Peringatan Hari Sumpah Pemuda, telah berlalu. Kalau kita perhatikan, ada kesan menarik di balik makna peringatan itu. Beberapa pemuda memperingatinya dengan cara yang berbeda-beda. Namun, sebagian lagi, mereka tidak tahu bahwa hari itu adalah peringatan hari sumpah pemuda. Lebih-lebih para pemuda yang hidup di pedesaan, yang kebanyakan tidak memiliki kerjaan tetap, atau bekerja tetapi hidup terasa susah, kemungkinan besar lupa atau ‘melupakan’ bahwa ada sejarah emas yang bernama ‘sumpah pemuda’.
Sejatinya, penanggalan 28 oktober diperingati sebagai hari sumpah pemuda menyimpan pesan moral dan simpul perjuangan bangsa Indonesia dalam menyatukan harapan. Meski saat itu ada perkumpulan Pemuda Jawa, Pemuda Sumatera, Pemuda Suwalwesi dan lain-lannya, generasi muda saat itu sadar bahwa Indonesia akan merdeka, perjuangan akan berhasil bila mereka bersatu, tanpa memandang perbedaan daerah, suku dan bahasa. Karena itu dengan lantang mereka meneriakkan ‘berbahasa satu bahasa Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia dan berebangsa satu bangsa Indonesia’. Sejarah emas perjuangan generasi muda Indonesia pun dimulai. Sampai akhirnya Indonesia merdeka.
Tetapi apakah kesaktian sumpah pemuda itu masih mengalir dalam darah generasi muda kita? Masihkah semangat itu pantas kita banggakan di tengah konflik bangsa yang semakin menjadi, di tengah kerusuhan-kerusuhan yang tiap hari selalu menjadi hidangan berita yang menyesakkan. Kerusuhan antar mahasiswa, konflik kepentingan (baca;politik), kerusuhan antar ormas, konflik internal partai, bahkan antar pergerakan pemuda sekalipun. Astaghfirullah…!
Belajar dari KH. Hasyim Asy’ari dan Bung Hatta
Untuk terus memelihara semangat dan gelora perjuangan generasi pemuda, alangkah baiknya jika kita belajar dari pemuda pendahulu kita. Sebut saja sebagai contoh muda, KH. Hasyim Asy’ari dan Bung Hatta. Meski latar belakang pendidikan mereka berdua berbeda, ideologi mereka tidaklah luntur oleh ideologi tempat di mana mereka melakukan studi. KH. Hasyim Asy’ari bertahun-tahun “ngaji” di Arab Saudi atau Bung Hatta yang belajar di Barat, ketika pulang mereka berdua justru melakukan advokasi-advokasi terhadap rakyat dari penjajah yang hendak memporak porandakan persatuan dan keutuhan NKRI.
Cara berfikir keduanya adalah bermuara pada keutuhan bangsa Indonesia dari segala hal yang akan merendahkan, menghancurkan dan atau menyengsarakan bangsa. Mereka bersepakat untuk menyatukan sikap perjuangan untuk menyalakan gelora perjuangan di setiap pelosok nusantara.
Islam Mengajarkan Cinta (Bela) Negara
Masih hangat di memori kepala kita atau mungkin masih banyak yang memajang kutipan hadits “hubb al wathan min al iman” (cinta tanah air menjadi bagian dari iman) di dinding-dinding masjid, mushalla atau sekolah-sekolah. Memang, Nabi sangat menghormati tanah kelahirannya. Nabi dengan gigih membakar semangat bela negara kepada para sahabatnya dengan terus menerus mengajarkan kemampuan untuk bertahan hidup dan mengembangkan perekonomian masyarakat Arab sampai arah politiknya semakin jelas dan terasa oleh seluruh masyarakat jazirah Arab. Kestabilan ekonomi dan politik inilah yang melanggengkan Islam merambah hingga ke Afrika Selatan.
Demikian, bila kita tengok sejarah besar pemimpin (orang) yang sukses dengan modal niat tulus memperjuangkan bangsanya dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
Pemuda Masa Depan
Di era supra-teknologi ini, gelombang pemikiran ke arah transideologi, memang tidak bisa dibendung lagi dengan cara apa pun. Karena memang, merupakan keniscayaan hidup di alam kebebasan berfikir, berpendapat dan sebagainya. Namun, jika kita mau menyatukan sikap perjuangan dan menjadikan cinta tanah air itu sebagai ideologinya, maka harapan itu masih terbuka. Kita bisa melihat bangsa Jepang, Korea dan China sekarang telah menjadi bangsa yang disegani oleh bangsa Eropa dan Amerika. Padahal dulu, bangsa kita lebih maju dari bangsa Jepang, Korea dan China yang tidak sesubur tanah kita, alam yang labil dan lain-lain.
Salah satu kuncinya adalah mempertahankan dan mengembangkan budayanya. Termasuk “memboikot” produk asing, disiplin, ksatria (baca;patriotisme), dan cerdas juga kreatif dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
*Penulis adalah alumnus Dawrah Kader Ulama Pesantren (DKUP) yang diselenggarakan pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun, sekarang berhidmah pada Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon