KOMPAS.com – Publik menilai korupsi telah sampai pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Meskipun publik mengapresiasi kiprah pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, hukuman yang dijatuhkan bagi koruptor dinilai publik belum mampu memberikan efek jera para koruptor dan mencegah calon koruptor.
Seluruh dunia akan memperingati Hari Antikorupsi Internasional pada 9 Desember mendatang. Peringatan tersebut menegaskan kembali tentang kesadaran internasional bahwa korupsi harus diperangi semua pihak. Hasil Jajak Pendapat Kompas pekan lalu kembali memperkuat pandangan itu. Nyaris seluruh responden (94 persen) menyatakan, perilaku korupsi, khususnya di tingkat elite, sudah sangat parah kondisinya dan mengkhawatirkan.
Tak hanya aspek kuantitas, kualitas pelaku korupsi pun meningkat. Menurut penilaian mayoritas responden (78,8 persen) jajak pendapat, pejabat negara yang tertangkap terlibat korupsi menduduki posisi yang semakin tinggi dari waktu ke waktu.
Sementara itu, satu dari dua responden memandang bahwa tindak korupsi dilakukan politisi dan aparat birokrasi dengan rentang usia semakin muda. Ada regenerasi koruptor di negeri ini. Saat ini tindak pidana korupsi telah bertransformasi menjadi kejahatan kaum profesional (white collar crime). Kongkalikong antara pejabat negara dan kaum profesional semakin hari makin sistematik.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2013 menunjukkan, kasus korupsi di sektor pendidikan meningkat pesat dalam kurun satu dasawarsa (2003-2013). Selama satu dasawarsa telah diungkap 296 kasus korupsi yang menyeret 479 tersangka dengan total nilai kerugian mencapai Rp 619 miliar. Angka kerugian negara meningkat empat kali lipat pada 2013 menjadi Rp 99,2 miliar jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Puncak kasus korupsi terjadi pada 2007 dengan 84 kasus dan kerugian negara mencapai Rp 151 miliar.
Koruptor untung
Menurut publik, hal penting yang harus dilakukan kepada koruptor adalah bentuk hukuman yang membuat jera. Salah satunya adalah memperberat hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku korupsi agar calon-calon koruptor lainnya menjadi berpikir seribu kali sebelum melakukan aksi kejahatan korupsi.
Bentuk hukuman yang paling pantas dikenakan bagi koruptor dan ditengarai memberikan efek jera adalah memiskinkan koruptor. Seluruh harta hasil korupsi harus disita sehingga koruptor tak bisa membuat kalkulasi secara ekonomi dari perilaku jahatnya merampok uang negara. Selain itu, dengan tambahan hukuman penjara, pelaku akan merasakan penderitaan masyarakat yang kesejahteraannya telah mereka renggut.
Di Indonesia, hukuman bagi koruptor bervariasi, mulai dari hukuman 1 tahun penjara hingga 20 tahun penjara. Namun, denda paling banyak adalah Rp 1 miliar. Jika nilai uang yang dikorupsi melebihi Rp 1 miliar, tentu secara kasatmata koruptor masih untung. Bentuk hukuman penjara, apalagi dengan waktu singkat, tanpa disertai pemiskinan koruptor sama sekali, dinilai tidak efektif selain tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Bentuk hukuman yang berat bagi pelaku korupsi cenderung disetujui publik jajak pendapat, termasuk menerapkan hukuman penjara seumur hidup.
Merujuk temuan Rimawan Pradiptyo, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada yang memaparkan hasil penelitian P2EB FEB UGM, berdasarkan putusan Mahkamah Agung tahun 2001-2012, biaya penanganan korupsi telah mencapai Rp 168,19 triliun, sementara nilai hukuman yang harus dibayar koruptor hanya Rp 15,09 triliun. Dengan demikian, selisih biaya sebesar Rp 153,1 triliun harus ditanggung masyarakat. Dengan kata lain, di negeri ini, koruptor disubsidi masyarakat. Lengkap sudah penderitaan rakyat, terutama yang berpenghasilan rendah, karena subsidi yang menjadi hak mereka justru dinikmati si kaya (Kompas, 18 Juni 2013).
Fakta ini memberikan penyadaran bahwa selama ini hukuman bagi koruptor tidak berhasil memberikan efek jera kepada mereka yang akan korupsi. Di China, koruptor bisa diganjar hukuman mati, sedangkan di Hongkong para koruptor selain divonis hukuman penjara dan denda juga disertai penyitaan kekayaan. Adapun di Belanda, para koruptor divonis hukuman kerja sosial.
Belum maksimal
Meskipun apresiasi kepada kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagian publik menyatakan upaya tersebut belum maksimal. Hal itu terutama terkait dengan kasus-kasus kakap yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi negara.
Lebih dari separuh responden sangsi pengungkapan sejumlah kasus kakap akan berhasil membongkar kejahatan korupsi hingga tuntas. Enam dari sepuluh responden secara spesifik menyatakan pesimistis penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus Bank Century akan tuntas. Demikian pula kasus proyek Hambalang dan suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Di sisi lain, kiprah KPK tidak disertai peningkatan kinerja lembaga penegak hukum lainnya dalam memberantas korupsi. Beberapa kali pengumpulan pendapat yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan penilaian negatif terhadap kinerja kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam membongkar kasus-kasus korupsi.
Sejumlah kasus yang dibongkar KPK memperlihatkan bahwa aparat penegak hukum merupakan bagian dari jaringan pelaku korupsi, mulai dari aparat kepolisian, jaksa, hingga hakim. Sejumlah hakim ikut serta melemahkan hukuman bagi koruptor dengan modus menerima suap dari tersangka. Beberapa di antaranya bahkan berusaha memutarbalikkan proses pengungkapan oleh KPK melalui upaya kriminalisasi KPK.
Penilaian terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sendiri bisa dilihat dari angka Indeks Korupsi Indonesia selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2011 misalnya, dari 182 negara yang dievaluasi, Indonesia berada di peringkat ke-100 dengan angka indeks 3 dari skala 0 yang terendah dan 10 yang tertinggi. Tahun 2012 peringkat Indonesia ada di angka 118 dari 176 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Brunei, dan Malaysia, angka indeks Indonesia tergolong sangat rendah, yakni di bawah 5.
Laporan ICW tentang korupsi di sektor pendidikan menunjukkan ironi pemberantasan korupsi di negeri ini. Dalam proses memberantas kejahatan ekonomi tersebut, institusi pendidikan merupakan salah satu pilar penting mencegah tindak korupsi. Pendidikan tentang kejujuran dan nilai-nilai kesederhanaan bisa dimulai dari bangku sekolah. Ironisnya, korupsi di sektor itu tidak kurang masif dibandingkan dengan sektor lain dan bahkan bisa menjadi langkah kontraproduktif untuk menangkal tindak korupsi.
Peringatan hari antikorupsi pekan depan merupakan tonggak bagi masyarakat untuk merapatkan kembali barisan pencegahan dan pemberantasan korupsi di negeri ini. (LITBANG KOMPAS)
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary