Selasa, 24 Desember 2024

Eksistensi dan Peran Ulama Perempuan

Baca Juga

Oleh : KH Husein Muhammad

Kongres Ulama Perempuan (KUPI), di Pesantren Kebon Jambu Ciwaringin Cirebon, 24-27 Juli 2017 adalah momen bersejarah gerakan perempuan muslim Indonesia yang sukses. Keberhasilan ini berkat perjuangan tak kenal lelah para aktivis hak-hak kemanusiaan perempuan. Perhelatan itu merupakan puncak dari perjuangan cukup panjang mereka, termasuk di dalamnya para santri. Saya merasa bersyukur telah menjadi bagian dari serangkaian proses panjang untuk mencapai sukses besar ini. Dan saya ingin sedikit berbagi pengetahuan atas proses ini.

Diawali kajian kitab kitsb Syarh Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zawjain oleh Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Puan Amal Hayati. Lembaga ini didirikan oleh Gus Dur, Ibu Shinta, saya dan lain-lain. Ini tahun 1999. Pengajian ini diikuti oleh para santri antara lain ibu Sinta, Masdar F. Masudi, Ny. Djudju Djubaidah, Juju Zuhairiah, Farhah C, Badriyah Fayyumi, Dr. Faqihuddin A. Kodir, Dr. Syafiq Hasyim, Dr. Ahmad Lutfi Fathullah dan saya dll. Gus Dur sesekali ikut mendengarkan.

Kajian ini memfokuskan diri pada Takhrij (penilaian) terhadap hadits-hadits yang ada di dalamnya dari aspek “Sanad“. Hasilnya cukup mengagetkan. Kitab yang menjadi salah satu sumber rujukan masyarakat muslim, khususnya pesantren, tentang relasi suami-istri ini mengandung sejumlah besar hadits yang tidak valid, “dha’if“, bahkan “La Ashla Lah“. Hadits yang sahih jauh lebih sedikit. Adalah menarik bahwa hasil kajian ini yang kemudian diterjemahkan menjadi “Wajah Baru Relasi Suami-Isteri”, oleh FK3, menimbulkan reaksi keras dari sejumlah kiyai Pesantren. Mereka menulis buku “Menguak Kebatilan dan Kebohongan Sekte FK3”. Sebuah dialektika yang menarik.

Kemudian Himpunan Rahima. Sebuah LSM yang memfokuskan diri pada kerja-kerja pendidikan dan pusat informasi keislaman untuk kesetaraan dan keadilan gender. Ia didirikan oleh antara lain K.H. Muhyiddin Abdusshomad, Ny. Shinta Abdurrahman Wahid, Dr. Azyumardi Azra, saya dan lain-lain. Salah satu program yang penting dicatat adalah Kaderisasi Ulama Perempuan. Selama kurun waktu 3 tahun, Rahima menyelenggarakan pendidikan kader ulama perempuan. Diikuti oleh para santri dari berbagai daerah di Indonesia. Kaderisasi ini telah menghasilkan lebih dari seratus lima puluh kader ulama perempuan.

Lalu Fahmina Institute. Sebuah kembaga yang didirikan tahun 2000 oleh putra-putra kiyai di Cirebon. Ia menjadi pusat kajian Islam untuk keadilan dan kemanusiaan.

Fahmina melakukan serangkaian pendidikan gender dalam perspektif Islam, kajian tentang Demokrasi, Pluralisme dan Hak-hak Asasi Manusia untuk para kader pemimpin Perempuan Pesantren, dan para aktivis Hak Asasi Manusia, nasional dan internasional. Fahmina menerbitkan modul : “Dawroh Fiqh Perempuan, Modul Kursus Islam dan Gender”. Modul ini bukan hanya digunakan para aktifis hak-hak Asasi Perempuan di Indonesia, tetapi juga untuk pelatihan Islam dan Gender para aktifis di sejumlah negara. Fahmina juga menerbitkan sejumlah kitab, buku dan buletin.

Tak lama kemudian Alimat berdiri saat saya masih aktif di komisi Nasional anti Kekerasan terhadap perempuan. Alimat berarti perempuan-perempuan ulama, cendikia, ilmuan dan sejenisnya. Di dalamnya berhimpun tokoh-tokoh perempuan cendikia dari beragam organisasi dan Lembaga Pendidikan Tinggi Islam. Mereka bekerja untuk melakukan advokasi kebijakan negara untuk keadilan jender, khususnya dalam ranah rumah tangga.

Deklarasi KUPI

Kongres Ulama Perempuan Indonesia, menghasilkan sebuah ikrar ulama perempuan yang disebut Ikrar Kebon Jambu. Didalamnya dinyatakan dengan tegas bahwa;
-Perempuan adalah manusia yang memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana laki-laki melalui akal budi dan jiwa raga. Semua ini adalah anugerah Allah Swt yang diberikan kepada setiap manusia yang tidak boleh dikurangi oleh siapapun atas nama apapun.

– Sepanjang sejarah Islam sejak masa Rasulullah Saw, ulama perempuan telah ada dan berperan nyata dalam pembentukan peradaban Islam, namun keberadaan dan perannya terpinggirkan oleh sejarah yang dibangun secara sepihak selama berabad-abad. Kehadiran ulama perempuan dengan peran dan tanggung jawab keulamaannya di sepanjang masa pada hakikatnya adalah keterpanggilan iman dan keniscayaan sejarah.

Bagi saya Ikrar Kebon Jambu tersebut merupakan deklarasi tentang Re-Eksistensi Ulama Perempuan. Ulama Perempuan sesungguhnya telah eksis dan berperan aktif dalam ruang-ruang sosial, budaya, ekonomi dan politik sepanjang sejarah dan memberikan sumbangan yang berharga bagi peradaban Islam dan dunia dalam berbagai bidang pengetahuan dan sains. Para sejarawan telah menghimpun nama ribuan ulama perempuan tersebut. Sayang sekali fakta-fakta sejarah ini kemudian tenggelam dalam tumpukan produk-produk kebijakan politik patriarkisme.

Tugas Ulama Perempuan

Sebagai pewaris Nabi, tugas utama Ulama perempuan bersama ulama laki-laki adalah melanjutkan misi-misi profetik, menyebarkan ilmu pengetahuan, membebaskan manusia dari sistem penghambaan kepada selain Allah SWT, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, memanusiakan semua manusia, dan menyempurnakan akhlak mulia demi mewujudkan visi kerahmatan semesta (Rahmatan lil Alamin).

Pertanyaan kita hari ini adalah apakah hal paling utama yang harus dilakukan oleh ulama perempuan?. Terhadap pertanyaan ini saya lebih dulu ingin menyampaikan beberapa hal yang menjadi kegelisahan saya :

  1. Sumber-sumber pengetahuan keagamaan kaum muslim secara mainstream sampai hari ini masih merupakan produk pemikiran/ijtihad kaum muslim abad pertengahan dalam nuansa Arabia berikut sistem politik, sosial, ekonomi dan budaya patriarkhismenya. Sebuah sistem sosial yang memberikan otoritas kepada laki-laki untuk mengatur kehidupan bersama.
  2. Konservatisme dan pengulang-ulangan suatu pemikiran atau pemahaman keagamaan yang dilakukan dalam waktu yang panjang dan tanpa kritik serta ditransfer melalui metode doktrinal, pada gilirannya akan melahirkan keyakinan banyak orang bahwa produk pikiran yang diwariskan itu adalah kebenaran agama atau keyakinan itu sendiri berikut seluruh makna sakralitas dan universalitasnya. Maka yang terjadi adalah universalisasi atas norma partikular dan partikularisasi norma universal. Keadaan ini sesungguhnya berpotensi menimbulkan problem serius dalam dinamika kebudayaan dan peradaban. Cara pandang konservatisme yang berlarut-larut ini berpotensi berkembang menjadi ekstrimisme.
  3. Rasionalitas tidak berkembang progresif, jika tidak boleh dikatakan mengalami stagnasi, mandeg. Aktifitas intelektual atau penggunaan akal tersebut bahkan acap distigma sebagai cara berpikir kaum liberal, sebuah istilah yang mengandung makna peyoratif. Terlampau sering dikutip pernyataan bahwa “orang yang menggunakan akal adalah kesesatan yang akan mengantarkannya ke neraka”.

Dihadapkan pada beberapa masalah krusial/tantangan di atas akhirnya saya sangat berharap :

  1. Para ulama, perempuan bersama ulama laki-laki mengembangkan pemahaman atas sumber-sumber Islam atau teks-teks keagamaan itu melalui pendekatan yang lebih terbuka (inklusif), kritis, rasional, substantif dan kontekstual. Para ulama perempuan bersama ulama laki-laki, bekerja keras (berijtihad) untuk menghasilkan sumber-sumber pengetahuan keislaman dan fatwa-fatwa yang berkeadilan dan non diskriminatif.
  2. Sudah saatnya para ulama perempuan bersama ulama laki-laki bergerak melangkah melakukan rekonstruksi dari pendekatan model tafsir ke model takwil (hermeneutik), dari konservatisme ke progresifisme, dan dari seputar memaknai teks (fahm al-Khitab) ke menemukan cita-cita teks (fahm al-Murad min al-Khitab/cita-cita hukum Tuhan) atau dalam konteks hari ini populer disebut “Maqashid al-Syari’ah”. Cita-cita itu adalah tegaknya keadilan dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Ini adalah tugas bersama ulama, intelektual, cendikia dan para sarjana, laki-laki dan perempuan.
  3. Ulama perempuan diharapkan terlibat aktif dalam penyebaran nalar Islam Wasathi. Sebuah cara pandang moderat, toleran, menghargai keragaman dan anti kekerasan dalam segala bentuknya.
  4. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, bahkan bagian besar, ulama perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara. Dan terlibat aktif dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara.

 

Artikel ini pernah disampaikan pada Muktamar Pemikiran Santri Nusantara, Kamis, (11/10), di PP. Krapyak, Yogyakarta.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya