Minggu, 22 Desember 2024

Hak Sipil Jemaat Ahmadiyah Sadasari Terancam

Baca Juga

Sebelumnya, Masjid Istiqomah milik Jemaat Ahmadiyah Sadasari di serang dan dirusak massa yang mengatasnamakan Aliansi Gerakan Anti Maksiat (AGAM) yang terdiri dari beberapa ormas Islam. Awalnya, kelompok ini berencana melakukan aksi damai pada tanggal 28 Januari 2008 di halaman Masjid Al-Iman Majalengka. Dalam aksinya mereka mendatangi Polres Majalengka, Bupati Majalengka dan Kajari Majalengka. Massa berorasi dan membawa spanduk serta tulisan-tulisan yang mengecam keberadaan Ahmadiyah Sadasari dan menuntut agar pemerintah setempat dapat membubarkan jemaat Ahmadiyah Sadasari. Pihak pemerintah mengatakan bahwa tuntutan massa akan ditindaklanjuti sesuai prosedur hukum yang berlaku dan tentunya menunggu keputusan pemerintah pusat. Mendengar jawaban pemerintah daerah setempat ini massa merasa kecewa dan memutuskan untuk membubarkan diri dengan damai dan tanpa anarkisme. Akan tetapi diluar dugaan, massa justru mendatangi jemaat Ahmadiyah Sadasari dan melakukan pengrusakan terhadap masjid dan rumah anggota jemaat Ahmadiyah Sadasari.

Masjid dan beberapa rumah warga hancur cukup parah. Seorang warga yang tidak mau disebut namanya, menyatakan bahwa, massa yang berjumlah puluhan orang dengan beringas menghancurkan semua fasilitas masjid Istiqomah, beberapa rumah warga, beserta rumah muballigh Ahmadiyah Sadasari. Ketika itupun aparat kepolisian yang menjaga masjid tersebut hanya beberapa orang saja, aparat berwajib dinilai lalai dalam mengantisipasi tindakan-tindakan main hakim sendiri. Aparat kepolisian menyangkal bahwa aksi tersebut diluar kehendak institusinya dengan alasan sebelumnya massa yang melakukan aksi ini tidak menyebutkan akan mendatangi dan melakukan pengrusakan terhadap fasilitas Jemaat Ahmadiyah Sadasari, aparat menganggap bahwa mereka telah dikelabui massa yang melakukan pengrusakan tersebut.

Teror dan kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah Sadasaripun pernah terjadi tengah malam penghujung akhir tahun lalu, ketika itu puluhan orang tak dikenal melempari masjid Istiqomah dengan batu dan merusak semua fasilitas masjid. Beberapa rumah warga jemaat Ahmadiyahpun menjadi sasaran amukan massa tak dikenal.

Sejatinya, keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Sadasari ini sudah berpuluh tahun yang lalu, tepatnya sekitar 30 tahun yang lalu. Mereka hidup damai bersama warga setempat. Baru sejak tahun 2005 hingga sekarang Jemaat Ahmadiyah selalu mendapatkan tekanan dan intimidasi dari ormas-ormas Islam garis keras, beserta tokoh-tokoh keagamaan di kecamatan Argapura. Menurut cerita, konflik awal ini dipicu oleh ceramah Habib Riziq Shihab di Sadasari yang isinya menghinakan Ahmadiyah. Seminggu kemudian, terjadi usaha-usaha untuk pembekuan aktivitas dan tempat ibadah jemaat Ahmadiyah oleh beberapa tokoh agama di wilayah Argapura.

Sebenarnya proses dialog antara Muspika setempat, warga non-Ahmadiyah, serta Jemaat Ahmadiyah Sadasari sudah pernah dilakukan. Pada tahun 2005 pernah diadakan dialog antara pengurus Ahmadiyah Sadasari, unsur Muspika (Kecamatan, Danramil dan Polsek) dan tokoh-tokoh agama. Kesepakatan-kesepakatan paska dialog salah satunya mengenai penyegelan masjid Al-Istiqomah, pelarangan penggunaan rumah warga Ahmadiyah untuk dijadikan tempat ibadah, pelarangan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan ajaran Ahmadiyah, himbauan agar jemaat Ahmadiyah Sadasari dapat berbaur dengan warga setempat, serta jaminan tokoh-tokoh agama setempat dalam menjaga dan mengamankan aset dan fasilitas JAI Sadasari dengan catatan selama JAI mematuhi kesepakatan-kesepakatan yang dibuat. Hasil kesepakatan ini ditandatangani oleh 12 Kyai yang ada di Kecamatan Argapura. Akibat hasil kesepakatan tersebut menyebabkan hilangnya hak-hak jemaat Ahmadiyah menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.

