Rabu, 5 Nopember yang lalu, Menteri Agama melepas keberangkatan kloter pertama jama’ah haji asal Indonesia. Pelepasan ini, menandakan bahwa musim haji telah tiba. Di mana sebagian umat Islam yang mampu di penjuru dunia, termasuk di Indonesia, sudah mulai gegap gempita mempersiapkan dirinya melakukan perjalanan ke tanah suci dalam rangka menunaikan rukun Islam yang kelima. Sebagai salah satu rukun Islam, Ibadah haji berbeda dari ibadah-ibadah lainnya. Ia hanya diwajibkan sekali seumur hidup. Ia juga hanya diwajibkan bagi yang mampu. Ini bermakna, seorang yang mengerjakannya lebih dari satu kali, maka yang lebih itu hukumnya sunat, bukan wajib. Demikian juga orang yang tidak mampu, tidak wajib baginya mengerjakan haji.
Ibadah haji bukan hanya sekedar lembaran sejarah yang harus diisi oleh kehidupan seorang muslim. Haji juga bukan sekedar sepetak lahan di jazirah gersang bernama Hijaz, yang tiap tahun dihadiri oleh jutaan ummat manusia. Bukan juga hanya sekedar rangkaian amal ibadah dengan tata cara ketat yang harus dijalani oleh seorang muslim. Lebih dari itu semua, ibadah haji adalah rahmat Ilahi yang diturunkan tiap tahun, pada waktu-waktu tertentu. Jauh di balik berbagai tata cara ibadah haji yang indah itu, tersembunyi rahasia, idealisme dan hikmah yang sangat besar.
Makna sosial yang bisa diambil dari pelaksanaan ibadah haji adalah kesamaan (muwasah) di hadapan Allah swt dan lambang persatuan dan kesatuan umat. Tidak ada perbedaan pejabat dengan rakyat jelata, orang kaya dengan orang miskin, kulit hitam dengan kulit putih dan berbagai status sosial lainnya yang selama ini dibanggakan manusia. Ajaran ini tercermin sejak orang yang melaksanakan ibadah haji memasuki miqat. Di sini mereka harus berganti pakaian karena pakaian melambangkan pola, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian kadang menciptakan batas palsu yang tidak jarang menyebabkan perpecahan di antara manusia. Selanjutnya dari perpecahan itu timbul konsep “aku”, bukan “kami atau kita”, sehingga yang menonjol adalah kelompokku, kedudukanku, golonganku, sukuku, bangsaku, dan sebagainya yang mengakibatkan munculnya sikap individualisme. Penonjolan “keakuan” adalah perilaku orang musyrik yang dilarang oleh Allah swt.
Ini adalah pesan kemanusiaan Islam yang disimbolkan dengan hanya mengenakan pakaian ihram yaitu kain putih. Karena yang mulia di sisi Allah bukan pejabat, orang kaya, kulit putih, suku Arab atau status sosial lainnya, melainkan takwalah yang menyebabkan kemuliaan manusia di hadapan Allah swt.
Terkait dengan hal ini, Ali bin Abi Thalib mengatakan; “Tidak diragukan lagi bahwa siapa pun yang mampu menangkap spiritualitas keesaan Allah swt dalam ibadah haji, ia tidak akan membiarkan jiwanya jatuh ke dalam kehinaan dan represi. Siapa saja yang dalam ibadah haji ini mampu menyingkirkan perbedaan dan keistimewaan-keistimewaan duniawi, ia akan merasakan adanya kesucian, kebaikan hati, egalitarianisme, dan kasih sayang pada jiwanya. Setelah itu, ia akan menyebarkan berbagai hal yang indah itu di tengah-tengah masyarakat.
Deklarasi Peradaban Kemanusiaan
Pembangunan ka’bah oleh Ibrahim adalah pembangunan peradaban dunia baru. Sebuah peradaban yang didirikan bukan hanya di atas nilai-nilai meterialisme, melainkan dasar dari nilai-nilai keilahian yang sifatnya spiritual. Nilai inilah yang diwariskan Ibrahim untuk kemudian dikembangkan oleh Nabi Muhammad saw, dan sampai sekarang, masih tetap berjalan. Untuk itu, melalui haji ini umat Islam dituntut untuk meraih pencerahan ruhani dengan cara memperbaiki diri selama di tanah suci untuk diaktualisasikan dalam rangka membangun peradaban baru di tempatnya masing-masing dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana yang disampaikan Nabi Muhammad dalam khutbahnya pada haji wada’ (haji perpisahan) yang intinya menekankan; persamaan, keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain; dan larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah, baik dibidang ekonomi maupun fisik. Apa yang disampaikan Nabi Muhammad saw ini merupakan deklarasi nilai kemanusiaan dalam Islam yang harus dijalankan oleh umatnya.
Makna kemanusiaan dan pengamalan nilai-nilainya, tak hanya terbatas pada persamaan nilai antar perseorangan dengan yang lain, tapi mengandung makna yang jauh lebih dalam dari sekedar persamaan tersebut. Ia mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Bermula kesadaran akan fitrah atau jati dirinya serta keharusan menyesuaikan diri dengan tujuan kehadiran dipentas bumi ini. Kemanusiaan mengantar putra-putri Adam menyadari arah yang dituju serta perjuangan mencapainya.
Kemanusiaan menjadikan mahluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin mahluk-mahluk lain mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarnya menyadari bahwa ia adalah mahluk dwi dimensi yang harus melanjutkan evolusinya hingga mencapai titik akhir. Kemanusiaan mengantarnya sadar bahwa ia adalah mahluk sosial yang tak dapat hidup sendirian dan harus bertanggung rasa dalam berinteraksi.
Makna-makna tersebut dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual atau dalam tuntunan non ritual, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik dan kesemuanya pada akhirnya mengantar jemaah haji hidup dengan pengalaman kemanusiaan universal.
Penulis adalah alumnus pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun dan
sekarang berhidmah sebagai Kabiro Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.