Senin, 23 Desember 2024

Enam Alasan Mengapa Presiden Harus Tolak UU KPK Jika Tidak Ingin KPK Mati

Baca Juga

Oleh: KH. Marzuki Wahid MA

Sudahkah Anda baca usulan revisi DPR terhadap UU KPK? Sudahkah Anda menemukan jawaban mengapa semua fraksi DPR tergesa-gesa menyetujui revisi UU KPK? Tidak lebih dari 5 menit, keputusan revisi ini diketok palu. Pendapat fraksi yang biasanya dibacakan, kala itu tidak dibacakan.

Tahu gak, revisi UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas yang harus diselesaikan tahun ini. Eh, tiba-tiba muncul dan langsung disetujui dalam waktu yang sangat kilat. Padahal banyak RUU lain menyangkut hajat orang banyak yang seharusnya disetujui malah ditunda-tunda. Contohnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU KUHP. Dua RUU ini sudah lama dibahas, public hearing berkali-kali, seharusnya diketok palu, malah ditunda-tunda.

Anda tahu, apa kira-kira jawabannya? Mengapa DPR ngotot dan tergesa-gesa merevisi UU KPK? Ini sebetulnya kemauan siapa? Ini aspirasi siapa?

Ribuan pimpinan dan pegawai KPK menolak dan demonstrasi berhari-hari menolak revisi UU KPK ini. Hingga hari ini, mereka menutup tulisan KPK di gedung Merah Putih dengan kain hitam. Pertanda bahwa KPK telah mati jika revisi UU KPK ini disetujui Presiden.

Tokoh-tokoh masyarakat, tokoh bangsa, para peneliti, dan para akademisi juga menolak revisi UU KPK. Selain revisi ini tidak dibutuhkan, karena kinerja KPK hingga tahun 2019 selalu menunjukkan peningkatan yang signifikan, juga usulan revisi ini pernah ditolak oleh publik pada tahun yang lalu.

Jika tidak ada “udang dibalik batu”, mengapa DPR berani menerobos agenda Prolegnas, gerak kilat merevisi UU KPK, dan tidak dikonsultasikan terlebih dahulu ke publik sebagaimana umumnya proses revisi UU?

Pertama, di dalam usulan revisi UU KPK, DPR berkehendak bahwa penyelidik KPK harus dari polisi, dan penyidik KPK harus dari polisi dan jaksa. Penyelidik dan penyidik independen ditiadakan. Padahal di sinilah kekuatan KPK. Penyelidik dan penyidik independen dan berintegritaslah, di antaranya, yang menyebabkan kinerja KPK cemerlang dan memperoleh kepercayaan publik tertinggi.

Jika semua penyelidik nanti harus dari polisi, maka selain gak ada bedanya dengan lembaga Kepolisian (yang juga memiliki kewenangan yang sama menindak korupsi), juga KPK akan total berhenti bekerja. Karena, saat ini tidak ada satu pun penyelidik KPK yang berasal dari Kepolisian. Sekitar 20 Satgas dengan personel sekitar 300 orang yang ada di Direktorat Penyelidikan KPK, semuanya independen.

Para penyelidik independen KPK yang saat ini sedang melaksanakan pemeriksaan calon saksi, pencarian alat bukti, surveillance, dan persiapan operasi tangkap tangan di seluruh Indonesia, jika revisi UU KPK disetujui, terpaksa harus berhenti seketika. Seluruh Sprinlidik, Sprin penyadapan, pencekalan, dan administrasi penyelidikan lainnya secara otomatis juga akan batal demi hukum. KORUPTOR TERSENYUM DAN BAHAGIA.

Demikian pula, lebih dari setengah penyidik yang sekarang bekerja di KPK berstatus penyidik asli KPK, alias penyidik independen, bukan berasal dari Kepolisian maupun Kejaksaan. Jika revisi UU KPK disetujui, maka selain KPK tidak independen, juga secara otomatis 20 Satgas penyidikan yang ada di KPK akan lumpuh seketika. Sprindik, BAP, BA penahanan, BA sita, dan seluruh administrasi penyidikan akan batal demi hukum karena dilaksanakan oleh Kasatgas dan penyidik yang tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik KPK berdasarkan revisi UU KPK yang baru.

Pernahkah Anda membayangkan, gegara revisi UU KPK ini, berapa ratus kasus yang harus berhenti saat itu juga? KORUPTOR AKAN TERTAWA DAN PESTA RIA.

Upaya KPK selama 17 tahun membangun personel penyelidik dan penyidik yang profesional, jujur, dan berintegritas seketika akan runtuh karena harus diganti dengan personel baru yang belum diketahui integritasnya.

Kedua, DPR berkehendak bahwa penuntutan perkara di KPK harus mendapatkan ijin dari Jaksa Agung. Jika usulan revisi ini disetujui, maka selain KPK menjadi underbouw Kejaksaan Agung, juga ratusan perkara yang saat ini sedang berjalan penuntutannya di seluruh Pengadilan Tipikor di seluruh penjuru Indonesia harus berhenti. Karena rencana penuntutan, jumlah lamanya tuntutan penjara, jumlah banyaknya uang yang akan disita negara, harus diajukan terlebih dahulu ke Kejaksaan Agung untuk mendapatkan persetujuan Jaksa Agung. Seluruh penuntutan perkara berjalan, secara administratif harus berhenti dan secara bersamaan harus diajukan terlebih dahulu kepada Jaksa Agung. Seluruh pekerjaan di Direktorat Penuntutan akan berhenti total sampai dengan keluarnya ijin Jaksa Agung pada tiap-tiap perkara berjalan. KORUPTOR TERTAWA LEPAS DAN PESTA BESAR.

Ketiga, DPR menghendaki KPK bukan lagi lembaga independen, tapi lembaga pemerintah yang seluruh pegawainya harus PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Selain menyalahi KHITTHAH KPK, bertentangan dengan semangat awal pendirian KPK, juga usulan ini menjadikan KPK tidak ada bedanya dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Lagi-lagi, jika usulan revisi ini disetujui, maka 80-90 persen pegawai KPK harus drop-out dari KPK. Karena mereka adalah pegawai asli KPK yang bukan PNS. KPK akan shut down. Padahal karena pegawai yang independen inilah, KPK berintegritas dan konsisten dalam pemberantasan korupsi tanpa kompromi.

KPK dalam revisi DPR diubah dari Lembaga Independen menjadi Lembaga Pemerintah Pusat di bawah Presiden. Ini jelas bertentangan dengan Piagam PBB (UNCAC) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No. 7 tahun 2006 tentang pengesahan UNCAC. Dalam article 6 dinyatakan bahwa negara penandatangan konvensi harus memiliki lembaga anti korupsi yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat Independen dan bebas dari kekuasaan manapun.

Keempat, DPR berkehendak KPK hanya berkutat pada penanganan kasus korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp 1 miliar saja. KPK tidak boleh menangani kriteria kasus yang meresahkan masyarakat. Artinya untuk penanganan OTT kasus suap akan sulit ditangani KPK. KPK akan tergantung pada hasil audit BPK dalam menangani kasus.

Kelima, DPR berkehendak bahwa KPK bisa menghentikan perkara (SP3) dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Peluang ini selain rawannya integritas penanganan perkara diintervensi oleh kekuasaan dan pihak lain, juga bisa menghilangkan marwah KPK yang selama ini tepat dalam membidik koruptor, tidak pernah meleset, dan tidak pernah mundur sejengkal pun.

Keenam, DPR berkehendak bahwa kewenangan KPK dalam penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan dipersempit dengan harus adanya izin dari Dewan Pengawas yang diangkat oleh Presiden bersama DPR RI. Penyadapan pun hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan saja. Tidak boleh dilakukan pada tahan penyelidikan.

Demikian kehendak-kehendak politik DPR kita periode 2014-2019 yang sebentar lagi akan berakhir. Masih banyak kehendak lain yang semuanya melemahkan, bahkan melumpuhkan KPK.

Ini semua adalah kehendak DPR, bukan kehendak rakyat. justeru rakyat menolaknya dengan tegas. Rakyat menghendaki KPK kuat dan tetap independen agar korupsi hilang dari negeri ini, sehingga kondisi rakyat bisa lebih sejahtera dalam menikmati karunia Tuhan di “alam surga” Indonesia ini.

Pertanyaan besar kita adalah selain DPR yang berkehendak, lalu siapa lagi di balik kehendak DPR ini?

Ingat! Sampai Agustus 2019, KPK setidaknya telah menghukum 26 Kepala Lembaga Negara/Kementerian, 255 anggota dan pimpinan DPR/DPRD, dan 20 gubernur. 130 lebih kader politik, wali kota, bupati, dan gubernur ditangkap dan diproses karena terlibat kasus korupsi. Ada 385 atau sekitar 38 persen dari semua yang ditangani KPK adalah pejabat politik.

Tanda-tanda kehidupan KPK adalah [1] tetap independen dan [2] dipimpin oleh pimpinan KPK yang bersih, jujur, professional, dan berintegritas.

Tanpa hadirnya kedua hal tersebut, KPK telah mati!
Na’udzu billahi min dzalik

Saya berharap Presiden Joko Widodo menyelamatkan KPK dari ‘pembunuhan sadis super kilat’ ini, dengan cara:
1. Tidak menyetujui revisi UU KPK yang dilakukan DPR.
2. Pilih pimpinan KPK yang berintegritas, jujur, bersih, dan tidak punya masalah di masa lalu. []

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya