Ahad (30/07/06) kemarin, menjadi hari yang cukup menegangkan bagi peserta Dawrah Kader Ulama’ Pesantren. Pasalnya, kuliah perdana dawrah ini dimulai dengan tema “tabaddulul ahkam bi tabaddul al-maslahah/hukum senantiasa berubah dengan berubahnya tujuan kemaslahatan”, dengan pembicara KH. Husein Muhammad di Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon. Sejak awal perkuliahan, Kang Husein seperti sengaja melakukan cuci-otak. Seluruh konstruk pemikiran yang selama ini dianggap mapan, dibongkar habis-habisan oleh Kang Husein.
Sesekali, para peserta terlihat mengerutkan dahi, tegang, serasa tidak terima, serta tergugah untuk berpikir ulang dan kritis terhadap khazanah pesantren yang kesannya selama ini sakral, tidak bisa diotak-atik karena merupakan warisan para pendahulu (salafus shalih).
Kang Husein memulai dengan mengurai sejarah hukum Islam dari periode ke periode. Bagaimana semua itu menjadi bukti, betapa hukum selalu berubah dari waktu ke waktu, karena ada tuntutan mashlahah yang berubah pula. Pada masa Nabi, para sahabat waktu itu harus menerima sepenuhnya pensyari’atan hukum Islam. Nabi sebagai otoritas tunggal dalam legislasi hukum dan penafsiran teks suci al-Qur’an. Karena hal ini mendapat jaminan dari Allah sendiri, yaitu Nabi sebagai insan yang ma’shum.
Namun pada periode selanjutnya, setelah Nabi wafat, tidak ada lagi pemegang otoritas tunggal penafsiran. Semua orang (sahabat tabi’in) bebas melakukan penafsiran terhadap teks suci. Persoalannya, yang ditinggalkan Nabi, masih berupa kata-kata, ingatan-ingatan personal. Sosok Nabipun dipandang secara beragam, sebagai manusia, Nabi, pemimpin, hakim dan lain sebagainya. Di sini, orang bebas menafsirkan, karena tidak ada lagi otoritas tunggal. Namun kemudian, otoritas seperti ini muncul lagi ketika hadirnya sistem khalifah. Pada periode inilah sering sekali terjadi hukum itu berubah sesuai dengan konteks kemaslahatan yang berbeda. Intinya, begitu Nabi wafat, hukum telah berubah dalam bentuk formalnya. Ada yang tetap dipergunakan, ada pula yang tidak.
Periode selanjutnya, yaitu era tabi’it tabi’in. Para periode ini mulai muncul otoritas-otoritas komunal, dengan terbentuknya madzhab-madzhab hukum Islam, pembukuan (tadwin) ilmu-ilmu keislaman. Sebagaimana periode sebelumnya, era ini juga banyak dijumpai perubahan-perubahan hukum. Seperti adzan dua kali pada waktu hari Jumat. Itu berdasar pada kemaslahatan, mengingat jarak geografis umat Islam yang berjauhan. Apa itu tidak bid’ah, padahal belum pernah dipraktekkan pada zaman Nabi. Kalau itu bid’ah, berarti menulis kitab juga bid’ah?
Pada masa selanjutnya, era ‘Ashru al-taqlid, periode taklid. Di sini, kodifikasi ilmu banyak dilakukan. Orang bebas menafsirkan, beristinbath, tapi tetap tersekat-sekat. Terikat dengan orang (imam-imam mazhab) dan otoritas teks. Pada masa awal Imam itu sendiri sebenarnya mereka tidak pernah mau dijadikan sebagai kunci dari segala permasalahan hukum. Contohnya banyak sekali, terkait dengan ungkapan-ungkapan para Imam tersebut, yang meniadakan kultus kebenaran pada dirinya. Seperti ungkapan Imam Syafi’i “idza shahha al-hadits fahuwa madzhabi/apabila sebuah hadits itu shahih maka itulah mazhabku” di samping ujaran lain dari para imam-imam mazhab.
Kembali ke awal, jadi sejak mula, sumber-sumber teks hadits misalnya itu bersifat personal, kebenaran individual. Oleh karenanya, di kemudian hari, perdebatan tentang validitas hadits marak terjadi di kalangan para ulama’. Nah, secara garis besar, kebenaran dari masa lalu bersifat personal. Tidak ada sistem hukum yang telah dirumuskan secara bersama-sama oleh masyarakat dan tertulis. Sebagai dampaknya, semua bisa diselesaikan oleh perorangan. Misalnya, perlindungan terhadap perempuan juga dilakukan oleh orang, ketika perempuan keluar rumah dalam jarak jauh, harus dilindungi oleh orang, mahramnya. Sekarang tentu sulit sekali, bahkan bisa jadi menimbulkan kemudlaratan. Berbeda dengan sekarang, di mana hukum sudah menjadi undang-undang tertulis, dan berlaku bagi siapapun. Perlindungan perempuan bukan perorangan lagi, tapi lembaga hukum, yaitu negara.
