Sabtu, 27 Juli 2024

Cerita Devi Farida: Dari IPPNU Sampai Ke Kenya

Baca Juga

Oleh: Omen Sandriyanie

Namanya Devi Farida, anak muda desa Pabuaran, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Cirebon. Dia bergiat di Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), sejak duduk di bangku sekolah Menengah Atas (SMA), pada 2018 lalu. Aktivitasnya yang terhubung dengan organisasi kepemudaan NU tersebut, memengaruhi banyak aspek dalam kehidupannya kelak, salah satunya pilihan dalam jalur pendidikan. Setelah lulus SMA, Universitas Nahdlatul Ulama (NU) adalah pilihan utama bagi Devi, karena dipandang punya kesamaan visi.

Melalui IPPNU, sebagai institusi formal atau badan otonomi yang disediakan Pengurus Besar Nahdalatul Ulama dalam upaya kaderisasi keanggotaan untuk usia pelajar, juga dipelajari hal-hal dasar mengenai fondasi nilai-nilai Ahlu As-Sunnah Wal-Jamaah sejak dari aspek teologi sampai ke praksis kesehariaan. Bagi Devi, IPPNU punya peran signifikan sebagai ‘jembatan’ penghubung dengan kerja-kerja yang dilakukan Fahmina. Pada Agustus 2019 silam, ia kali pertama terhubung dengan Fahmina melalui kegiatan Sekolah Cinta Perdamaian atau Setaman.

Hidup dalam keragaman bukan hal baru untuk Devi. Semasa SMP, pengalaman bersahabat dengan umat Kristiani terasa mewarnai sampai hari ini. Ia ingat betul, pada masa-masa itu, penghargaan dari teman satu kelasnya yang beragama Kristen membuatnya berdecak kagum. Bagaimana tidak, tiap kali momen praktik membaca Al-Quran saat di kelas, temannya tak pernah absen. Dia mengikuti proses itu sampai jam belajar usia. Pun secara khidmat mengikuti siswa-siswa lain membaca Al-Quran. Padahal, menurut Devi, guru selalu secara sukarela menawarkan saat mata pelajar Agama Islam tiba, bagi siswa non-Muslim diberi kelonggaran untuk tidak mengikutinya.

Tapi temannya itu menolak. Membaca Al-Quran sama halnya membaca isi kandungan yang ada dalam Al-Kitab, menurutnya. Apakah dengan demikian ia dengan mudah pindah agama? Tentu tidak. Dalam kondisi demikian, Devi melihat melalui pengalaman temannya yang kristen bergumul dengan tradisi umat Muslim, kian terang bahwa perkara keimanan pada akhirnya soal hati dan nurani. Ia merasa tengah menyelami makna, belajar mengenai perbedaan adalah tentang kehidupan, bukan lagi mempermasalahkan perbedaan. Kesalingan menghargai antar satu sama lain jadi sebuah keniscayaan.

Bersahabat dalam perbedaan dalam proses kehidupan Devi telah terang dialami banyak anak muda seusianya. Kendati demikian, dalam pengalamannya, ia sendiri merasa melakukan kunjungan ke tempat ibadah umat agama lain adalah hal tabu dan terlarang. Situasi itu sebagian didorong karena tafsir agama yang selama ini ia terima mengatakan demikian, sebagian lain karena ia belum pernah memulai. Pada titik itulah, ia bertemu dan berproses bersama Sekolah Cinta Perdamaian (Setaman).

Di Setaman, bersama partisipan lain dari Ikatan Pelajar Putri Nadhlatul Ulama (IPPNU), ia belajar mengenai arti, peran, tanggungjawab dan kapasitasi diri dan lingkungan dalam upaya membangun pendidikan perdamaian. Menurut Devi, dari sekian proses itu, ada satu tahapan yang sarat makna. Saat itu, Alifatul Arifiati, ibu kepala sekolah setaman, berbagi cerita mengenai pengalaman bersama peserta setaman di tempat lain melakukan kunjungan ke berbagai tempat ibadah. Sebagai seorang Muslimah, Alif, tak canggung mengajak mereka, yang bahkan melakukan lawatan silaturahmi ke rumah ibadah non-muslim, dari ragam agama dan kepercayaan.

Cerita yang begitu bermakna untuk Alif dan rekan di Setaman, tetapi bagi juga punya impresi positif terhadap peserta Setaman di Pabuaran, termasuk juga Devi yang mendengar. Ia jadi punya keberanian, juga sikap. Di tambah lagi, materi-materi yang disampaikan selama pertemuan di Setaman, meliputi mengenal diri, konflik, sejarah bangsa-negara, dan lain-lain yang dapat memperkaya dan membuka pengetahuan baru. Kesemua proses itulah yang, pada selanjutnya, membentuk cara pandang Devi hari-hari ini. Tak hanya itu, tindakan lanjutan untuk melakukan perubahan jadi asa Devi kemudian.

Langkah itu dimulai ketika ia kembali beraktivitas di organisasinya, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di wilayah Pabuaran. Ilmu dan pengalaman yang didapat selama mengikuti pelatihan Setaman ia transmisikan kepada rekan sejawatnya. Baik melalui kegiatan formal seperti diskusi mingguan dan bulan, ataupun kegiatan yang bersifat informal, saat waktu bersantai dengan teman. Menurutnya, muatan-muatan obrolannya kian punya ‘bobot tersendiri’ manakala diperkuat dengan pengalamannya mengikuti setaman.

Bersama rekanita lainnya di IPPNU Pabuaran, ia menahkodai membuat ruang berbagi pengetahuan untuk pelajar-pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam ruang itu, ia buat sebagaimana proses yang pernah mengikuti Setaman. Terutama materi mengenai sejarah negara-bangsa, sejarah mengenai fondasi berdirinya negara Indonesia, penting diketahui oleh anak-anak pada usia lanjutan. Fase-fase itulah penting bagi tiap-tiap individu, lebih khusus pelajar, mengetahui dan mengenal bahwa sejarah terbentuknya Indonesia sebagai negara yang berdaulat adalah jasa semua pahlawan, yang datang dari ragam suku, budaya, agama dan kepercayaan.

Perubahan pada diri sendiri dan lingkungan terdekat adalah pernyataan penting dari Devi. Ia melihat, Setaman berperan signifikan atas cara pandang dan sikapnya pada banyak hal mengenai isu perdamaian. Sebagai salah satu program utama yang dibentuk Fahmina,  setaman memanglah berposisi pada platform memperkuat kapasitas anak muda dalam pengarusutamaan isu toleransi dan perdamaian di wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan). Melalui pendekatan kolaboratif bersama anak muda, program setaman memiliki kurikulum tersendiri dalam bentuk modul belajar, yang diupayakan  sebagai penguatan belajar dalam merespon kebutuhan setiap partisipan dalam isu perdamaian.

Pada bulan Maret 2020 mendatang, Devi memberi perhatian pula, agar perubahah-perubahan yang ada padanya dan orang-orang sekitarnya, dapat diampfilikasi lebih luas. Melalui pagelaran seni dan budaya, muatan-muatan mengenai pendidikan perdamaian akan disampaikan kepada khalayak. “Strategi kearifan budaya yang termuat dalam kesenian daerah akan mampu diterima masyarakat, apalagi pesan pentingnya mengenai menjaga persaudaraan dan kemanusiaan,” Terangnya.

Atas usaha dan kegigihannya itu, membangun pendidikan perdamaian di kalangan lain seperti di organisasi dan sekolah menengah pertama di tempatnya, sebagai implementasi rencana tindak lanjut setaman, Devi dipercaya mewakili Indonesia bersama 8 orang muda lainnya berkunjung ke Kenya, Afrika Timur. Kepercayaan yang dimandatkan kepada Devi, telah membawanya terbang pada 12-17 Januari 2020 pada kegiatan Youth Exchange Freedom of Belief and Religion atas dukungan Fahmina Institute dan Mensen met een missie Belanda. Momentum ini tentu saja jadi inspirasi tersendiri.

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya