Selasa, 15 Oktober 2024

Jurnalisme Damai: Menciptakan Harmoni di Tengah Konflik

Baca Juga

 ”Dalam memuat berita konflik, kami berusaha menyampaikan dari sisi humanismenya, bukan peristiwanya itu sendiri. Jadi dalam memuat berita peperangan itu, pada dasarnya sudah disaring dari sisi humanismenya. Sehingga yang diberitakan bukan fakta per fakta tanpa misi yang jelas.”

Demikian disampaikan Sartono, salah seorang editor Harian Umum KOMPAS Jabar, dalam acara bincang-bincang bersama peserta ”Pelatihan Interfaith Journalism”, di ruang pertemuan, KOMPAS Jabar, Bandung, pada Selasa (18/11/08) lalu.

Dalam acara yang digelar oleh MS GKP, JAKATARUB, INCReS ini, Sartono juga menekankan bahwa, kebanggan dan keberhasilan wartawan bukan pada menyiarkan berita apa adanya, tetapi ada sensor. Jurnalistik juga jangan berpihak pada pihak manapun, tapi harus pandai menempatkan diri. Seperti menulis berita di Aceh dan Ambon. Dalam hal ini, wartawan bukan sebagai provokator atau sebagai pihak penyelesai masalah.

”Tapi setidaknya kita memberi pemikiran untuk meredakan konflik yang terjadi, bukan malah membuat panas suasana, sehingga konflik menjadi lebih seru,” tandas Sartono di depan seluruh peserta pelatihan.

 Dalam kunjungan ke kantor KOMPAS Jabar ini, peserta pelatihan memang secara khusus berdiskusi tentang Jurnalisme Damai. Yakni jenis jurnalisme yang lebih mengarah pada penyampaian informasi yang berorientasi dan berdampak terciptanya perdamaian. Istilah ini bisa juga digunakan untuk membedakannya dari “Jurnalisme Perang”. Jenis jurnalisme yang mengobarkan peperangan dengan penyampaian informasi yang bersifat provokatif, intimidasi, dan desas-desus. Penganut paradigma jurnalisme perang tidak hanya mengobarkan konflik tetapi juga memotret kekerasan secara telanjang.

Jurnalisme damai sendiri memberi tawaran baru yang menghubungkan para jurnalis dengan sumber-sumber berita dan informasi, liputan yang dikerjakan, dan berbagai konsekuensi dari liputan dimaksud. Pergeseran nilai, kesadaran dan pengetahuan dari audience, menjadikan perkembangan konsekuensi menjadi lebih luas, tidak hanya pada konsekuensi etis jurnalis saja, melainkan dampak hukum dan dampak hak asasi manusia yang menyertainya.

Saat konflik bermunculan pasca tumbangnya Orde Baru, kalangan pers Indonesia belum memiliki pengalaman dalam meliput konflik yang melibatkan pertentangan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Selama Orde Baru, media tidak pernah secara telanjang dihadapkan dengan kerusuhan agama yang demikian besar, luas, panjang, dan melibatkan emosi pemeluk agama, baik Islam maupun Kristen.

Hingga era Orde Baru berlalu, pers belum mampu dan tidak memiliki strategi untuk menurunkan liputan tentang konflik yang mengandung unsur SARA. Dalam hal ini, media terlihat gamang. Kegamangan yang bukan hanya bersumber dari kebingungan bagaimana harus menempatkan diri di tengah-tengah konflik agar tidak meluas, tapi juga bingung untuk menempatkan media itu di antara berbagai kelompok yang ada agar tetap bertahan. Alhasil, yang muncul hanya dua alternatif: Terlibat dan memihak atau menghindari konflik. Realitas inilah yang kemudian memunculkan “jurnalisme damai”.

Butuh komitmen aktivis lintas iman

 Sehari sebelum berkunjung ke kantor KOMPAS Jabar, Senin (17/11/12), peserta yang terdiri dari 22 aktivis lintas iman ini, juga telah mendapatkan materi seputar jurnalistik dasar. Beberapa di antaranya disampaikan wartawan TEMPO, Rana Akbari Fitriawan, tentang bagaimana menulis berita dan feature serta bagaimana melakukan wawancara dan reportase yang baik.

Sementara itu Bambang Q Anees, seorang penulis buku dan kolumnis, menyampiakan tentang bagaimana menulis kreatif: artikel dan kolom. Kemudian Iip D Yahya, seorang penulis produktif, mencoba berbagi pengalaman tentang manajemen redaksi dan praktik membuat news letter.

Selain menerima materi, seluruh peserta juga diberi kesempatan untuk melakukan reportase ke lapangan. Di antaranya reportase ke Gedung DPRD Tingkat I Bandung, reportase acara seminar tentang Korupsi di kantor KOMPAS Jabar, dan reportase ke Lembang tentang ”Semiloka Pembentukan Lembaga Penelitian dan Pembinaan GKP”yang tengah digelar Gereja Kristen Pasundan (GKP) selama dua hari.

Menurut Ketua Pelatihan, Pdt Supriatno, banyak cara pandang masyarakat yang begitu dipengaruhi oleh media. Sebab, media tidak hanya bertugas memaparkan realitas, tetapi juga merekonstruksinya. Media melakukan pemaknaan atas peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi. ”Oleh sebab itu, kita membutuhkan warna media yang melintasi kode etik kejurnalistikan. Apa yang kita sebut sebagai komitmen moral. Yakni, Visi yang berorientasi kepada nilai-nilai kejujuran, keadilan, keseimbangan yang mengarah pada perdamaian,” Ungkap Pdt Supriatno.

Maka, lanjut dia, majalah Lintas Iman Bianglala bekerjasama dengan MS GKP, JAKATARUB, INCReS menyelenggarakan kegiatan pelatihan di bidang kejurnalistikan. Selain itu sekaligus sanggup memanggul tanggungjawab moral dalam menciptakan pemberitaan yang seimbang, yang berorientasi kepada nilai-nilai perdamaian tersebut.

”Kami juga berharap, mampu mengukuhkan komitmen perdamaian bagi para aktifis lintas iman se-Jabar. Membekali ketrampilan praktis bagi para aktifis lintas iman. Terutama dalam bidang jurnalistik yang berorientasi kepada konsep jurnalisme perdamaian,” papar dia.

Sosok yang akrab disapa ”Pak Pri” ini, juga menekankan agar peserta mampu mewujudkan media jurnalistik internal yang sehat, bertanggungjawab dan berorientasi dalam membangun perdamaian antar sesama. Bukan untuk memperkeruh suasana.()

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Kampung Sawah: Potret Keberagaman Terbalut Hangat dengan Nilai Persaudaraan

Oleh: Devi Farida Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang...

Populer

Artikel Lainnya