Berabad lamanya dunia dalam sisi perekonomian selalu menyandingkan dua kutub yang saling berseberangan, buruh dan majikan, sehingga dalam putaran roda perekonomian dominasi majikan sering kali memenangkan peran dalam perekonomian tersebut, kemudian juga berseliweran persepsi bahwa “tiada buruh maka tiada majikan,” seperti yang telah terjadi pada berbagai belahan bumi – juga Indonesia pada masa kerajaan (era feodal), yang status masyarakatnya dibedakan bradasrkan kelas, kasta, atau apapun namanya. Sehingga seringkali muncul term dari Karl Marx atau lazim diucapkan oleh Para Marxis sebagai perjuangan kelas, yang telah memunculkan berbagai agresi atas ketertindasan yang di lakukan oleh para majikan terhadap buruh tersebut.
Buruh, karyawan, pegawai atau dengan istilah apapun, tetap, mereka adalah mustadz’afin atau orang yang kesejahteraannya bergantung pada orang lain, juga dengan banyaknya industri serta instansi di Indonesia, maka kuota buruh di Indonesia tersebut bertambah secara signifikan. Dan pada setiap tanggal 1 Mei di peringati sebagai Hari Buruh sedunia, dalam momen peringatan tersebut biasanya mereka menuntut kenaikan upah serta menyuarakan hak-haknya yang seringkali di abaikan oleh perusahaan atau instansi-instansi tertentu, dan karena sebagian besar buruh di dominasi oleh perempuan maka mereka seringkali menglami berbagai permasalahan yang menghinggapinya. Meskipun teks keagamaan – Islam contohnya telah banyak menyinggung permasalahan buruh tersebut, baik dalam al-Qur’an, hadist, konsensus ulama (ijma) dan lain sebagainya, akan tetapi meskipun begitu tidak sedikit buruh yang mengalami ketertindasan yang serius mengenai hal demikian, meskipun dominasi agama begitu kuat di Indonesia ini. Seperti dalam persoalan kesetaraan upah atas perempuan dan laki-laki, yang dibedakan berdasarkan waktu tenaga, profesionalitas, serta loyalitas. Dan al-Qur’an telah menyinggungnya dalam surat an-Nisa ayat 32;
للرّجال نصيبٌ مّمّااكتسبوا, وللنّسآءِ نصيبٌ مّمّااكتسبن…
“laki-laki mempunyai upah dari pekerjaan mereka, demikian juga perempuan.” (Q.S. an-Nissa: 32)
Dan karena hal tersebut menyangkut upah yang saling bersinergi dengan profesionalitas tersebut, akantetapi permasalahan yang muncul dalam dunia industri misalnya, pemberlakuan jam lembur bagi perempuan, sanksi apabila telat memasuki tempat kerja dengan alasan sholat – umpamanya, merupakan sebuah permasalahan yang jarang di lirik oleh para ulama, baik klasik dan kontemporer. Sehingga dengan berbagai referendum-referendum yang di keluarkan oleh perusahaan, kadang dirasa absurd oleh akal sehat manusia yang – sebelum kembali berbicara mengenai kelayakan upah tadi.
Prototipe atas industri demikian menjadikan berbagai permasalahan adil-gender harus sedemikian keras (jika tidak frontal) dalam menganasir persoalan yang melingkupi buruh tersebut, karena buruh laki-laki dan buruh perempuan mendapatkan porsi dan proporsi yang berbeda di ‘muka’ industri, selain mendapatkan dispensasi atas jam kerja (baca; cuti) seperti saat hamil, cuti bersama atau yang lainnya. Karena ha; ini melingkupi hak dan kewajiban buruh seperti; 1). Menerima upah secara penuh 2). Mendapat perlindungan dan jaminan sosial 3). Tidak dieksploitasi. Dari ketiga point tersebut seringkali diabaikan hak-haknya oleh para majikan – apapun pekerjaannya. Namun, dalam buruh tani memiliki deskripsi tersendiri menyangkut upah dan pekerjaan yang harus dilakukan oleh para buruh, terutama perempuan. Lantas bagaimanakah kesejahteraan permpuan dalam bidang perekonomian desa yang sebagian besarnya adalah buruh tani, terlebih mereka berumur 30-60 tahun yang kesehatannya kadang mengahwatirkan? Kemudian rentang waktu setelah masa tanam hingga masa panen kurang-lebih 2 bulan, lantas bagaimana cara mereka mendulang perekonomiannya, dalam menghidupi dirinya serta keluarganya, umpama mereka berstatus janda?
Buruh Tani Perempuan
Dalam konteks yang inheren, Indonesia yang telah masyhur dengan sektor agrarinya, maka tidak heran apabila telah mengkonstruksi buruh dari ketersediaan lapangan pekerjaan yang ada pada desa-desa tersebut, sawah contohnya, banyak sistem yang diterapkan oleh para pemilik lahan kepada para buruh yang mencakup upah, kerja, serta profesionalitasnya. Juga karena rata-rata pemilik lahan menganut tiga sistem upah yang telah secara kontinuitas berlangsung dari masa tanam hingga masa panen, ini berdasarkan penuturan seorang pemilik lahan di Indramayu, Sukaperna khususnya, (hal ini belum mencakup ngoyos atau mencabuti rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman padi); 1) ceblokan, (sebuah sistem kontrak kerja sejak masa tanam hingga panen). 2) borongan-ceblokan (memiliki perjanjian nanti ketika pada masa panen harus segera memanen, dan apabila telah jatuh tempo yang telah ditentukan oleh makjikan {biasanya 2 hari} namun buruh tersebut tidak mengerjakannya, maka hak atas panen tersebut akan dicabut atau beralih kepada majikan). 3)borongan-lepas (sistem ini hanya diterpkan untuk buruh atas tanam saja, dan tidak hak atas keikutsertaan pada masa panen).
Kemudian untuk upah yang diterima oleh buruh tani, telah sejak dulu dianut oleh masyarakat pedesaan yang telah turun-temurun dipegang. Upah ceblokan tersebut diberikan berdasarkan luas lahan serta dikordinir atau diorganisisr oleh satu orang buruh handal, contoh 1 hekatare (Jawa: 700 bata) 140 kg padi/4700 (untuk saat ini), 140 X 4700 = 658.000 dibulatkan 660.000,-, angka ini diberikan kepada buruh yang mengkordinir koleganya. Untuk borongan-ceblokan di kalikan 1,5 X harga ceblokan biasa = 1 ½ X 140 kg = 210kg atau 1,5 X 658. 000= 987.000 dibulatkan 990.000,-. Untuk borongan-lepas jumlah dari ceblokan pertama atau 658.000 X 2 = 1.316.000,- di bulatkan menjadi 1.320.000,-.
Untuk 1 hektarae sawah umumnya menggunakan 14 tenaga buruh yang telah di kordinasikan oleh front man-nya, contoh untuk ceblokan 660.000 / 14 = 47.000 sejak jam 06;00-selesai (umumnya jam 13;00), dan seterusnya, dengan angka konstan 140 kg per-hektare. Dan pada umumnya juga juga buruh perempuan mendapatkan upah 50.000 untuk tanam tersebut baik laki-laki dan perempuan, kemudian pebayaran upah diserahkan di awal (sebelum mereka bekerja pada keesokan hanyanya). Akantetapi dari hasil tersebut terdapat perbedaan yang signifikan antara buruh laki-laki dan buruh perempuan, buruh laki-laki mendapatkan nilai tambah (add value) seperti rokok. Dan buruh perempuan tidak memiliki nilai tambah apa-apa, perbedaan tersebut dikarenakan buruh laki-laki selain pekerjaan utamanya mencabut benih padi, juga mereka ikut pula menanam benih padi seperti yang dilakukan oleh buruh perempuan tadi, maka tidak heran apabila mendapatkan nilai tambah dari upah tersebut.
Dalam sistem pembayaran teresebut memang terdapat perbedaan akantetapi relativitas tetap ada dalam memperlakukan perempuan di dalamnya, dalam masyarakat agraris perempuan seringkali ditempatkan pada suatu kehormatan (tempat) yang luar biasa[i], mengingat ketahanan fisik serta kondisi tubuh yang sama sekali berbeda dengan laki-laki, maka perempuan dalam sektor agrari tersebut sudah barang tentu mendapatkan posisi yang berbeda dengan laki-laki, meskipun praktik dilapanga kadang berbeda, perempuan lebih giat dibanding laki-laki. Kendati demikian, seperti yang kita ketahui dua sifat dasar yang memberi ciri khas pada perempuan adalah sebagai berikut: penguasaannya atas dunia yang kurang luas dibanding laki-laki, dan ia lebih erat diperbudak oleh spesiesnya[ii]. Walau begitu buruh perempuan tetap saja memiliki tidak membuang perasaan halusnya, mereka menerima dengan taken granted atas apa yang dilakukan oleh majikan, buruh laki-laki atau yang berbeda jenis kelaminnya. Dan dengan upah yang diterima tersebut buruh perepuan tidak banyak memberikan pertanyaan atas ketimpangan itu, melainkan dengan sikap legowo-nya mereka bisa untuk tidak kritis, selain memang sudah kesepakatan yang telah dibentuk oleh para tuan tanah atau majikan tadi. Dan dalam dunia buruh pertanian tiada mengenal istilah pemogokkan, tetapi protes kadang terjadi pada saat pembagian lahan garapan pada masa panen, di sebabkan majikan tidak adil dalam pembagian atau salah seorang buruh mengambil hak buruh lainnya (Jawa; ngambat galeng).
Ekonomi Buruh Tani Perempuan
Mengutip dari roman Arus Balik bahwa “Keringat kita, kita teteskan di atasnya dan panen pun jadi” hingga kemudian “Hujan jatuh membawa kesuburan. Dan keringat jatuh membawa kesejahteraan”[iii] hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Nabi Muhammad dalam sebuah hadist;
أعطوا الأجير أجره قبل أن يجفّ عرقه
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering”
Maka selain menjadi buruh tani, para perempuan tadi juga mencoba profesi lainnya seperti melakukan perdagangan, pedagang keliling (Jawa; mider), atau menjadi buruh cuci untuk tetangganya yang memiliki status-sosial yang lebih beruntung darinya. Dengan begitu mereka terus melangsungkan kegiatan perekonomian meskipun dalam lingkup desa yang memiliki notabe minim dalam perekonomian jika dibandingkan dengan kota, karena desa merupakan produsen atas kota. Kemudan permpuan yang memiliki fungsi ganda dalam kehidupan; produksi dan reproduksi, memungkinkan banyaknya kesejahteraan yang harus didapatkan demi mencukupi kebutuhannya. Berlainan dengan hal demikian, banyaknya teori yang mengatakan tentang buruh (terutama tani) sudah barang tentu pada saat yang sama, posisi dari dari suatu teori tidaklah menjadi salah satu dari spekulasi semata,[iv] sehingga apa yang tertera dalam spekulasi upah di atas tentu sama sekali berbeda dengan upah yang terdapat pada daerah lain. Perempuan yang seringkali diposisikan sebagai manusia kelas dua dalam dunia ini – dalam beberapa persepsi, telah tereduksi dengan sendirinya, dan dengan upah yang dikatakan ‘pas’ dalam proporsi desa maka perempuan yang berstatus janda di desa harus memberlakukan kerja ekstra demi mencukupi kehidupannya, selagi menunggu masa panen tiba, dengan menjadi buruh lagi tentunya.
Dengan kedua fungsi dalam kehidupan yang demikian perempuan bergulat dengan status quo laki-laki yang menguasai perekonomian dalam status yang sama tersebut – buruh. Dan dengan kelenturan majikan, maka buruh perempuan di sawah mendapat perhatian yang maksimal, seperti jaminan sosial apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam masa kerjanya, oleh karenanya hal demikian menjadi tenggungan majikan cost entry. Mengingat dalam kurun waktu belakangan pemuda-pemudi kini enggan ke sawah, dan memilih industri sebagai parameter ke-buruhan-nya, dengan alasan yang variatif dan juga dengan genjatan modernisasi, industrialisasi, dan peran aktif teknologi yang pada akhirnya menggeser post vital desa tersebut. Dan dengan derasnya ketiga arus tadi maka desa yang merupakan sebuah representasi atas negara tersebut harus tergadaikan oleh pergeseran-pergeseran pola pikir serta pola hidup tersebut. Lupakan sarjana pertanian dan aktivisnya, karena sibuk menghisap para mustad’afin tadi, dengan cara menjual pupuk, yang dengannya bisa menyebabkan ketergantungan tanah atas pupuk tersebut. Dan berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan oleh Tan Malaka dalam Semangat Muda-nya dalam menasehati para pemuda-pemudi tersebut;
Kawan-kawan!!
“Janganlah segan belajar dan membaca! Pengetahuan itulah perkakas kaum hartawan (yang) menindas kamu. Dengan pengetahuan itulah kelak kamu akan bisa merebut hakmu dan hak rakyat…”[v]
Maka sudah semestinya dalam peringatan May Day ini kaum muda ‘turun aksi’ dalam merasakan serta turut serta dalam usaha memperkuat perekonomian yang menjadi titik vital desa tersebut, bukan sebalikya. Karena apa yang terjadi dalam desa pun kompleks – sebetulnya, hanya saja apa yang dikatakan desa selalu mengalir bagai suasananya yang sejuk. Namun intrik sosial di dalamnya begitu mencengangkan.
[i] Second Sex(Fakta dan Mitos), Simone de Beauvoir, Penerjemah Toni B. Febrianto, Narasi; cet; 1 Yogyakarta. Hlm 94.
[ii] Ibid, hlm 72.
[iii] Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer, Hasta Mitra; cet; V Yogyakarta. Hlm 9.
[iv] Manusia Satu Dimensi (One Dimension Man), Herbert Marcuse, terjemahan silvester G. Sukur, Narasi; cet 1 Yogyakarta. Pengantar xxii.
[v] Semangat Muda, Tan Malaka.