Akhir-akhir ini tindak kekerasan atas nama agama semakin marak, mengusik keharmonisan kehidupan beragama dan berbangsa di negeri ini. Munculnya kekerasan disinyalir kuat sebagai dampak dari radikalisme agama yang belakangan juga kuat menggejala.
Sebagian umat Islam di Indonesia sekarang memandang Islam sebagai agama yang melegitimasi dan mengajurkan tindak kekerasan, bahkan pesantren yang sejatinya merupakan gerbang Ilmu agama Islam juga ditenggarai ikut berperan dalam membentuk sikap radikal dan melegitimasi aksi kekerasan. Pada waktu yang lalu, hampir semua kita mengetahui bahwa beberapa pesantren justru dicurigai sebagai ‘sarang’ radikalisme agama dan basis latihan ‘teroris’.
Kenyataan ini membuat resah kalangan pesantren, tidak terkecuali Buntet pesantren, yang merupakan salah satu pesantren tertua di Indonesia. Karena itulah di Buntet Pesantren diselenggarakan Halaqah Maudhu’iyaah (kajian tematik) yang membahas tema “Pesantren dan Radikalisme Agama”. Halaqah ini dilaksanakan pada Rabu, 02 April 2008 merupakan rangkaian acara Haul al-marhûmin 2008 Buntet Pesantren. Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut, KH. Syarif Utsman Yahya sesepuh NU Kab. Cirebon, Hamami Zada dari PP. LAKPESDAM NU, DR. Moqsith Ghazali dan DR. Rumadi dari The Wahid Institute. Sedangkan peserta acara ini adalah kyai dan ulama se-wilayah III Cirebon.
Hamami Zadah sebagai pembicara pertama menyatakan bahwa aksi radikalisme Islam yang menghalalkan tindak kekerasan merupakan aksi yang membahayakan Islam sebagai agama yang membawa misi damai. Menurutnya gerakan radikalisme Islam di Timur Tengah tidak cocok diterapkan di Indonesia. Sedangkan KH. Syarif Utsman Yahya menyatakan bahwa NU yang di dalamnya adalah orang-orang pesantren sejak awal memang sangat menghargai perbedaan. Beliau mencontohkan bahwa dahulu di Pesantren Kempek kalau shalat Jum’at hanya sekali Adzan karena ada kyai yang tidak sepakat dengan dua kali adzan ketika Jum’at. Tapi di NU kasus seperti itu tidak pernah di persoalkan secara serius.
Sementara itu pembicara berikutnya DR. Moqsith Ghazali menjelaskan soal hukumnya melakukan tindak kekerasan dengan alasan agama. Penjelasan ini sangat menarik perhatian peserta, karena memang kebiasaan kalangan pesantren atau pun masyarakat pada umumnya adalah kebiasaan mempersoalkan hukum suatu perbuatan tertentu. Kalangan pesantren biasanya lalu membahas hukum suatu perkara dalam kajian yang disebut bahtsul masail (pembahasan masalah-masalah), baik masail waqi’iyyah (masalah realitas sosial) maupun masail maudhu’iyyah (masalah tematik). Dalam pembahasannya, para peserta kajian biasanya menghasilkan beberapa kesimpulan, atau beberapa pandangan (aqwâlun atau aûjahun). Jadi memang sejak dahulu kalangan pesantren, terbiasa dengan perbedaan pandangan di dalam Islam. Sebagai contoh mudah, pandangan para ulama pesantren mengenai bunga bank, tidaklah tunggal. Sebagian menyatakan bunga bank itu halal, sebagian menyatakannya sebagai barang haram, dan sebagian ada yang menyatakan sebagai syubhat (tidak jelas). Kesemua pandangan itu disertai dalil dan argumen keagamaannya masing-masing.
“Kalau ditanya bagaimana hukumnya kekerasan dengan mengatas namakan agama? maka jawabnya, sebagaimana hukum bunga bank, hukum kekerasan mengatasnamakan agama, ternyata juga ada tiga pandangan”, kata Moqsith, memulai penjelasannya.
Yang pertama, yaitu hukumnya boleh bahkan bisa wajib. Ini atas dasar banyak dalil baik di dalam al-Qu’ran maupun Hadits Nabi SAW. yang mendasarinya. Di antaranya di sebutkan dalam surah At-Taubah ayat 5 bahwa: “…faqtulul musyrikîna haitsu wajadtumûhum…”, artinya “…maka bunuhlah olehmu orang-orang musyrik itu di mana pun kamu jumpai…”. Dalam surah Muhammad ayat 4 dikatakan bahwa , “Fa idzâ laqîtum al-ladzîna kafarû fa dharba riqâb…, artinya “Kalau kalian bertemu orang-orang kafir di medan perang) maka penggallah lehernya…”. Dalam surah Al-Anfal ayat 39 dikatakan bahwa, “waqâtilûhum hattâ la yakûna fitnantun wa yakûna dînu kullahû lillah”, artinya: “Orang-orang musyrik itu sehingga tidak ada fitnah dan semata-mata agama untuk Allah”.
Dalam al-Qur’an surah Al-Anfal ayat 60 yang disebutkan: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak dianiaya (dirugikan)”. Dengan merujuk secara harfiyah pada ayat-ayat al-Qur’an seperti di atas, maka dengan demikian melakukan tindak kekerasan dengan baju agama bukan saja boleh tetapi wajib dilakukan oleh umat Islam. Ini qaul yang pertama, yang menjadi pegangan Osamah bin Laden, al-Qaedah dan lain sebagainya
Yang kedua, menyatakan bahwa kekerasan atas nama agama itu dilarang, kekerasan dengan alasan agama atau berbaju agama haram hukumnya. Karena di dalam Al-Qur’an ada ayat yang menyatakan: “La ikrâha fi al-dîn”, “tidak ada paksaan di dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 120). Ayat yang lain menyatakan bahwa: “… Fa man syâ’a falyu’min wa man syâ’a falyakfur”, artinya: “Orang boleh memilih, barang siapa ingin beriman maka boleh beriman, dan barang siapa hendak kufur, maka silahkan saja kufur” (QS. al-Kahfi: 29) . Ada lagi ayat yang berbunyi, “Lakum dînukum wa liya dîn”, artinya: “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6). Dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an seperti ini, maka Islam tidak boleh dilaksanakan atas dasar paksaan.
Yang ketiga, qaûl yang menyatakan bahwa hukum melakukan kekerasan atas dasar agama adalah syubhat (tidak jelas). Karena memang ada ta’arudh baîna adillah, ada pertentangan antara dalil-dalil atau ayat-ayat yang menganjurkan kekerasan dan dalil-dalil yang menentangnya. Jadi hukum kekerasan atas nama agama menurut qaul yang ketiga adalah syubhat. Tetapi, di dunia pesantren, lebih khusus di kalangan para sufi atau orang-orang yang menjaga diri dari perbuatan buruk (orang-orang wara’), syubhat adalah juga perkara yang harus ditinggalkan dan dijauhi selain tentu perkara yang hukumnya haram.
Di antara beberapa qaûl (pandangan) di atas, kita akan memilih yang mana? Saya sendiri berpegang pada pandangan bahwa kekerasan atas nama atau berbasis agama tidak bisa dibenarkan. Memang di dalam al-Qur’an ada dua kelompok ayat, kelompok ayat yang menganjurkan tindak kekerasan atas dasar agama dan ada kelompok ayat yang justru sebaliknya. Ada ayat yang menyatakan bahwa “La ikrâha fi al-dîn”, yang artinya: “tidak ada paksaan di dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 120), dan ada ayat yang berbunyi “Faqtulû musyrikîna haitsu wajadtumûhum”, yang artinya: “maka bunuhlah olehmu orang-orang musyrik di mana pun kalian jumpai” (QS. At-Taubah: 5). Itu kan ada ta’arudhul adilah (pertentangan dalil) di dalam al-Qur’an. Menurut hemat saya, ayat al-Qur’an yang menyatakan “faqtulul musyirikina, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu” bisa dinasakh (dihapus maknanya) dengan ayat “La ikrâha fi al-din, tidak ada paksaan dalam agama”. Atau bisa dilakukan takhsish (spesifikasi) atau nasakh juz’iy di dalam ushul fiqh. Kenapa? “La ikraha” dalam ayat yang menyatakan “La ikraha fi al-din”, bila dikaji dari sisi ilmu nahwu (tata bahasa Arab) maka, “La” di sana menunjukkan pada La linafyil jinsi. Artinya kata La, yang bermakna tidak ada itu meliputi seluruh jenis paksaan di dalam agama. Artinya Islam sama sekali tidak bisa dijalankan dengan paksaan.
Sementara kata ikraha (paksaan) adalah kata tunggal (mufrad). Kata dalam bentuk mufrad yang terletak setelah nafy (negasi) maka disebut kata ‘am (umum). Menurut Imam Hanafi kata ‘am memiliki dalalahnya adalah qath’iy, artinya menunjukkan makna pasti. Sehingga dengan dalalah qath’iy ini, ayat yang menyatakan “la ikrahâ fi al-din” tidak bisa di ditaksish (disepesifikkan) atau di nasakh (dihapus maknanya) dengan hadits atau ayat lain yang dalalahnya adalah dzanni (tidak pasti). Karena itu la ikraha fi al-din, yang artinya tidak ada paksaan dalam agama adalah dalil atau yang menunjuk pada hukum utama. Sementara itu dalil-dalil lain tidak bisa menggantikan posisi utama dalil atau ayat itu.
Ada hadits yang menyatakan bahwa man baddala dînahu faqtulûh, artinya: “Siapa yang berpindah agama (dari Islam) maka boleh untuk dibunuh”. Hadits atau dalil semacam ini berbahaya bila dipraktekkan di Indonesia. Hadits ini adalah hadits Ahad yang belum memenuhi syarat-syarat sebagai hadits mutawatir (yang sanadnya sampai ke Nabi SAW.). Karena ia hadits Ahad maka dalalahnya atau makna yang ditunjukkanya adalah dzanny (tidak pasti). Sehingga tidak bisa diterapkan sebagai landasan hukum. Karena itu sekali lagi saya katakan bahwa kekerasan atas nama agama adalah syubhat, dan tidak mudah dibenarkan. Wallahu a’lam bi al-shawab. (AM)
Tulisan ini adalah hasil liputan Warkah al-Basyar pada Halqah Maudhuiyyah Buntet Pesantren,
Rabu, 02 April 2008 di MA NU Buntet.
(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VII ed. 08 – tanggal 11 Maret 2008)