kita adalah pekerja-pekerja terdidik yang dibekali ilmu psikologi, meski pada tataran taktis-implementatif. Mereka berangkat dengan bekal ilmu manajamen waktu, manajemen konflik batin, dan tentu saja ilmu teknologi agar tak gagap teknologi (Gaptek). Mereka juga sebagai pekerja yang memiliki daya pikir untuk selalu membangun masa depan lebih baik.

Kita memang tidak bisa menyangkal bahwa perputaran waktu bisa membalikkan segalanya. Para pahlawan devisa itu sebenarnya tengah menggenggam embrio kebudayaan dan peradaban masa depan di seberang benua tempat mereka bekerja. Mereka memanggul sejarah besar di perantauan yang jauh dari keluarganya.

Membaca kisah mereka adalah membaca kesaksian seorang pekerja keras yang tak mengemis pekerjaan kepada negaranya demi sebuah nasib. Bukankah Tuhan tak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya? Seperti Firman Allah dalam QS. Ar-Ra’d (13:11).[]
 


* Penulis adalah alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kini bekerja sebagai wartawan harian di Kota Solo.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya