Warkah al-Basyar Vol. VI. Edisi 22 th. 2007
Suatu ketika, saya berkunjung ke beberapa ustadz di kampung. Saya mendapati suasana yang memprihatinkan, di mana gedung-gedung sekolah dan madrasah terlihat rapuh, bahkan beberapa diantaranya ambruk. Setelah ngobrol-ngobrol, saya jadi tahu bahwa di sana angka pengangguran begitu tinggi, anak terlantar, baik karena yatim-piatu atau karena yang lain, juga tidak sedikit jumlahnya. Perekonomian pedesaaan pun bertumpu pada pertanian, perdagangan tradisional dan kebanyakan penduduknya, kerja serabutan. Sampai di sini perasaan saya hanya terenyuh, seperti biasanya ketika mendengar penderitaan rakyat, memang kita hanya bisa terenyuh.
Tetapi ketika dikabari bahwa di desa itu tiap tahun selalu ada, bahkan banyak yang berangkat haji ke Baitullah, baru saya kaget. Kok? Sejauh yang saya tahu ibadah haji memang hukumnya wajib dilaksanakan, tetapi tentu bagi yang mampu (man istatha’a ilaihi sabila). Jadi jika di satu desa banyak yang berhaji, tentu tingkat ekonomi penduduk juga tidak dapat dikatakan lemah sama sekali. Tetapi kenapa madrasah, masjid, tetap memprihatinkan? Kenapa di sana masih banyak pengangguran? Kenapa di sana masih banyak anak terlantar dan putus sekolah?
Niat Haji: Ibadah Atau….
Setiap muslim yang menunaikan ibadah haji, pasti mendambakan dirinya meraih predikat haji mabrur, yaitu ibadah haji yang diterima Allah swt, dan dampak positifnya dapat dilihat pada perbaikan ‘amal, baik secara individual maupun sosial. Dan tentu setiap yang berhaji tidak berharap bahwa hajinya adalah ibadah yang ditolak dan tidak berdampak positif (haji mardud).
Ibadah haji merupakan panggilan Tuhan terhadap orang yang telah mempunyai kesadaran spiritual-religius. Ironisnya, banyak orang yang menunaikan ibadah haji berkali-kali, padahal masyarakat di sekitarnya banyak yang hidup dalam kemiskinan, kurangnya mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak.
Memang, tidak sedikit umat Islam yang melaksanakan ibadah haji bukan semata-mata sebagai kesadaran perintah Tuhan, tetapi demi kepentingan-kepentingan duniawi: seperti status sosial, membangun citra agamis, hingga untuk meraup kekayaan. Ada politisi pergi ke Tanah Suci untuk memperbaiki moralitas politiknya. Tokoh agama ke Tanah Suci untuk mendongkrak kewibawaannya. Selebriti ke Tanah Suci untuk menghapus citra hedonis dan keglamoran hidupnya. Bahkan ada juga yang ke Tanah Suci untuk berbisnis.
Dalam Islam, ibadah, di samping terkait dengan kepatuhan terhadap perintah Tuhan, juga mengandung makna sosial. Demikian pula dengan ibadah haji. Ibadah yang memerlukan kesiapan fisik material dan mental ini, secara spiritual merupakan gerakan kesaksian pada keagungan Tuhan (musyâhadah). Titik limit dari kesadaran kesaksian itu yang akan melahirkan kebaikan (birr) . Inilah pangkal dari haji mabrur, haji yang mampu memberikan kebaikan (birr) kepada sesama dan alam semesta. Kebaikan itu lahir dengan memaknai spirit dari ritus-ritus dalam prosesinya.
Makna dan Hikmah Ibadah Haji
Ibadah Haji seluruhnya adalah lambang perjuangan kemanusiaan. Thawaf (berputar berkeliling) di Ka’bah, adalah simbol perjuangan menyatukan langkah, pikiran dan hati manusia dalam kepasrahan total menuju satu titik dari mana mereka berasal dan kesana pula mereka kembali. Titik itu tidak lain adalah Allah. Dia adalah pusat eksistensi, kepada siapa seluruh alam semesta, harus mengabdi dan menghambakan diri.
Perjuangan hidup seharusnya memang diarahkan dalam kerangka ini dan bukan kearah yang lain. Sa’i (berlari-lari kecil) dari bukit Shafa ke bukit Marwah, adalah simbol perjuangan keras meraih hidup sejahtera. Simbol ini ditampilkan lewat peran seorang perempuan papa, Siti Hajar. Ia mencari air sumber kehidupan dan kesuburan bagi manusia dan alam. “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu” (QS. Al-Anbiya: 30). Tuhan pun lalu menganugerahinya air Zam-Zam.
Air Zam-zam sendiri melambangkan kehidupan yang bersih, sehat dan halal. Dan isteri Nabi Ibrahim sesungguhnya bukanlah sosok yang berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk manusia yang tidak berdaya; anaknya; Ismail, dan pada akhirnya diperuntukkan untuk berjuta-juta manusia. Selanjutnya Wuquf (berdiam diri) di padang ‘Arafah. Ia adalah sebuah ritual haji paling inti. Disabdakan oleh Nabi Muhammad saw, “Al-Hajju ‘Arafah” (Haji itu wuquf di Arafah). Wuquf di ‘Arafah sendiri melambangkan kesetaraan manusia di hadapan Tuhan. Di tempat ini semua identitas sosial, kultural (budaya), politik, ekonomi, ideologi-ideologi, sekte-sekte, jenis kelamin, warna kulit, bahasa dan lain sebagainya, melebur dan tak kentara lagi. Ini adalah pesan perjuangan yang paling mendasar dan ilahiyah. Artinya bahwa segala perbedaan yang sengaja diciptakan Tuhan atau diciptakan manusia, tidak boleh menjadi dasar bagi upaya-upaya manusia untuk merendahkan, meminggirkan atau menyingkirkan manusia yang lain. Wuquf di ‘Arafah, dengan begitu, adalah lambang persaudaraan di mana martabat manusia sesungguhnya adalah sama. “Sungguh orang-orang yang beriman (kepada Allah) adalah bersaudara” (QS. Yusuf: 53).
Berpakaian Ihram, seperti ditegaskan Imam Junaid, adalah simbol dari kesadaran bahwa yang membedakan derajat manusia di hadapan Tuhan hanyalah takwa. (Q.S. al-Hujûrât: 13). Sementara itu ibadah qurban yang juga dilakukan saat ibadah haji, sejatinya melambangkan perjuangan mewujudkan solidaritas sosial dan ekonomi.
Demikianlah makna dan hikmah yang terkandung dibalik pelaksanaan ibadah haji. Andaikan semua itu benar dihayati dan diamalkan dalam kehidupan setelah melaksanakan ibadah haji, maka tatanan kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera dan diridhai Allah akan terwujud. Wallahu’alam bi al-shawab.[]
(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VI ed. 22 – tanggal 23 Nopember 2007)