Oleh: Abdul Rosyidi
Pada saat Syarif Hidayatullah mendarat di Cirebon, pertama kali dia menemui Uwaknya, Pangeran Walangsungsang. Oleh Walangsungsang, Sunan Gunung Jati disarankan untuk tidak langsung menyiarkan agama Islam.
Syarif Hidayatullah disarankan untuk berguru dulu kepada Syekh Nurjati yang berada di daerah Gunung Jati. Di tempat itulah, Syekh Nurjati memberikan wejangan kepada keduanya. Berdasarkan salah satu sumber, wejangan itu berisi beberapa hal.
Tapi satu yang penting adalah pesan kepada Syarif Hidayatullah untuk tidak tergesa-gesa menghadapi umat beragama lain (pemeluk agama Buddha). Dia disarankan untuk berguru dulu kepada Sunan Ampel dan Syekh Quro.
Dalam pandangan Syekh Nurjati, dua guru tersebut menggunakan metode yang baik dalam menghadapi masyarakat yang kebanyakan beragama Buddha. Sunan Ampel di Jawa bagian Timur (Majapahit) dan Syekh Quro di daerah Jawa bagian Barat (Padjadjaran).
Syekh Nurjati juga berpesan agar orang Jawa selalu menjunjung nilai-nilai moral Jawa seperti saling menghargai dan menghormati orang yang berbeda. Utamanya dalam relasi antara golongan tua dan golongan muda.
Pesan penting lainnya adalah agar Syarif Hidayatullah tetap berpegang teguh pada prinsip ajaran syariat, hakikat, tarikat, dan ma’rifat. Tidak hanya pada salah satu dari empat ajaran tersebut.
Dalam buku “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”, KH Abdurrahman Wahid, memerinci alasan kenapa Sunan Ampel dinilai berhasil dalam mengembangkan dakwah Islam di Jawa.
Sunan Ampel saat itu berjuang mengusahakan hak orang Islam untuk bisa hidup di bawah kekuasaan raja/penguasa non-muslim. Sunan Ampel mengakui kekuasaan Brawijaya V yang beragama Hindu-Buddha (Bairawa). Beliau tidak menolak Brawijaya ataupun mengatakan “kafir” kepada raja.
Memperkenalkan Islam kepada sistem kekuasaan yang ada, menurut Gus Dur, jelas menekankan pendekatan budaya daripada pendekatan ideologis yang sangat berbau politik. Dalam usaha mengenalkan Islam lewat jalan kebudayaan, Sunan Ampel juga menggubah sebuah lagu yang liriknya masih kita kenal hingga sekarang, “Lir-Ilir”.
Dalam lagu itu, Sunan Ampel menggunakan simbol-simbol budaya Jawa untuk menjelaskan hubungan masyarakat dengan penguasa. Lagu tersebut menggambarkan bagaimana rakyat, dengan segala keterbatasannya, menghadap raja (seba), dalam situasi yang damai, terang, dan lapang.
Dari sinilah kita bisa memetik pelajaran, Islam yang disebarkan para Wali tidak bermaksud mengubah kultur masyarakat. Tapi justru membiarkan kultur tersebut berubah dengan sendirinya melalui pranata-pranata lain. Strategi budaya ini akan membutuhkan waktu yang panjang, berubah dari generasi ke generasi.
Berbeda dengan pendekatan ideologis yang selalu menekankan pada perubahan struktur masyarakat dan mengganti sistem kekuasaan yang ada.
Hasil berguru Syarif Hidayatullah (yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati) kepada Sunan Ampel pun terlihat dari pendekatan dakwah beliau di Cirebon dan sekitarnya. Beliau tidak mengubah kultur dan sistem kekuasaan, meskipun kesempatan untuk melakukan itu terbuka lebar karena kedudukannya sebagai raja.
Sistem kekuasaan Kerajaan Cirebon masih mengadopsi sistem Padjadjaran dan sistem kerajaan lokal Singhapura. Hingga sekarang jejaknya masih dikenal misalkan birokrasi kekuasaan dari atas ke bawah hingga ke tingkat Gegeden, Kabuyutan, dan Soma.
Di Cirebon, ajaran-ajaran Islam pun banyak dikenalkan lewat kesenian seperti seni wayang, berokan, topeng, tayuban, dan sebagainya. Pendekatan budaya seperti ini mempunyai ciri tidak menekankan pada formalisasi ajaran Islam, melainkan menciptakan kehidupan yang mencerminkan “nilai-nilai Islam” dalam setiap aspek kehidupan.[]