Sekitar pertengahan tahun 2007 masjid Al-Istiqomah bisa digunakan untuk aktivitas ibadah, akan tetapi oleh pihak yang anti Ahmadiyah dianggap melanggar kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dengan tuduhan bahwa pihak Ahmadiyah masih melakukan kegiatan-kegiatan melanggar hasil kesepakatan bersama. Hal ini juga tidak terlepas karena maraknya serangan terhadap Ahmadiyah di berbagai daerah seperti Parung, Bogor dan Manislor, Kuningan.

Terlepas dari itu semua, adanya fatwa sesat MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sebagai salah satu aliran sesat dan menyesatkan, merupakan salah satu faktor yang melegitimasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah. Sehingga tidak jarang membuat Jemaat Ahmadiyah kehilangan rasa aman, hilangnya rasa tentram dalam menjalankan aktifitas kehidupan, dan ini juga berimplikasi pada tumbuhnya kecurigaan, serta tidak terbangunnya kepercayaan antar sesama warga Sadasari, bahkan menyebabkan sentimen khalayak publik terhadap Jemaat Ahmadiyah Sadasari.

Peran pemerintah daerah Majalengka terhadap Ahmadiyah ini dinilai lalai dalam memenuhi hak-hak warga negara minoritas agama, justru dengan adanya kesepakatan tersebut serta tindakan-tindakan kekerasan yang menimpa JAI Sadasari ini menegaskan keberpihakan pemerintah daerah setempat terhadap kelompok Islam yang mengamini sikap-sikan diluar hukum. Walaupun pemda setempat mengatakan bahwa urusan Ahmadiyah adalah urusan pemerintah pusat, akan tetapi seharusnya pemerintah daerah Majalengka dapat menentukan sikap sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya  yang diatur dalam konstitusi, serta dapat memberikan antisipasi pengamanan sebelum tindakan-tindakan kekerasan menimpa jemaat Ahmadiyah.

Negara seharusnya dapat menjamin kebebasan warga negara dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, hal ini tertuang jelas dalam amandemen ke 2 UUD 1945 Pasal 28 E yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Dan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Bangsa kita juga merupakan salah satu negara yang meratifikasi kebebasan beragama dan berkeyakinan, ini menunjukkan bahwa negara kita menjamin tiap-tiap individu untuk dapat memilih agama dan kepercayaan sesuai dengan kepercayaan dan hati nuraninya, seperti dalam Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan: “Setiap Orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menaatinya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”

Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia telah menyepakati satu norma tertulis yang memperhatikan hak-hak individu, perorangan ataupun kelompok berupa Deklarasi Universal HAM (DUHAM), dengan tujuan mempromosikan (to promote), menghormati (to respect), melindungi (to protect), menfasilitasi (to facilitate), menyediakan (to provide) pemenuhan (fulfillment) hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, negara harus berpegang pada beberapa point; peran aktif negara melindungi hak-hak beragama dan berkeyakinan dan mencegah segala bentuk diskriminasi terhadapnya, pembentukan hukum nasional untuk menjamin hak-hak beragama dan berkeyakinan, penjabaran hak-hak beragama dan berkeyakinan, larangan diskriminasi oleh negara, kelompok masyarakat atau orang manapun dengan alasan-alasan agama atau kepercayaan lain, serta larangan pengurangan dan pembatasan hak-hak beragama dan berkeyakinan oleh pihak manapun. Jelas kiranya memilih, menyakini, mengajarkan, dan menjalankan suatu kepercayaan dan keyakinan merupakan hak dasar individu, perorangan ataupun suatu kelompok.

Akan tetapi dalam pemahaman mainstream, perlindungan terhadap kebebasan beragama ini sering terganjal karena beberapa faktor, diantaranya; ketidaktaatan asas baik terhadap konstitusi dan jaminan undang-undang dan hukum internasional yang sudah diratifikasi, inkonsistensi pada demokrasi, tidak adanya kesadaran toleransi, kebhinnekaan dan multikultural, pemahaman publik mengenai hak-hak asasi manusia masih sangat rendah. Perlu kiranya ini dapat dijadikan sebagai renungan kita dalam menentukan dan memilih sikap kita ke depan. Bahwasanya perlu ada kesadaran bersama dalam merespons setiap persoalan yang berbasis dari pemahaman keagamaan, kepercayaan dan keyakinan. Negara kita adalah negara hukum. Maka dari itu pelanggaran terhadap hukum harus segera diproses sesuai hukum yang berlaku, baik itu usaha perorangan atau kelompok tertentu dalam memaksakan kehendak keyakinan serta usaha-usaha yang menimbulkan kekerasan yang berimplikasi pada pengurangan hak-hak warga negara. (ab).

_____________
*Tulisan ini adalah hasil pemantauan Fahmina atas kasus Ahmadiyah Sadasari
**Penulis adalah Pemantau Jaringan Kerja (JAKER) Kebebasan Beragama dari Fahmina Institute. Fahmina bekerjasama dengan beberapa NGO: LBH dan PBHI Bandung, GKP Bandung, JIMM dan Desantara melakukan Pemantauan Diskriminasi Berbasis Agama dan Kepercayaan di Jawa Barat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya