Oleh: Omen Abdurahman W
Aku Fivo, seorang Ahmadi. Kesehariaanku lebih sering dipadati urusan kuliah, olahraga futsal, travelling serta yang paling tak terlewat: mendengar musik Noah. Aku sekali sama mereka, cara Bang Boril menciptakan sampai menyanyikan lagu serta aksi mereka di panggung. Itu membuat hidupku jadi lebih berwarna. Sejak kecil, aku tinggal di perkampungan yang sejuk dan asri, yang terletak di kaki Gunung Ciremai. O ya, perkampunganku hampir seluruhnya dihuni oleh anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Itu sebabnya, kampungku sering disebut kampung Ahmadi. Ahmadi adalah sebutan untuk penganut ajaran Ahmadiyah. Dan aku adalah salah satu di antaranya.
Masa kecilku seperti masa anak-anak pada biasanya. Dipenuhi kisah jenaka, riang dan tentu saja bahagia. Sejak kecil itu pulalah, aku mengenal ajaran Ahmadiyah. Ajaran ini meyakini bahwa agama adalah tujuan utama hidup di dunia, karena untuk bekal di akhirat sana. Ahmadiyah juga punya iman kuat kepada Allah dan Rasul Muhammad. Masa-masa di sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, aku tempuh di sekolah yayasan milik organisasi Ahmadiyah Indonesia cabang Manislor. Di kampungku, hampir semua orang tua menyekolahkan anak-anaknya di sana. Dan kami punya guru yang sama, yaitu seorang Mubaligh Jemaat.
Masa-masa kecilku diisi dengan suasana perkampungan yang harmoni dan damai. Orang-orang satu kampung beraktivitas seperti pada umumnya: berdagang, bercocok tanam, serta mengisi aktivitas sosial lainnya. Organisasi kami punya prioritas untuk tugas kemanusiaan. Mulai dari donor darah sampai membangun infrastruktur publik. Menurut cerita orang tua kami, Ahmadiyah ada di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tahun 1925. Di kampungku, Desa Manislor, Ahmadiyah sendiri mulai ada sekitar tahun 1950-an.
Sampai pada suatu ketika, semua suasana itu tiba-tiba saja berubah. Dan ini terjadi ketika aku memasuki remaja. Aku tidak sebab-musabab awalnya. Di depan kampungku, tiba-tiba saja ramai dengan spanduk, selebaran dan poster yang dipasang di atas tiang listrik. Persis di depan kampungku, banyak sekali bertebaran poster-poster yang bertuliskan: “Ahmadiyah itu sesat, harus bertobat! “Lenyapkan Ahmadiyah dari Kampung ini!” “Usir seluruh pengikut Ahmadiyah!” serta masih banyak lainnya yang bernada sama. Aku ingat persis, nada-nada umpatan itu keluar dari mulut orang-orang yang, entah datang dari mana, hilir-mudik setiap hari di kampungku.
Suasana kampungku tiba-tiba berubah mencekam. Anak remaja di kampungku tak berani keluar rumah, atau setidaknya orang tua kami melarang untuk berpergian jauh dari rumah. Kami harus meliburkan semua aktivitas, mulai urusan sekolah, pengajian serta berliburan, entah sampai kapan. Aku tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi di luar sana. Orang tua kami hanya bilang bahwa kehidupan kami mungkin saja terancam. Umpatan spanduk yang bilang kami ini sesat dan harus diusir ternyata bukan hanya bernada umpatan, tetapi sekaligus juga bertujuan mengancam. Dan ancaman kepada nyawa kami adalah benar adanya.
Itu terjadi sekitar tahun 2010. Orang-orang yang entah, sekali lagi, datang dari mana, jumlahnya terbilang sangat banyak. Sebagian bilang jumlahnya ratusan, sebagian lagi ada yang memperkirakan jumlahnya ribuan. Jumlah mereka yang tiba-tiba berduyun-duyun datang hampir tak bisa dipastikan, tetapi mereka semuanya membawa spanduk, meneriaki yel-yel ‘usir Ahmadiyah’, dan melempari masjid-masjid kami dengan batu itu kenyataan yang kami hadapi saat itu. Dan itu terjadi hampir setiap hari. aku yang berada di tengah-tengah suasana itu, hanya bisa berdoa dan kalaupun nyawaku jadi taruhannya aku hanya yakin bahwa Allah bersamaku dan kami semuanya.
Puncaknya, rumah-rumah kami dilempari batu. Pandangan mata setiap orang yang akan menyerang kami begitu jelas menunjukkan mata yang berwarna merah dan marah. Masjid-masjid kami pun mengalami hal yang sama. dilempari batu, botol serta amarah. Mereka bilang, masjid kami harus ditutup. Masjid kami dianggap sebagai pusat penyebaran ajaran sesat. Jika tuntutan mereka diabaikan, masjid kami diancam dibakar. Jika mereka semua umat Islam, apakah tidak terlintas di benak mereka bahwa masjid kami terpampang kalimat syahadat dan lafadz suci Tuhan? Bagaimana jika betul dibakar, apakah kitab suci Al-Quran juga ikut dibumi-hangungkan? Pertanyaan itu mendera batin saya, pada hari-hari itu. dan ternyata, pemerintah lebih memilih menyetujui permintaan mereka. Bukan melindungi kami yang terancam. Masjid kami pun disegel. Sekolah kami disegel. Semua aktivitas kami lumpuh. Itu hari-hari yang bagi saya dan seluruh Ahmadi di Manislor merasa tercekam. Lebih dari suasana yang menakutkan.
Suasana mencekam itu berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. aparat keamanan hilir-mudik ke seisi perkampungan. Massa penyerang selalu siap-sedia, jika ada perintah komando untuk menyerang. Saya tak tahu siapa komando dan dalang dari seluruh rangkaian penyerangan di kampung kami. Polisi pun tak tahu, pemerintah lebih bersikap mengabaikan. Mereka semua berpikir, semua peristiwa pengrusakan terhadap rumah-rumah kami disebabkan oleh ulah kami sendiri. Gara-gara aktivitas organisasi kami. Padahal aktivitas kami tak pernah melukai siapapun. Kami dipaksa bungkam. Kami tak boleh bertanya lebih. Kami dijadikan kambing hitam atas peristiwa yang kami tidak ada sangkut pautnya.
Berjalan tiga sampai lima tahun berikutnya, perkampungan kami cukup terbilang dalam suasana kondusif. Pergerakan massa mulai menurun. Tapi itu justeru membuka ke gerbang masalah berikutnya. Hak-hak kami sebagai warga negara di negara yang sudah berpuluh-puluh tahun mereka diabaikan. Hak-hak dasar kami perlahan dirampas. Yang paling menohok uluh hati kami sebagai warga negara adalah kami tidak boleh mencatatkan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kami tak diberikan E-KTP. Pemerintah bilang, karena kami sesat, kami tak boleh dapat semua hak-hak kami sebagai warga negara.
Itu adalah sedikit-banyak cerita pengalaman hidupku. Aku sangat terbantu dengan metode sungai kehidupan pada salah satu sesi pelatihan di Fahmina Institute. Pelatihan yang bertujuan mengkonsolidasikan anak muda dalam isu perdamaian, diselenggarakan pada Agustus 2019 lalu. Pelatihan-pelatihan seperti itu, aku kira, punya dampak yang meski terasa tidak terlihat saat ini tetapi berguna untuk di masa depan. Bukankah anak muda bakal jadi pemimpin, baik di level keluarga, lingkungan, atau birokrasi? Harapanku tentu saja alumni pelatihan ini adalah punya sikap yang toleransi saat menjabat jadi pemimpin di level birokrasi nanti.
Oya, sedikit tambahan, dari pelatihan, aku berusaha meneruskan ilmu yang didapat melalui komunitas terdekat dulu. Kebetulan, saat ini, dipercaya sebagai ketua khudam. Kalian pernah dengar khudam? Itu adalah organisasi anak muda di organisasi kami, Jemaat Ahmadiyah. Hasil pengetahuan yang aku dapat dipelatihan kemudian diaplikasikan pada program kerja di organisasi khudam manislor seperti manajemen kepemimpinan, kerja tim, transformasi konflik dan toleransi-perdamaian. Anggotaku mencapai 300 orang, dan itu bisa sangat berguna seluruh materi yang aku dapat selama pelatihan. Nuhun