Membahas buku Ta’lil al-Ahkam karya Musthafa Syalabi, tentang tema di atas, Kang Husein banyak memaparkan persoalan-persoalan metodologis terkait dengan periodesasi hukum yang diurai tadi. Bahwa memang, dalam sejarahnya juga perubahan hukum mengiringi perubahan konteks kemaslahatan tidak dapat dipungkiri. Itu jika kita mau berpikir rasional. Dan itu harus dilakukan, karena kebebasan akal untuk berpikir sama sekali tidak bisa dihentikan. Bahkan menurut Imam al-Qaffal yang dikutip oleh al-Zarkasyi dalam bukunya Bahrul Muhith, teks itu tak lebih sebagai penguat (muakkid) terhadap akal. Rasionalitas akal tidak akan bertentangan dengan semangat al-Qur’an. Berpikir secara bebas tentu dibolehkan selama tidak melanggar prinsip-prinsip umum syari’ah, seperti keadilan, tidak mendzalimi, kesetaraan, dan lain sebagainya.
Di bagian sesi lain diskusi inipun, Kang Husein banyak mengungkap persoalan-persoalan kritik metodologis ushul fiqh. Seperti perihal naskh-mansukh, qath’i-dzanni dan lain-lain. Terlihat Kang Husein melakukan dekonstruksi terhadap bangunan metodologi yang selama ini tertata rapi dalam khazanah keilmuan pesantren.
Memasuki sesi diskusi, peserta sepertinya tak sabar ingin melontarkan tanggapan. Satu persatu melontarkan kritik, pertanyaan, maupun sanggahan terhadap pemikiran-pemikiran Kang Husein. Salah satunya tentang naskh, bukankah naskh-mansukh itu pembenaran adanya penggantian ayat?
Menjawab hal ini, Kang Husein bersikukuh bahwa naskh itu tidak boleh terjadi dalam konteks ayat al-Qur’an. Sejarahnya, nasakh ini muncul sesudah Nabi. Dalil-dalil yang dikemukakan pun ayat-ayat al-Qur’an, seperti ayat “Ma nansakh min ayatin aw nunsiha na’ti bikhairin minha/Kami tidak menasakh dari satu ayatpun, atau kemi menasakhnya dengan ayat yang lebih baik darinya”. Kemudian ulama’ mulai mendefiniskan kata “nasakh” dan “ayat” dalam firman ini. Kedua kata ini memiliki ragam makna, tidak tunggal. Ada yang mengatakan nasakh adalah pembatalan hukum (ibthal al-hukm), raf’u al-hukm, dan lain sebagainya. Padahal nasakh itu sendiri bisa pula dimaknai penangguhan atau penundaan. Karena tidak ada ruang untuk mengamalkan ayat-ayat mansukh itu. Tidak hanya itu, para ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah ayat yang dinasakh, ada yang mengatakan 40, 90 dan seterusnya. Ini membuktikan bahwa naskh memang menangguhkan ayat bukan membatalkan. Karena pemikiran manusia saja yang belum bisa menalarnya. Kalau dicontohkan, seperti persoalan kiblat. Bisa jadi sejak awal kiblat itu memang di masjidil haram, namun karena kondisi sosial-politik belum memungkinkan, maka kiblat dialihkan ke baitul maqdis selama delapan belas bulan.
Selain nasakh, banyak lagi perdebatan yang muncul dalam sesi diskusi dawrah ini seputar pernak-pernik metodologi hukum Islam (ushul al-fiqh). Akan tetapi durasi waktu yang singkat membuat diskusi harus dilanjutkan pada jadwal perkuliahan yang akan datang. Banyak sekali menyisakan persoalan di benak peserta. Demikian halnya dengan Kang Husein, dia memberi saran, hendaknya peserta anti klimaks berfikir secara rasional dalam mengkaji khazanah Islam. “Kebebasan akal harus dioptimalkan, tidak boleh dikekang ataupun diberangus. Beribu persoalan menanti jawaban kita”, ujarnya.[]