Direktur Migrant Care Anis Hidayah mengatakan tenaga kerja wanita Indonesia belum menikmati manfaat langsung uang yang mereka hasilkan dengan bekerja di sektor domestik di luar negeri. Meskipun buruh migran, mayoritas perempuan, mendatangkan uang yang sangat besar, buruh migran perempuan tidak mempunyai kontrol atas uang tersebut.
“Sebenarnya Rp80 triliun setiap tahun yang mengalir ke Indonesia. Itu remitansi yang dihasilkan buruh migran yang mayoritas perempuan,” kata Anis Hidayah kepada BBCIndonesia.com dalam konferensi 100 perempuan yang diadakan BBC di London, Jumat 25 Oktober.
Dana sebesar itu mampu menggerakkan pembangunan di tingkat nasional maupun desa-desa yang mungkin relatif stagnan tanpa pergerakan uang dari buruh migran.
“Remitansi juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dasar buruh migran, misalnya untuk bersekolah, untuk tetap bisa makan, untuk membangun kehidupan yang layak tetapi problemnya belum ada suatu program yang lebih sistematik bagaimana menggunakan remitansi lebih sistematik,” jelasnya.
Oleh karena itu sebagian besar penghasilan buruh migran digunakan melunasi utang untuk menutupi biaya migrasi yang tinggi.
Akses pendidikan
Karena sebagian besar remitansi tenaga kerja digunakan untuk membiayai keluarga dan membayar utang, lanjut Anis Hidayah, maka buruh migran perempuan tidak menikmati langsung penghasilan sendiri.
“Memang kemudian tidak banyak manfaat yang dirasakan secara langsung,” ungkapnya.
“Mereka menghasilkan uang tapi dalam banyak kasus mereka tidak punya keputusan untuk bagaimana menggunakan uang karena keputusan ada di tangan keluarga yang mayoritas adalah laki-laki sebagai pengambil kebijakan.”
Selain menjadi tulang punnggung keluarga, perempuan, seperti dibahas dalam konferensi 100 perempuan di BBC, telah menempati jabatan penting di politik, bisnis dan kehidupan sehari-hari selama 100 tahun terakhir.
Namun pencapaian itu belum cukup.
“Kita harus memiliki akses ke pendidikan, kita harus terwakili penuh di politik … kita harus setara di mata hukum,” tegas utusun khusus PBB untuk kekerasan seksual, Zainab Bangura.
Bangura juga mengisahkan pengalaman hidupnya ketika ia dan ibunya diusir oleh sang ayah dari rumah mereka di Sierra Leone karena Bangura menolak menikah pada usia 12 tahun.
sumber: http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2013/10/131025_perempuan_pemberdayaan.shtml