Minggu, 22 Desember 2024

Dialog dan Sastra

Baca Juga

 

Persahabatan dalam bentuk apapun membutuhkan dialog, tanpa jalannya sebuah dialog, ia berhenti pada tataran kepentingan minus tujuan, apalagi persahabatan. Orang membutuhkan dialog, sepanjang hidupnya, dari mana latarbelakang, bermacam cara dan kebutuhannya. Problematika akan terus melingkupi kehidupan manusia. Banyak dari kita takut menghadapi masalah, meski tak sedikit yang berani pasang badan menyelesaikannya. Di tengah proses itu, dalam setiap masalah, senantiasa ada jalur kompromi. Dialog adalah bentuk kompromi yang paling nyata.

Sokrates mampu menyelesaikan masalah rakyat Yunani Kuno melalui jalan dialog, yang kemudian hari terlahir seorang murid yang mengilhami jutaan manusia sampai hari ini. Platon namanya. (literatur Indonesia mengenalnya dengan nama Plato, saya akan tetap memakai dengan nama asli berdasarkan teks Yunani).  Ia adalah murid Sokrates, yang hidup pada alam pikiran Yunani Kuno di zaman Kekaisaran Romawi, tahun 428-346 SM. Ilmu dan pengetahuan yang kita rasakan sekarang tak terlepas dari pikiran-pikiran jenialnya, seorang yang juga membidani banyak karangan untuk tokoh-tokoh besar dunia.

Bagi Platon, Sokrates punya tempat tersendiri di hidupnya, yang begitu khas, seperti kekhasan pola-pola dialog yang ia praktikkan sewaktu mengajak masyarakat di Athena, Yunani agar mudah mengenyam iklim demokrasi. Tanpa henti, letih, sampai akhirnya kenyataan pahit tak terpemanai ia dapati: hukuman mati! Penguasa boleh merenggut jiwanya, tapi tidak dengan pikiran-pikiran deras mengalir ke murid-muridnya, termasuk Platon sendiri. Dari sekian jasa yang terukir, ilmu tentang dialog menempati urutan yang istimewa, seperti yang termaktub dalam “Lysis”, karangan panjang Platon yang bercerita banyak hal, utamanya tentang kehidupan, persahabatan, dan ilmu pengetahuan.

Lysis adalah perpaduan unik sebuah dialog. Berlatar di sebuah lapangan sepakbola, tokoh-tokoh yang dalam alur cerita digambarkannya secara segitiga: dua orang yang menaruh rasa cinta pada manusia dan dunia.  Di situ kita bisa mengambil benang merah: dialog tidak mesti paralel dua orang atau lebih yang saling berkomunikasi, tapi juga bahwa ia masuk ke ke ranah yang superfisial: memahami pikiran liyan. Di sini peran liyan itu adalah perbedaan, ya persis: merayakan perbedaan. Puncak dari dialog yang menubuh dalam praktik merayakan perbedaan itulah, yang kemudian hari orang menafsirkannya dengan cinta.

Kisah Sokrates-Platon berikut karangan Lysis-nya bukan sekadar nostalgia. ia adalah korpus sejarah. Di tengah iklim kehidupan hari-hari ini yang dijejali syak-wasangka, kecurgiaan dan kebencian. Dalam konteks di Indonesia, yang lebih riil misalnya, orang dengan mudahnya mengadaptasi kebencian, informasi yang mengundang orang untuk berbuat kekerasan. Di satu sisi, sosial media menyuguhkan kemajuan, di sisi lain, ia acapkali digunakan untuk beragam kepentingan yang menyulut permusuhan. “Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat”, barangkali padanan dari sebuah gambaran layar di sosial media kita.

Sebuah fakta menarik yang dilansir oleh Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin Prof Dr Bambang Pranowo—yang juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Dengan rincian fakta-fakta yang menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia.  Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom

Gambaran itu cukup jelas, betapa ada hal yang tergerus dari cara persahabatan kita. Saya menggambarkan ini sebagai sepenggal fakta menarik bagaimana orang tidak lagi mudah bersahabat dalam era digital seperti sekarang ini. Adakah hal-hal yang disebut dalam penelitian di atas baru dalam satu aras, yakni dunia pendidikan. Ironisnya, pada point “setuju pada kekerasan untuk solidaritas agama” menabalkan keadaan yang sungguh-sungguh menggerus nilai inti persahabatan itu sendiri. 

Sejatinya kita bisa memulai langkah memperbaiki cara bersahabat kita –lintas generasi dan lintas suku, agama, dengan kembali menelaah karya sastra. Platon mengilhami dengan karya Lysis-nya. Ada juga pengarang ternama di Indonesia yang paling mutakhir: Pramudia Ananta Toer. Keseluruhan novelnya, menggambaran betapa membangun sebuah “nation state” itu melalui perjuangan yang tiada henti, juga proses yang tiada akhir. Praktis, jika masih terdapat anak didik bangsa kita yang hidup di zaman reformasi, yang masih sangsi dengan ideologi bangsa patut dipertanyakan bagaimana cara ia membaca sejarah negaranya sendiri.

Hal lain, yang juga diungkapkan oleh Universitas Toronto, Kanada, Amerika, menerbitkan sebuah Jurnal yang bertema “Creativity Research”. Maja Djiki, ketua program penelitian itu mengungkapkan dengan  membaca karya fiksi bermutu, orang bisa terhindar dan terlepas dari gangguan rasa tidak nyaman akan ketidakpastian. Begitulah kesimpulan penelitian mereka. Untuk penelitian tersebut, 100 mahasiswa dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok diminta memilih satu esai di antara delapan pilihan esai yang ditulis oleh orang-orang terhormat seperti George Bernard Shaw dan Stephen Jay Gould. Kelompok kedua diminta memilih dan membaca satu cerita pendek. Cerita-cerita pendek itu ditulis oleh penulis ternama seperti Wallace Stegner, Jean Stafford, dan Paul Bowles.

Setelah membaca esai atau cerita pendek, peserta mengisi survei untuk mengukur kebutuhan mereka akan kepastian dan stabilitas. Hal ini menggunakan model pengukuran Need for Cognitive Closure Scale yang diperkenalkan Kruglanski. Studi ini menemukan bahwa mahasiswa yang membaca cerita pendek memiliki skor lebih rendah daripada mereka yang membaca esai — yang berarti mereka kurang bermasalah pada ketidakpastian. menyitir Djiki, “paparan karya sastra dapat menawarkan cara bagi seseorang untuk lebih berpikiran terbuka.”

Pada kesimpulan akhir dalam penelitain itu, ketiga ilmuwan ini mendorong agar lembaga pendidikan memberikan ruang yang lebih serius atas seni dan humaniora. Menelaah karya sastra, lanjutnya, bisa membuat seseorang memiliki cakrawala pikiran yang lebih lapang dan membantu mereka untuk bisa menyelami dan menerima perspektif orang lain. Mereka pun menjadi lebih kreatif dalam mengambil keputusan. Setiap keputusan bergantung pada kebersaman dan kenyamanan banyak pihak. Karena sebuah persahabatan dimulai dengan dialog, maka karya sasta menyediakan inspirasi kepada khalayak akan kebutuhan dialog dan persahabatan itu sendiri. Persahabatan yang terbentuk dari rasa cinta, sebagaimana Pramudia bilang, “Aku mencintaimu lebih dari apapun, selagi kau masih menulis. Juga sastra.

 

 

 

Penulis adalah Ketua Pemuda Lintas Iman (Pelita) Cirebon,  Fasilitator Sekolah Cinta Perdamaian (Setaman) Majalengka.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya