Diskusi soal politik keagamaan di Indonesia memang tidak pernah selesai, seiring dengan problem keagamaan yang tak kunjung usai. Termasuk diskusi sosial-keagamaan yang digelar Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) pada Kamis (7/3/2013) di ruang Gotrasawala ISIF. Diskusi yang diikuti dosen dan mahasiswa ISIF, dengan narasumber Subhi Azhari (peneliti dari the Wahid Institute (WI) dan tercatat sebagai dosen Institute Studi Islam Fahmina (ISIF). Subhi memberikan paparan soal minoritas. Penggunaan istilah minoritas di Indonesia tidak didasarkan pada satu pemahaman yang seragam tentang istilah tersebut, dan tidak ada satu batasan yang pasti siapa saja yang dikategorikan sebagai kelompok minoritas.
Subhi juga menukil dari Pelapor Khusus PBB untuk perlindungan hak minoritas, Francesco Capotort, minoritas adalah mereka yang secara numerik jumlahnya lebih kecil dari populasi lainnya dalam suatu negara. Posisinya tidak dominan dalam konteks negara. Adanya perbedaan etnik, agama dan budaya dengan populasi lainnya. Memiliki solidaritas agama, bahasa, tradisi, budaya dan kepentingan untuk meraih persamaan dimuka hukum dengan populasi diluarnya. Definisi ini banyak ditolak. Apakah kelompok yang secara numerik jumlahnya kecil bisa dikatakan sebagai minoritas? Bagaimana kalau kelompok kecil tersebut memiliki kekuasaan dominan dalam berbagai sektor kehidupan seperti ekonomi dan politik, apakah dia tetap dianggap minoritas?
Negara juga cenderung menggunakan istilah minoritas untuk merujuk perbedaan jumlah pemeluk agama atau anggota etnis. Meskipun tidak ada satu landasan yang resmi mengenai hal tersebut, umat Islam selalu dianggap sebagai kelompok mayoritas apabila dibanding umat agama lain. Meskipun secara politik, umat Islam tidak pernah menjadi satu kekuatan mayoritas, namun dalam praktek berbangsa dan bernegara, negara selalu menempatkan umat islam sebagai penerima terbesar kue pembangunan, dengan persepsi bahwa umat Islam adalah umat mayoritas.
Penggunaan istilah ini juga sering digunakan untuk membedakan relasi kuasa antar kelompok di suatu tempat. Perspektif ini sering digunakan oleh kelompok pembela hak asasi manusia seperti LSM, Komnas HAM, Komnas Perempuan.
Warga Tionghoa menjadi minoritas secara jumlah, namun secara ekonomi sering dituding mesebagai menjadi mayoritas karena menguasai aset-aset perekonomian nasional. Namun dalam konteks hak sipil dan politik, warga Tionghoa adalah minoritas karena kerap menjadi korban diskriminasi terutama menyangkut status kewarganegaraan mereka.
Faktor-faktor Politik Minoritas
Bagaimana masyarakat Indonesia memandang kelompok minoritas, siapa saja yang termasuk di dalamnya serta bagaimana negara mengatur hak dan kewajiban mereka di ruang publik sangat ditentukan oleh aspirasi dan sudut pandang umat Islam baik sebagai umat beragama maupun sebagai institusi keagamaan. Bahkan jika umat Islam tidak menunjukkan aspirasi mereka secara aktif, negara akan secara proaktif meminta pandangan umat Islam dan akan secara sungguh-sungguh mempertimbangkan pandangan mereka. Dalam sejarahnya, Islam kerapkali menempatkan dirinya sebagai kelompok mayoritas yang harus diperlakukan berbeda dari yang lain.
Sejumlah tokoh Islam di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengusulkan dimasukkannya tujuh kata yakni “kewajiban menjalankan syarat Islam bagi pemeluknya” dalam pasal pertama Pancasila. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan Masyumi, PNI, NU, PKI, Katolik, PSI dan IPKI secara ideologis dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni Sosial-Ekonomi, Islam dan Pancasila.
Ada beberapa pernyataan tokoh terkait soal minoritas, misalnya dalam pidatonya Muhammad Natsir mengatakan:
“Prinsip demokrasi itu: Pertama, golongan yang berkuasa harus mendapat persetujuan dari golongan terbesar (mayoritas); dan kedua, golongan-golongan kecil yang berlainan pendapat dari golongan mayoritas terjamin hak hidupnya dalam masyarakat. Konsekuensi dari prinsip demokrasi, jika dipakai untuk membentuk suatu negara, tidak bisa lain bahwa suatu negara harus pertama-tama mencerminkan falsafah hidup dari sebagian besar atau mayoritas rakyatnya” Natsir berargumen bahwa mereka yang menolak Islam dengan alasan hanya dimiliki satu golongan saja justru mengingkari demokrasi yang menekankan pada mayoritanisme itu.
Mr. R. H. Kasman Singodimejo mengajukan dua alasan mengapa Islam harus menjadi dasar negara: Pertama, alasan universal bernegara adalah mengakui kedaulatan hukum Tuhan atau hukum agama. Kedua alasan dialektis-Indonesia dimana telah diakui bahwa agama di Indonesia yang secara kuantitatif dan kualitatif berpengaruh adalah Islam.
M. Rusjad Nurdin mengatakan, mengapa Islam? Karena bagi umat Islam menegakkan hukum Islam bagi masyarakat Islam adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim. Agama lain diharapkan dapat mentoleransi golongan terbesar di republik ini untuk mengatur masyarakatnya menurut agamanya.
Logika mayoritas-minoritas ini pula yang menurut mereka menjadi alasan presiden Indonesia haruslah orang Islam. Hamka misalnya beralasan di negara-negara Kristenpun seperti di Amerika, kepala negara mesti orang Protestan.
Namun, disamping kuatnya nunsa persaingan tersebut, muncul gagasan dari sejumlah intelektual muslim Indonesia untuk membangun hubungan yang lebih erat antara Islam dengan agama lainnya.
Dalam pandangan sebagian umat Islam, mereka juga dianggap sebagai pembaharu karena melahirkan pemikiran-pemikiran segar menyangkut berbagai aspek kehidupan beragama baik sosial, politik dan kebudayaan. Mereka berusaha menjawab tantangan-tantangan kontemporer umat beragama di Indonesia seraya menyodorkan solusinya. (Rosidin)
sumber gambar: http://vhrmedia.com