Reformasi yang sedang dijalan di tubuh kepolisian, mesti disambut baik oleh semua pihak. Fungsi utama polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, selama ini dianggap masih jauh dari kenyataan. Bukannya menjadi mitra masyarakat, justru polisi menjaga jarak dengan masyarakat. Sehingga yang terjadi adalah masyarakat takut dengan aparat kepolisian.
Ketakutan masyarakat terhadap kepolisian juga bukan tanpa alasan. Sebab informasi yang sampai kepada masyarakat bahwa jika mereka terkena kasus hukum maka dia akan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian baik secara mental maupun fisik. Hal ini diakui oleh Irjenpol (Pur) Prof. Dr. Farouk Muhamad saat menyampaikan materi kepada para peserta pelatihan.
“Mestinya tidak ada tekanan, fisik ataupun mental yang akan dikenakan kepada tersangka, saksi atau korban dalam upaya mendapatkan informasi”, ungkap Irjenpol (Pur) Prof. Dr. Farouk Muhamad dihadapan peserta Pelatihan HAM Bagi Anggota Kepolisian dan Penguatan Kapasitas Babinkamtibmas Se-Wilayah III Cirebon, 23-25 November 2009 yang lalu di Hotel Tirta Sanita Kuningan Jabar. Kegiatan ini merupakan wujud kerjasama Fahmina Institute dan Polresta Cirebon dalam upaya sosialisasi kepolisian masyarakat dan peningkatan kapasitas polri.
Tak kurang dari 100 orang anggota polisi terdiri dari Perwira dan Bintara dari Polres Kuningan, Polres Majalengka, Polres Indramayu, Polres Cirebon, Polresta Cirebon dan Polwil Cirebon menghadiri acara ini. Prof. Dr. Farouk Mohamad pada kesempatan ini, menjadi pembicara utama disamping beberapa pembicara lainnya.
Kecendrungan menyiksa dalam penyidikan yang disampaikan pihak kepolisisan, menurut Pak Farouk, demikian beliau biasa dipanggil, masih tinggi. Lebih lanjut anggota DPD dari Daerah NTb ini mengatakan menurut data yang dia punya, penyiksaan selama dalam tahanan mencapai 81,05 %, dan dalam penangkapan 74,65 %. Sementara dari sekian kasus, penyiksaan yang paling tinggi berupa pemukulan 52% dan todongan pistol yang mencapai 74,35%.
Tingkat kekerasan yang cukup tinggi ini, tentu sangat memprihatinkan, lanjut Pak Farouk, dan tugas semua anggota kepolisianlah untuk bersama-sama menekan angka tersebut misalnya dengan penguatan pemahaman akan HAM.
Sementara itu terkait soal citra polisi yang terpuruk saat ini, Pak Farouk berpendapat bahwa rendahnya dukungan publik terhadap polisi dikarenakan pelayanan kepada masyarakat masih buruk. Meski diakui juga keberhasilan Polri memberantas terorisme menjadi point sendiri, namun kasus-kasus besar tersebut “tidak secara langsung” mendapat dukungan dari masyarakat.
“Yang masyarakat ingat bukan kasus-kasus “selebritis” itu,” tambah Pak Farouk. Citra polisi bukanlah semata-mata di pundak Mabes, pertaruhan terbesar performa polisi ya tingkat pelayanan langsung kepada masyarakat, di tingkat polres hingga polsek. “Karena disinilah polisi langsung bersentuhan dengan masyarakat,” tegasnya.
Polisi Harus Mampu Mengantisipasi
Masih terkait dengan implementasi HAM, terutama Perkap No. 8 Tahun 2009, AKBP. Mangalatua Sitanggang SH, Kasubdit Rapluhkum Polda Jabar yang hadir sebagai pembicara berikutnya, mengatakan bahwa dikarenakan kesadaran akan HAM cukup besar di masayarakat dimana permasalahan kecil sering diangkat menjadi permasalahan HAM, harusnya diimbangi dengan kesigapan seluruh jajaran Polri untuk memahaminya, agar tidak timbul image negative dan Polri dianggap tidak berubah.
Oleh karena itu, lanjut AKBP M. Sitanggah SH, sekarang Polri tengah menggiatkan sosialisasi pemahaman akan HAM di jajarannya. Namun perlu diperhatikan juga bahwa kesimpang-siuran kasus-kasus yang disebut pelanggaran HAM juga sering juga dimanfaatkan kekekruhannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Polri saat ini, tambahnya, berusaha secara maksimal melakukan upaya penegakan HAM, dengan meningkatkan pemahaman yang berimbang antara masyarakat dan Polri.
Bersama Kejakasaan Polisi Ujung Tombak Penegakan HAM
Semua kasus-kasus HAM biasanya diinvstigasi oleh Komnas HAM, dan hasilnya akan direkomendasikan kepada Kejaksaan atau Kepolisian untuk penyidikannya. Kemudian dibawa ke pengadilan untuk diproses secara hukum, kata M.M. Billah, mantan Komisioner Komnas HAM, yang pada kesempatan ini bertindak sebagai Fasilitator Pelatihan.
Namun, di sisi lain, pelanggaran HAM sangat rawan terjadi dalam tugas-tugas kepolisian, dan itu harus diimbangi dengan moral yang baik dan kesadaran akan HAM tinggi bagi anggota kepolisian ketika menjalankan tungasnya, tegas M.M. Billah yang telah melatih ribuah polisi di berbagai daerah bekerjasama dengan Polri beberapa waktu lalu.
Pemateri lainya, Lies Marcoes Natsir dari dari The Asia Foundation, mempertegas pentingnya penegakan HAM, terutama dari sisi perspektif gender. ”Kenapa kita bicara hak? Karena kita memiliki keragaman, yang mengikat manusia. Kenapa kita memunculkan HAM, dimana orang boleh berbeda dalam waktu yang sama harus diperlakukan sesuai haknya, untuk hidup, berkeyakinan, yang membedakan manusia dengan binatang”, lanjut Senior Program Officer Gender Division The Asia Foundation ini.
Memperkuat Kapasitas Petugas Polmas (Babinkamtibmas)
Selain soal HAM, pada kesempatan ini peserta juga mendiskusikan soal Perpolisian Masyarakat (Polmas) sebagai salah satu upaya reformasi kepolisian. Petugas Polmas memiliki peranan penting dalam upaya membentuk citra kepolisian di tingkat masyarakat sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat. Petugas polmas yang setiap hari bersama masyarakat, dituntut untuk mampu berbaur dan menyelesaikan masalah yang muncul ditingkat masyarakat untuk diselesaikan bersama mereka. “Kasus-kasus tipiring (tindak pidana ringan) hendaknya mampu diselesaikan oleh petugas polmas bersama masyarakat, dan tidak usah dibawa ke kepolisian” demikian disampaikan oleh AKPB Sri Sudaryani SH, dari Polda Jabar yang pada kesempatan ini menyampaikan materi mengenai Implementasi Perkap No. 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar dan Implementasi Polmas dan Renstra Polmas 2010-2014.
Untuk mendalami apa yang disampaikan oleh narasumber, peserta kemudian dibagi menjadi dua kelas, kelas Perwira untuk “Pelatihan HAM” dan kelas Polmas untuk “Memperkuat Kapasitas Petugas Polmas”. Untuk mengawal pelatihan ini kelas Polmas di pandu atau difasilitasi oleh Hery Wibowo dari Percik Salatiga, sementara untuk kelas Pelatihan HAM yang menjadi fasilitator adalah M.M. Billah dari Jakarta. Dalam pendalaman di kelas Polmas, Hery mengajak peserta untuk mendalami materi mengenai “Teknik Mediasi dan Komunikasi”. Untuk mendalami dan sharing pengalaman mengenai kerja-kerja Polmas di daerah lain, Hery memutar film dokumenter dan slide Polmas Salatiga yang selama ini di dampingi oleh Percik Salatiga.
Hal yang tidak kalah pentingnya untuk difahami oleh aparat kepolisian adalah soal “Diskresi” yang setiap saat dan dalam kondisi tertentu selalu melingkupi kerja-kerja kepolisian. Polisi terkadang dituntut untuk menyelesaikan masalah yang muncul seketika dengan tanpa melanggar aturan dan tidak menimbulkan masalah. Oleh kerana itu untuk memberikan pemahaman kepada aparat kepolisian, Wakapolresta Cirebon, Kompol Jono Indarto S.Sos, SIK, M.Si. memberikan materi ini kepada para peserta.
Di akhir pelatihan peserta kemudian diminta bergabung berdasarkan asal Polres, untuk merumuskan Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang akan dilaksanakan oleh peserta. Umumnya para peserta dalam RTL-nya menindaklanjuti hasil pelatihan ini untuk disosialisasikan di masing-masing polres. (noes-mr)