Sabtu, 27 Juli 2024

Mengukur Kebebasan Beragama di Jawa Barat 2014: Catatan dari Indeks Demokrasi Indonesia

Baca Juga

Pers Release

 

Mengukur Kebebasan Beragama di Jawa Barat 2014:

Catatan dari Indeks Demokrasi Indonesia

 

Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Wakaf Paramadina bersama jaringan Program Respect and Dialogue Project (READY) di Jawa Barat melakukan studi tinjauan terhadap pengukuran kebebasan beragama yang merupakan bagian dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dengan mengambil kasus Jawa Barat pada 2014.

Pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia meningkat sejak dasawarsa terakhir, namun di tengah banyaknya laporan, pengukuran dan data yang reliabel untuk kebebasan beragama lintas-daerah masih terbatas. Irsyad Rafsadi (Ketua Tim Peneliti PUSAD Paramadina), melihat bahwa “Jawa Barat menjadi kasus utama studi ini karena provinsi ini selalu mendapat peringkat terburuk dalam laporan-laporan lembaga masyarakat sipil. Hal ini berbeda dengan IDI yang menilai skor kebebasan beragama Jawa Barat tidak separah Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat atau Kalimantan Selatan. Ini menimbulkan teka-teki yang menarik untuk dikaji.”

Penghitungan ulang indeks kebebasan beragama Jawa Barat pada 2014 menggunakan model pengukuran IDI dengan beberapa penyesuaian. Kami menambah sumber data dengan tiga surat kabar kota dan mewawancara perwakilan kelompok minoritas keagamaan. Selain menghitung ulang indeks provinsi, kami juga mencoba menggunakan model pengukuran IDI untuk menghitung indeks kabupaten/kota dengan mengambil enam kasus: Kota dan Kabupaten Sukabumi; Kota dan Kabupaten Cirebon; serta Kota dan Kabupaten Tasikmalaya.

Secara konsep, definisi IDI mengenai kebebasan beragama sebagai “kebebasan individu / kelompok masyarakat untuk menjalankan agama dan keyakinan yang dianutnya tanpa adanya paksaan dari siapapun” masih terlalu umum; model pengukuran kebebasan beragama IDI memiliki banyak kesamaan dengan model pengukuran internasional, yakni aturan tertulis, tindakan atau pernyataan pejabat, ancaman atau tindakan kekerasan satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain. Namun IDI tidak memperhitungkan aspek favoritisme.

Dalam hal menghitung insiden, sering luput menghitung kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama yang berkepanjangan. Penolakan rumah ibadat yang sudah memenuhi syarat atau pengusiran karena keyakinan agama, misalnya, hanya dihitung sebagai satu insiden, meskipun kasusnya berlangsung selama beberapa tahun, kecuali jika dilaporkan di media di tahun setelahnya. IDI juga hanya mencatat peraturan yang secara tekstual restriktif saja, sehingga sering luput menghitung peraturan-peraturan “abu-abu” yang sering mendasari tindakan diskriminatif dan kontroversial.

Untuk itu, kami mencoba menghitung ulang skor indeks Jawa Barat dengan sejumlah penyesuaian, diantaranya dengan menambah sumber surat kabar dan mewawancara kelompok minoritas agama, ujar Irsyad Rafsadi. Temuan kami tidak banyak berbeda dengan IDI (69,27) atau masih dalam kategori “baik.” Skornya berbeda ketika kami menambah tiga surat kabar tingkat kota/kabupaten sebagai sumber data dan mewawancarai berbagai kelompok minoritas. Lebih banyak lagi peristiwa yang tercatat sehingga skornya pun turun drastis (41,73) dan masuk kategori “buruk.” Yang terburuk adalah indikator kedua, tindakan/pernyataan pejabat yang membatasi (37,50), lalu disusul indikator aturan tertulis yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama (47,83).

Selain menguji penghitungan untuk provinsi, kami juga mencoba menggunakan model pengukuran IDI untuk menghitung skor indeks kabupaten. Daerah dengan skor terburuk adalah Kabupaten Sukabumi (49,46) dan Kabupaten Tasikmalaya (61,05), disusul Kota Tasikmalaya (76,83) dan Kota Sukabumi (79,84).

Dari hasil riset ini, kami merekomendasikan: pertama, IDI perlu menambah sumber data dengan satu atau dua surat kabar provinsi sebagai pembanding. BPS Kota/kabupaten dapat diberi mandat yang lebih tegas untuk membantu BPS provinsi. Untuk dapat mencatat pembatasan dan diskriminasi sehari-hari, BPS mesti mulai melibatkan kelompok minoritas keagamaan dalam FGD dan dalam wawancara. Terakhir, tapi yang paling penting, IDI perlu menghitung peraturan dan tindakan di tingkat nasional dalam rumus indeksnya.

Kedua, mengembangkan penelitian dengan membuka peluang studi, misalnya dengan mengaitkan kebebasan beragama dengan aspek-aspek pemenuhan hak asasi manusia lainnya, juga dengan persoalan-persoalan seperti konflik, pertumbuhan ekonomi, pembangunan, dan sebagainya.

Ketiga, dalam kerangka advokasi kebebasan beragama, laporan IDI berpotensi untuk dijadikan alat untuk mendorong perlindungan kebebasan beragama yang efektif. Meskipun laporan IDI tercantum dalam RPJMN dan menjadi rujukan pemerintah di beberapa provinsi, sayang jika prosesnya tidak sesuai harapan dan hasilnya tidak mengubah keadaan.

Keempat, dalam rangka penyusunan kebijakan pemerintah, IDI diharapkan dapat mempublikasikan data mentah atau hasil pengodean setiap provinsi, sehingga hasil indeks dapat dipertanggungjawabkan dan pemerintah daerah dapat mengetahui persoalannya dan segera mengatasinya. Selain itu, pemerintah daerah mesti membuat target perbaikan dan peningkatan perlindungan kebebasan beragama dari tahun ke tahun: bentuk kelompok kerja kebebasan beragama dengan berbagai pihak; hapus perda yang bermasalah, dan selesaikan kasus-kasus sektarian dan tempat ibadat yang berkepanjangan.***

 

Kontak Info:

Ali Nur Sahid (Staf Komunikasi PUSAD Paramadina)

Tel: 08568997483 Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

Web: www.paramadina-pusad.or.id Twitter: @PusadParamadina

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya