Pemandangan nan memprihatinkan mewarnai sejumlah penjara wanita di Indonesia. Di Rumah Tahanan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur, misalnya, sekitar 20 tahanan harus berjejal di dalam sel berukuran sekitar 5 x 6 meter, tidur beralaskan kasur tipis di atas ranjang ubin keramik, dan berebut satu kamar mandi plus kakus seluas 2 meter persegi yang hanya dibatasi sekat setinggi satu meteran. Sel tahanan nan sumpek itu masih disesaki aneka jemuran pakaian dan handuk milik para tahanan.
Boleh dibilang, sanitasi penjara tempat para tahanan wanita melalui hari-harinya itu sungguh tak memadai. Yang membuat kita makin miris, di antara para tahanan wanita yang berjejal di sel sempit itu terdapat sejumlah tahanan yang tengah hamil. Seperti tahanan lainnya, mereka yang berbadan dua juga menempati kamar yang sama: sumpek dan bersanitasi buruk.
Kondisi itu sangat kontras dengan hotel prodeo Artalyta “Ayin” Suryani, terpidana lima tahun kasus penyuapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan. Selama mendekam di Rutan Pondok Bambu, Ayin—kini telah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten–menempati sebuah kamar tahanan mewah: berpenyejuk udara, berkasur empuk, dan ditempati sendirian.
Bahkan pengusaha yang dikenal sebagai ratu lobi itu mendapat fasilitas istimewa: sebuah “kantor” yang nyaman layaknya ruang perkantoran di kawasan segitiga emas Jakarta. Dari ruang-ruang sel, Ayin dapat mengendalikan jaringan bisnisnya. Dia leluasa menerima asisten, pelayan, keluarga, sopir pribadi, serta para eksekutif perusahaannya kapan saja.
Ya, inilah sebuah ironi yang tergelar di penjara wanita di negeri ini. Sementara ratusan tahanan harus berjejal di kamar sempit dan sumpek, ada segelintir tahanan yang karena memiliki uang dan kuasa bisa menyulap selsel bui menjadi kamar serba luks dengan fasilitas nan wah.
Hujan deras mengguyur Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, pada Kamis siang lalu. Rhani—bukan nama sebenarnya—seorang tahanan di salah satu sel di Blok E, tampak tengah membetulkan jaket dan selimut untuk membungkus tubuhnya. Siang itu Rhani berbaring di atas tikar yang dialasi selembar kain di sebuah ranjang ubin keramik berukuran 2,25 x 6 meter.
Di atas ranjang di dalam kamar tahanan berukuran 5 x 6 meter itu, Rhani tak sendirian. Di samping perempuan 21 tahun itu ada tiga tahanan lainnya yang juga sedang tidur. Lalu, di sisi pembaringan tiga tahanan lainnya lagi terlihat asyik duduk bercengkerama. Satu di antara mereka menikmati sebatang rokok dan dua lainnya menyantap mi ayam.
Ada satu tahanan lagi yang tengah buang hajat di ruang 2 x 1 meter yang berfungsi sebagai kamar mandi plus kakus, yang terletak di ujung kamar tersebut. Kondisi Rhani, yang tengah hamil 6 bulan, memang sedang tak sehat. Sejak pagi badannya panas. Dia memilih berbaring, tak menghiraukan puluhan temannya yang bercengkerama dan dibesuk anggota keluarganya. “Saya lagi tidak enak badan,”katanya. “Sudah tiga bulan saya tidak ditengok (dibesuk) keluarga.”
***
Berada di penjara dalam keadaan berbadan dua, ditambah tak ada keluarga yang menjenguk, jelas membuat Rhani tertekan. Selama menjalani enam bulan dari satu tahun masa hukuman, baru satu kali keluarganya menengok. “Saya tertekan, batin saya menangis,”tutur perempuan asal Ciledug, Tangerang, Banten, itu bernada lirih. Rhani tinggal satu blok dengan Wulan, tahanan yang juga tengah hamil. Usia kandungan Wulan sekitar delapan bulan. Bedanya, kamar Rhani diisi 20 tahanan, kamar Wulan yang juga berukuran 5 x 6 meter hanya dihuni 8 orang. Keadaan kamar Wulan juga lebih rapi. Boleh jadi, itu lantaran Wulan datang dari keluarga berada, sementara Rhani dari kalangan menengah-bawah.
Selain tidur, para tahanan melakukan aktivitas lainnya, seperti makan, minum, mandi, dan buang hajat, di kamar dengan sanitasi tak memadai. Kamar sempit yang sudah dijejali 20 tahanan itu masih ditambah sumpek dengan gantungan aneka handuk dan pakaian kotor milik para penghuninya.
Rhani dan Wulan adalah dua dari sekian tahanan wanita yang tengah hamil yang mendekam di Rutan Pondok Bambu. Mereka berbaur jadi satu dengan ratusan tahanan wanita lainnya, dengan latar belakang dan perilaku berbeda-beda. Kondisi mereka sungguh kontras dengan Artalyta Suryani alias Ayin, terpidana lima tahun kasus suap terhadap jaksa Urip Tri Gunawan. Artalyta dipergoki di ruang penjara mewah saat Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum melakukan inspeksi pada Ahad malam pekan lalu.
Ayin justru berada di ruangan lantai tiga kompleks perkantoran penjara Pondok Bambu, yang dilengkapi dengan fasilitas penyejuk udara, seperangkat sofa kulit, tempat tidur pegas, televisi layar datar, serta peralatan dapur lengkap, dari blender hingga lemari es.
Seperti dimuat di Koran Tempo (15 Januari 2010), Satuan Tugas juga menemukan fasilitas mewah di sel Liem Marita alias Aling, terpidana kasus narkoba. Bahkan di sel Aling ditemukan ruang karaoke yang dilengkapi dengan televisi. Hasil tim investigasi majalah Tempo, yang dilakukan jauh sebelum inspeksi Satuan Tugas, juga menemukan kenyataan serupa. Tim investigasi menemukan kamar seluas sekitar 6 x 6 meter yang sekaligus sebagai “kantor” Ayin, dilengkapi dengan penyejuk udara. Kamar itu dibelah dua oleh deretan lemari. Di bagian depan terdapat tempat tidur kulit ukuran dobel, sofa, dan dua meja. Televisi layar datar merek LG ditaruh di bufet. Sebuah cermin setinggi sekitar dua meter disandarkan di dinding, di balik pintu masuk.
Di bagian dalam, ada meja kerja berbentuk L berwarna cokelat muda. Juga kulkas penuh buah dan makanan, serta boks tempat tidur bayi. Bocah berambut kepirangan itu anak bekas seorang narapidana yang diadopsi Ayin. Di tempat itulah Ayin mengurusi perusahaannya dari dalam penjara serta menerima para kolega bisnis. Selain itu, hasil penelusuran tim investigasi Tempo menemukan Ayin juga menempati sel khusus untuk tidur. Sel itu dilengkapi dengan tempat tidur ukuran dobel, televisi layar datar 21 inci, dan berpenyejuk udara. Sel khusus itu dihuni Ayin sendirian.
Semua fasilitas nan mewah itu dibantah oleh Ayin. Kepada Tempo, dia mengatakan kantor itu bukan khusus buat dia. “Kamar itu bukan istimewa buat saya. Dipakai sekian banyak orang, termasuk pesantren kilat, untuk lima puluh orang tiap hari,”katanya seperti dikutip majalah Tempo edisi 11-17 Januari 2010. Lalu, dia juga tak tinggal sendirian di sel khusus buat tidur. “Saya bersama dua narapidana lain.”
Begitulah. Buntut dari inspeksi Satuan Tugas itu, Kepala Rutan Pondok Bambu Sarju Wibowo dinonaktifkan. Artalyta Suryani lalu dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten, sekitar sepekan setelah inspeksi digelar. Yang jelas, sebuah ironi telah tergelar di penjara wanita di negeri ini. Sementara ratusan tahanan harus berjejalan di dalam sel tahanan yang sempit dan sumpek, ada segelintir orang, karena memiliki uang dan kuasa, kemudian bisa menyulap sel-sel bui menjadi kamar yang serba luks dan berfasilitas mewah.
Dari hasil penelusuran Tempo, yang membuat kita makin miris, di dalam tahanan yang sumpek dan bersanitasi buruk itu terdapat beberapa tahanan yang tengah menyusui bayinya. Setidaknya, ada tiga ibu menyusui yang ditemui Tempo di Blok E Rutan Pondok Bambu pada Kamis lalu.
Salah satunya Nurhayati, 35 tahun, bukan nama sebenarnya. Karena tak ada keluarga yang mau merawat, narapidana kasus narkoba itu terpaksa merawat sendiri buah hatinya, Bunga, 11 bulan, di dalam penjara. Bunga tidur beralas kasur tipis, berjejal dengan 15 narapidana wanita yang merupakan teman sekamar sang ibu. Nasib Bunga sungguh berbeda dengan anak adopsi Artalyta “Ayin” Suryani: tidur di boks bayi yang mewah di kamar berpenyejuk udara dan selalu dijaga seorang baby-sitter yang siap melayani.
Ya, bocah-bocah yang boleh dibilang tak berdosa itu berbaur menjadi satu dengan ratusan tahan wanita, dengan fasilitas tak memadai: sanitasi buruk dan asupan gizi yang sangat terbatas. Menu makanan bagi ibu-ibu hamil, menyusui, dan anak-anaknya tak jauh berbeda dengan tahanan lainnya. Tak ada tambahan. Bahkan kualitas makanan, menurut beberapa tahanan, jauh dari kualitas bagus. Terutama nasi.
“Banyak batu. Kalau tidak hati-hati, malah ada ulatnya,” cerita salah satu tahanan, yang diiyakan lima tahanan lainnya. Kisah miris tentang tahanan wanita hamil dan menyusui yang bercampur dengan penghuni lainnya tak hanya terjadi di Pondok Bambu. Di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kota Malang, Jawa Timur, juga hampir serupa.
“Tahanan wanita hamil masih dicampur dengan penghuni lain,” kata Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kota Malang Enny Purwaningsih. Meski begitu, tutur Enny, tak selamanya tahanan hamil berbaur dengan penghuni lainnya. Wanita hamil yang usia kandungannya sudah masuk sembilan bulan akan dipindahkan ke poliklinik. Jika tak ada masalah dengan kandungan atau kesehatan ibu, proses persalinan ditangani oleh dokter lembaga pemasyarakatan di poliklinik. Sebaliknya, jika ada masalah, pasien akan dirujuk ke Rumah Sakit Syaiful Anwar, Malang.
Persalinan di poliklinik ini gratis. Sedangkan di Rumah Sakit Syaiful Anwar, biaya ditanggung oleh pasien sendiri bagi yang berada. Adapun untuk yang miskin, akan dicarikan surat keterangan tak mampu. Setelah melahirkan, lembaga pemasyarakatan akan merundingkan soal bayi dengan ibu dan keluarganya. Jika ibu menghendaki bayi bersamanya, lembaga pemasyarakatan akan mengizinkannya hingga usia bayi dua tahun atau masa menyusui eksklusif.
“Jika ibu tak mau, bayi akan diserahkan ke keluarganya,” ujar Enny. “Ibu yang membawa bayi ditempatkan di blok khusus, yakni di Blok A.” Hal yang sama dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Bulu, Semarang, Jawa Tengah. Jika ada narapidana yang melahirkan, proses persalinan dilakukan di ruang kesehatan, dibantu tenaga medis yang tiap hari juga bertugas di lembaga pemasyarakatan tersebut. “Jika membutuhkan tindakan khusus, baru kami bawa ke rumah sakit,” kata Kepala Lembaga Pemasyarakatan Wanita Bulu Endang Haryanti. Endang menyatakan, Lembaga Pemasyarakatan Bulu tak memberikan perlakuan khusus kepada narapidana yang tengah hamil.
***
Menu makan dan ruangan yang dihuni sama dengan untuk tahanan wanita lainnya. Hanya, penjara yang saat ini dihuni 175 narapidana itu tak mewajibkan tahanan hamil mengikuti kegiatan yang menguras tenaga dan membutuhkan fisik prima. Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Untung Sugiono mengatakan, selama ini perlakuan khusus terhadap tahanan wanita yang hamil dan menyusui belum diatur dengan undang-undang. Kekhususan biasanya diatur dengan surat edaran. “Terutama menyangkut kesehatan, makanan, dan penempatannya,” ujarnya.
Untuk ruangan khusus wanita hamil dan ibu menyusui, Untung menambahkan, memang belum dalam satu ruangan ataupun ada menu tambahan. Ini mengingat hampir semua penjara di Indonesia saat ini penghuninya sudah
melebihi kapasitas. Tentunya, jika penjara memiliki ruang atau kamar tersendiri, seorang ibu hamil yang hendak melahirkan bisa ditempatkan di ruang tersebut. Jika tidak, bisa ditempatkan di poliklinik. Kemungkinan terburuk karena tak adanya ruang tersedia, tetap dicampur dengan tahanan lain dalam ruang yang tidak terlalu padat.
Pencampuran ini terkadang juga bermanfaat bagi tahanan yang sedang hamil. Ketika ada hal-hal yang mendesak dan perlu penanganan khusus, ada yang melapor kepada petugas. “Dan boleh melahirkam di luar penjara,” Untung menerangkan. Guru besar kriminolog Universitas Indonesia, Muhamad Mustofa, mengatakan penjara di Indonesia belum memberikan kekhususan baik untuk anak-anak, perempuan, maupun ibu menyusui.
Umumnya penjara di Indonesia memberikan perlakuan yang sama terhadap narapidana lakilaki ataupun perempuan. “Kalaupun ada (perlakuan khusus), itu di luar sistem, dengan alasan kemanusiaan,”ujarnya. Menurut Mustofa, yang juga mantan Ketua Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Departemen Kehakiman, seharusnya penjara bagi kaum perempuan didesain dengan kekhususan sedemikian rupa. Ada ruang menyusui, ruang untuk wanita hamil, serta ruang kebutuhan khusus perempuan, seperti mengganti pembalut dan lainnya.
Lalu, seharusnya ada semacam fasilitas atau ruang khusus yang tak memberikan kesan penjara. Semacam taman khusus bermain untuk mempertemukan anak dan ibunya yang tengah dipenjara. “Ketika seorang ibu dijauhkan dari anaknya, akan timbul masalah psikologis dan sosiologis,”tuturnya. “Makanya, diperlukan fasilitas khusus agar anak dan ibu bisa sering bertemu.”
Ke depan, tutur Mustofa, penjara wanita dan juga anak-anak harus dibangun bukan lagi dengan jeruji besi, yang seakan menggambarkan mereka sebagai penjahat yang harus dijaga superketat. “Bukan seperti yang selama ini terjadi, penjara di Indonesia didesain untuk laki laki, tidak ada perlakuan khusus bagi perempuan atau anak-anak,” ia
menjelaskan. Boleh dibilang, tak hanya fisik bangunan dan fasilitas penjara yang sekarang didesain hanya untuk laki-laki. Menurut Mustofa, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga tak ada perlakuan khusus bagi perempuan yang hamil maupun menyusui.
Padahal, sejak proses penyelidikan semestinya ada kekhususan bagi perempuan dan anakanak. Bila diperlukan, ibu hamil dan menyusui bisa menjalani hukuman di luar penjara. Misalnya, diterapkan hukuman tahanan kota. “Jadi, coba jauhkan penghukuman penjara buat wanita dan anak-anak. Masih banyak metode lain yang bisa digunakan, bukan hanya penjara,” ujarnya.
Mustofa menegaskan, dalam memutuskan perkara atas perempuan yang tengah hamil ataupun menyusui, sebaiknya tidak hanya melihat pada legal formalnya. “Tapi seharusnya juga dilihat dari segi kemanusiaannya.”
(ERWIN DARIYANTO, ALWAN RIDHA RAMDANI, BIBIN BINTARIADI, SOHIRIN/TEMPOinteraktif.com)