Di tengah menumpuknya pengangguran lulusan perguruan tinggi serta kekecewaan masyarakat akan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) muncul sebagai lembaga pendidikan yang mencoba mengusung idealisme tersendiri. Yaitu mencoba mendidik mahasiswa agar benar-benar memahami keilmuan yang dipelajarinya dan dapat mengembangkannya di tengah-tengah masyarakat. ”Idealisme ini penting, karena realitasnya sekarang ini banyak mahasiswa yang nampaknya pintar, tetapi ternyata kurang menguasai dengan utuh bidang keilmuan yang digelutinya. Di samping juga apa yang dipelajari di perguruan tinggi kurang nyambung dengan realitas yang berkembang di masyarakat. Jangan heran karenanya, banyak lulusan perguruan tinggi bonafide tetapi nganggur atau bekerja tidak sesuai dengan keilmuannya”, kata Prof DR. KH. Chozin Nashuha, MA, selaku rektor ISIF, dalam sambutannya pada acara Studium General dan Kuliah Taa’ruf ISIF di Fahmina Studi Center, pada Jumat 17/10/08 lalu.
Acara yang diikuti oleh lima puluhan mahasiswa baru tersebut dihadiri oleh ketua Yayasan Fahmina KH. Husein Muhammad, rektor ISIF, Prof. DR. KH. Chozin Nashuha dan Kepala Biro (Kabiro) Marzuki Rais S Fil. Dari jajaran dosen ISIF yang hadir adalah Siti Fatimah, M.Hum dan Ali Mursyid, M.Ag. Selain itu hadir pula para aktifis Fahmina Institute, meski harus berdiri di luar ruangan, karena ruangan sesak dan penuh.
Dalam acara Studium General tersebut Pa Chozin, panggilan akrab rektor ISIF, menyampaikan berbagai hal terkait perkuliahan di ISIF, idealisme atau visi misi, dan bagaimana program belajar dilaksanakan. Dengan tegas beliau mengatakan, “Program belajar di ISIF adalah menyambungkan teori-teori keilmuan yang ada dengan konteks yang ada dan berkembang di masyarakat. Yang lebih penting bagi ISIF bukanlah Ijazahnya tetapi kemampuan dan penguasaan ilmu para lulusannya. Karena yang akan dilihat masyarakat bukan sekedar ijazah tetapi kompetensi para lulusan”.
”Karena itu dalam kesempatan kali ini silahkan para mahasiswa mengungkapkan keinginan, harapan, hambatan, tantangan dan pengalaman nyata di daerah masing-masing. Sehingga kami dari ISIF bisa melaksanakan program pendidikan yang memang sesuai dengan keinginan, harapan dan realitas mahasiswa semua” lanjut Pa Chozin.
Sementara itu, Kyai Husein Muhammad, menekankan bahwa pola pendidikan di ISIF akan sedikit berbeda dengan perguruan tinggi yang lain. “Di sini, berbeda sekali dengan perguruan tinggi lain. Mahasiswa akan difasilitasi internet secara gratus, belajar tidak hanya terbatas di kelas dan dari dosen saja, tetapi dari pencarian kreatif mahasiswa. Di antaranya melalui internet. Proses belajar pun tidak dilakukan atas bawah, guru murid. Dosen dan mahasiswa sebaiknya menjadi teman berdiskusi, teman belajar. Sehingga belajar bisa dilakukan lebih fleskibel, kapan pun dan dimana pun, dengan cara apa pun. Bahkan lewat email dan lewat sms sekalipun,” ungkapnya di depan seluruh mahasiswa baru ISIF.
Dalam orasi ilmiahnya, Kyai Husein meneriakkan kembali pentingnya merebut kejayaan Islam dengan mengembalikan kembali kejayaan Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam orasinya yang berjudul ’Menemukan Kembali Keilmuan yang Hilang’, kyai Husein secara panjang lebar menjelaskan bahwa sesungguhnya ummat Islam pernah memimpin peradaban ilmu pengetahuan, tetapi kini hilang dan yang ada tinggal pengulangan demi pengulangan tanpa kreatifitas berarti. Pengetahuan dalam dunia Islam lalu menjadi berorientasi pada mistifikasi dan sakralisasi yang sesungguhnya tidak perlu. Lalu akibatnya umat Islam kehilangan kekuatan rasionalitasnya dan hanya menjadi konsumen modernitas dan kemajuan Barat belaka. Nah ini semua, menurut kyai Husein, karena kejayaan keilmuwan Islam telah hilang.
Kyai Husein menyatakan bahwa untuk merebut kembali kejayaan keilmuan umat Islam, kaum muslimin perlu melakukan rekonstruksi keilmuan mereka. ”Jika kita mengingat kembali tradisi keilmuan kaum muslimin generasi pertama, maka jelas bahwa pendekatan rasionalitas atas teks-teks keagamaan menjadi sesuatu yang tidak bisa diingkari, bahkan sebaliknya, sangat menentukan. Dalam arti lain teks-teks otoritas keagamaan, baik al Qur-an, Al Sunnah (hadits) dan produk pemikiran intelektual muslim harus dibaca dan difahami dengan semangat rasionalitas”, kata kyai dengan tegas.