Sabtu, 27 Juli 2024

Cerita Nayla, Bagaimana Pendidikan Keragaman Penting Dimulai Sejak Dini

Baca Juga

Oleh: Omen Sandriyanie

Perundungan seringkali bekerja secara instan. Ia ampuh menggeneralisir sesuatu yang istimewa menjadi serba salah dan papa. Ia muncul dari kesadaran, bahwa superioritas adalah segalanya. Itu karenanya, tindak perundungan punya ambisi melemahkan asa. tepat di situlah posisi Nayla berada, pada tahun-tahun lalu.

Sejak kecil, Nayla lekat dengan kultur pesantren berikut seluk-beluknya. Keluarga besar yang terdiri kalangan pesantren, membuatnya begitu familiar dengan dunia keilmuan Islam. Itu juga yang mengantarkannya kemudian nyantri saat menginjak remaja. Setelah menamatkan pendidikan dasar di kampungnya, Jatimerta, Ia dikirim keluarganya belajar di Pesantren Luwungragi, Kabupaten Brebes. Dilanjutkan setelahnya ke Pesantren di Margoyoso, Kabupaten Pati. Di pesantren yang terakhir disebut itulah ada fase yang kehidupan yang diangapnya punya relevansi penting sepanjang masa.

Cerita bermula saat momen pembagian hasil belajar melalui rapot madrasah. Nayla bertengger di posisi pertama dari sekian pelajar santriwati lainnya. Posisi itu terus bertahan hingga tahun-tahun berikutnya. Ia merefleksikan mengenai pencapaiannya, seperti adagium yang jamak diketahui banyak orang, bahwa proses takkan pernah berkhianat pada hasil. Ketekunannya pada tiap-tiap pelajaran yang disampaikan guru, kedisplinannya pada tiap-tiap waktu berangkat dan pulang sekolah, konsistensinya pada setiap proses belajar, mampu mengantarkannya pada posisi nomor satu tiap kali tiba pembagian hasil ujian.

Pada waktu yang sama, posisi itu dianggap oleh salah seorang kawannya adalah hasil kecurangan. Nayla melakukan kecurangan tiap kali waktu ujian. Dengan berbagai modus, kecurangan tersebut dilakukan secara senyap dan sistematis. Tak heran, jika nilainya selalui bagus dan mencapai posisi teratas dalam rangking seluruh mata pelajaran. Praktisnya, seluruh pencapaian prestasi Nayla selain kebohongan, juga penuh intrik dan kecurangan. Dan informasi itu nyaris didengar dan diketahui seluruh pelajar madrasah.

Sebenarnya, Nayla tak tahu betul bagaimana situasi-situasi tersebut menariknya pada ancaman perundungan. Yang diketahui kemudian: seluruh kawan-kawan satu sekolahnya mengambil jarak, sambil diam-diam membelakanginya dengan serentetan pernyataan bahwa ia telah bertindak curang. Yang terjadi kemudian: sebagian perundungan dari kawan-kawannya diungkapkan secara verbal dan nyaris ia menghadapinya dengan rasa trauma berkepanjangan.

Melawan Perundungan

Bagi Nayla, situasi tersebut betul-betul hadir secara instan, tetapi punya dampak yang panjang. Situasi di mana, fitnah dan berita bohong (hoax) bekerja dalam satu tarikan nafas. Situasi di mana, fitnah yang dilakukan satu orang ampuh bermetamorfosa menjadi berita bohong (hoax) untuk satu madrasah. Kendati pada akhirnya, ia cukup berhasil melewati fase-fase itu, seperti diterangkannya kemudian, peristiwa tersebut tetap saja punya bekas yang tak mudah hilang. Sampai kemudian, ia bertemu dengan Fahmina Institute melalui kegiatan training kepemimpinan anak muda melalui gotong royong untuk perdamaian, di Kuningan, Jawa Barat, pada Agustus 2019 lalu. Pelatihan itu, untuk seorang santri yang kini menempuh pendidikan tinggi di Universitas Nahdlatul Ulama seperti Nayla, punya signifikansi penting di tengah kehidupan anak muda hari ini yang kompleks, dari ragam aspek.

Cerita Perubahan: Dari Karangtaruna sampai PAUD

Keberhasilan Nayla melawan hoax dan perundungan terhadap dirinya, ia tuangkan dalam secarik kertas pada sesi menulis sungai kehidupan. Sesi ini, dirancang oleh pengelola program dari Fahmina Institute, sebagai upaya merefleksikan fase-fase penting kehidupan seseorang. Tujuannya, agar tiap fase tersebut dapat dijadikan aspek pembelajaran. Dan Nayla, telah belajar, bahwa kabar hoax sesungguhnya sudah jadi problem umat manusia sejak dulu dan tentu saja, punya dampak yang tak kecil. Bedanya, di era saat ini, hoax punya medium baru bernama teknologi.

Pelatihan yang mempertemukan tiga puluh penggerak anak muda desa di Cirebon dan Kuningan adalah momen pertama bagi Nayla terlibat. Menurutnya, kegiatan tersebut, memberi banyak dorongan positif bagi dirinya, setidaknya terdapat perubahan secara paradigmatik pada dirinya setelah mengikuti kegiatan training, meliputi, pertama, orang-orang muda penting mengenal diri sendiri. Aspek ‘pengenalan diri sendiri’ dimulai dari upaya mengidentifikasi kemampuan, kekuatan dan kelemahan yang ada pada diri sendiri, atau sederhananya, melihat setiap potensi sekecil apapun merupakan keniscayaan yang dapat membawa anak muda melakukan transformasi diri.

Kedua, pelatihan itu juga membuka kembali pandangan bagi Nayla perihal pentingnya soliditas sebuah tim; membangun kerjasama antar individu yang punya kesamaan visi. Aspek ini, yang pada tahap berikutnya, memberi tantangan baru bagaimana menggerakkan orang-orang muda di Jatimerta untuk terlibat organ-organ sosial desa seperti Karangtaruna. Seperti diceritakannya, problem Karangtaruna di banyak tempat, termasuk di desanya adalah keengganan anak muda untuk mengaktivasi ruang semacam itu menjadi wadah bagi aspirasi orang-orang muda di desa.

Inisiatifnya menggerakkan ruang sosial melalui Karangtaruna telah dimulai dengan mengajak rekan sebaya untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang dihadapi anak muda, terlebih kelompok perempuan, di lingkungan sekitarnya. Hambatan tetap saja ada, misalnya bagaimana pengaruh orang-orang sepuh desa terhadap aktivitas anak muda yang seringkali melihat mereka dengan sebelah mata. Problem utama anak muda, khusunya kelompok perempuan, yang dilihat Nayla meliputi partisipasi kelompok perempuan dalam struktur sosial desa yang minim, dan itu sangat mungkin dipengaruhi pandangan ‘orang-orang lama’ yang punya anggapan bahwa perempuan cukup beraktivitas di ranah domestik, selebihnya bekerja di rumah tangga.

Kondisi semacama itu –dengan struktur sosial yang dipengaruhi cara pandang lama yang mendomestifikasi kerja anak muda dam perempuan di desa- pada akhirnya membuat Nayla dan rekan-rekannya mesti berpikir keras dan mengupaya strategi yang tepat, terutama goals­-nya mengaktivasi kelompok kerja perempuan Karangtaruna tercapai, serta meminimalisir konflik vertikal antar berbagai faksi di desa, bahkan kalau bisa, justeru dukungan itu tersedia dan dibuka selebar-lebarnya, seluas-luasnya. Karena bagaimanpun, Karangtaruna punya peran strategis dalam ruang konsolidasi terutama kelompok muda desa, apalagi di tengah ancaman terorisme yang masuk ke kehidupan masyarakat desa.

Ancaman terorisme bukanlah perkara abu-abu yang dianggap begitu sebatas angin lalu. Selain punya strategi yang dari waktu ke waktu terus berkembang, kelompok teroris senyatanya telah masuk ke berbagai lini kehidupan, termasuk kehidupan warga di wilayah Jatimerta. Bulan lalu, Densus 88 mengamankan salah satu warga di Jatimerta yang disinyalir sebagai anggota kelompok teroris, JAD. Melihat situasi itu, sebagian warga di sana menunjukkan rasa heran. Bagaimana tidak, selama ini kehidupan sosial di Jatimerta berjalan ‘biasa-biasa saja’. Menurut Nayla sendiri, di situlah letak masalahnya, karena tidak ada antisipasi dini. Dan langkah alternatif dalam memitigasi berbagai macam masalah seperti terorisme penting dilakukan melalui pertemuan reguler di karangtaruna.

Transformasi diri sebagai manifestasi dari mengenal potensi diri dan kemampuan memanajerial sebuah tim dalam sebuah kerjasama adalah dua hal yang berdampak pada kehidupan Nayla setelah mengikuti pelatihan kepemimpinan selama tiga hari. Pelatihan itu juga memberinya dampak perubahan lain, terutama dalam aktivitas kesehariannya mengajar di PAUD. Sebelum terlibat pelatihan, ia belum memiliki strategi yang tepat dan terarah, hanya aktivitas mengajar biasa sebagaimana yang tertera di buku panduan.

Setelah terlibat pelatihan bersama Fahmina, ia mendapat satu cara pandang baru, bahwa anak-anak di usia dini penting ditanamkan mengenai pendidikan gender dan keragaman. Dua hal itu, selain menjadi kebutuhan dasar manusia, juga merupakan bagian integral dari pendidikan karekter sejak dini. Usaha-usaha itu ia lakukan tiap kali jam belajar bersama siswa-siswanya. Kendati dilakukan secara sederhana, Nayla berkeyakinan, bahwa sesuatu yang kecil tetapi konsisten akan dapat menuai hasil yang maksimal. Dan ia memulainya dari bilik sekolah.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya