Idul Fitri merupakan hari raya umat Islam yang dirayakan sebagai aktualisasi perasaan kemenangan, kegembiraan, dan kesenangan. Kemenangan didapatkan setelah umat Islam “menaklukkan” hawa nafsunya selama bulan puasa. Kegembiraan didapatkan bagi mereka yang telah diampuni dosanya. kesenangan didapatkan bagi mereka yang dapat berkumpul dan bersilaturahmi dengan sesama keluarganya. Dan lebih-lebih karena Idul Fitri mendorong sikap untuk saling memaafkan.
Memaafkan memiliki banyak arti, baik menabur perdamaian maupun rekonsiliasi, yakni kesediaan hati untuk menerima kesalahan masa lalu dan siap menatap ke masa depan yang lebih cerah. Minta maaf dan memafkan memang mudah diucapkan, tetapi terkadang berat dilaksanakan dengan penuh ketulusan. Memaafkan bukan hal yang remeh atau sekedar berjabat tangan. Demikian pula berdamai, bukan hanya dengan mengadakan pertemuan dua pihak yang pernah berselisih dan melakukan perdamaian seraya berkata bahwa kita sudah berdamai.
Secara filosofis, memaafkan berarti keinginan untuk hidup dengan tanpa menengok ke belakang dan memupus kenangan saat kebencian dan dendam pernah membara. Memaafkan mempunyai implikasi besar. Melalui kekuatan memaafkan seseorang akan merasa terbebaskan dari beban masa lalu, sehingga mereka bisa bertindak tegas dalam masa kini. Memaafkan yang dimaksud bukan sekadar tindakan lahiriyah semata tetapi juga komitmen batin untuk siap menerima dan tulus terhadap tindakan memaafkan tersebut.
Chaiwat Satha Anand mencatat bahwa dalam Al-Qur’an ada 12 ayat yang membahas tentang memaafkan. Inilah bukti bahwa Islam selalu mengajarkan sikap memaafkan. Tindakan Rasul pun menjadi satu teladan (uswatun hasanah) bagi umat yang ingin belajar sikap memaafkan. Dan satu lagi perayaan Idul Fitri adalah perayaan yang memuat seruan untuk saling memaafkan. Artinya Idul Fitri tidak sekedar dirayakan dengan berjabat tangan, tetapi ada satu tanggung jawab besar untuk selalu melupakan masa lalu dan siap melangkah untuk kebaikan masa depan.
Idul Fitri yang mengajarkan untuk saling memaafkan harus menjadi inspirasi bagi seseorang atau kelompok untuk berbuat dan mengadakan rekonsiliasi. Di hari ini, masyarakat Indonesia harus bisa mengikat tali persaudaraan antara sesama muslim, antara suku bangsa, sehingga menciptakan persaudaraan yang bebas dari ancaman disintegrasi, teror dan kekerasan lainnya. Memaafkan adalah tindakan sosial, politik nirkekerasaan. Karenanya sudah saatnya kekerasan dihentikan dan menuju suasana yang saling memaafkan dan penuh perdamaian.
Apabila masa lalu dipenuhi dengan konflik dan dendam, hubungan yang renggang dan persaudaran yang terputus, maka di hari yang fitri ini kita mulai menjadi momen untuk mengembalikan ikatan dan hubungan persaudaraan tersebut. Melalui Idul Fitri manusia dituntut untuk mengaktualisasikan makna memaafkan tersebut dalam lapangan sosial. Dengan kata maaf, seseorang berarti bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dan menghindari konflik.
Idul Fitri juga merupakan kesempatan baik bagi bangsa ini untuk merefleksikan kata maaf. Bangsa Indonesia adalah bersaudara, karena itulah di hari raya yang penuh dengan kasih sayang dan maaf ini kita saling bersilaturahhmi dan berkomitmen untuk saling menjaga persaudaraan antar kelompok lintas warna kulit, ras, adat dan agama. Sudah saatnya melupakan dendam masa lalu, membuang warisan kebencian dan menyambung kembali persaudaraan kebangsaan.
Dalam perayaan Idul Fitri yang menyeru agar kita menjadi suci secara personal, sebaiknya kita juga busa berbuat lebih bagi kebaikan dan kesucian secara sosial. Ini dapat dilakukan dengan saling meminta dan memberi maaf satu sama lain, sehingga hubungan antar manusia (habl min al-nas) bisa terjalin dengan tulus suci.
Karena itu, sepatutnya kita selalu mengusahakan islah, perdamaian dan rekonsiliasi di antara anak bangsa. Kemauan dan tindakan islah merupakan amal saleh yang dianjurkan Allah SWT. Kata ishlah atau shalah banyak sekali terdapat dalam al-Qur’an, yang mengacu tidak hanya kepada sikap rohaniah, tetapi juga kepada tindakan nyata untuk melakukan rekonsiliasi dan perdamaian demi kemaslahatan masyarakat.
Memberi maaf atau pemaafan merupakan dasar bagi terwujudnya islah. Dalam kehidupan sosial dan politik, pemaafan mengandung empat dimensi dan langkah penting: Pertama, pemaafan hendaknya dimulai dengan ingatan yang disertai penilaian moral. Umumnya, pemaafan cenderung dipahami sebagai melupakan kesalahan dan kejahatan individu atau kelompok. Sebenarnya pemaafan berarti “mengingat” dan sekaligus memaafkan. Dalam Islam, proses ini disebut muhasabah, yakni saling “menghitung” atau “menimbang” peristiwa-peristiwa yang melukai pihak-pihak tertentu. Melalui muhasabah, berbagai pihak melakukan introspeksi dan sekaligus penilaian moral terhadap kejadian-kejadian yang merugikan perorangan maupun masyarakat banyak.
Kedua, memutuskan restitusi, kompensasi atau ganti rugi, atau hukuman yang harus dijatuhkan kepada para pelaku kesalahan atau kejahatan. Pemaafan dalam kehidupan sosial dan politik atau dalam hubungan antarmanusia lainnya, tidak mesti menghapuskan segala bentuk hukuman. Meski masih terdapat hukuman, pemaafan mestilah menghentikan semangat pembalasan dendam. Hal ini mengandung makna bahwa pemaafan tidaklah berarti menghilangkan proses hukum.
Ketiga, mengembangkan sikap empati terhadap realitas kemanusiaan pelaku kejahatan; bahwa setiap manusia biasa dapat terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang merugikan masyarakat. Tidak ada jaminan, seseorang tidak akan terjerumus ke dalam kesalahan atau kenistaan. Pengakuan tentang kelemahan kemanusiaan ini merupakan sikap empati yang mendorong pemaafan.
Penulis adalah alumni PMII Cirebon dan khadim KH. Slamet Firdaus yang sekarang aktif di Fahmina Institute sebagai manajer program Pemantauan dan Advokasi Diskriminasi Agama di Bandung.