Seorang diplomat Indonesia pernah menulis tentang citra apa dari Indonesia yang kini mereka jual dalam dunia diplomasi. Menurutnya, ada tiga “citra unggulan” yang mereka “pasarkan” kepada dunia yang ingin menyimak sesuatu tentang Indonesia.
Pertama, Indonesia adalah negara demokrasi dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Indonesia masuk tiga besar, selain India dan Amerika. Kedua, mayoritas Muslim Indonesia berpandangan Islam yang moderat, tidak dikuasai kalangan ekstremis. Distingsi moderat-ekstremis ini dianggap penting untuk membedakan Indonesia dengan kawasan dunia Islam lainnya. Ketiga, selain demokratis dan moderat, Indonesia juga negeri yang pluralis dari segi apa pun.
Itulah tiga citra Indonesia yang menjadi modal dasar Indonesia dalam berdiplomasi dengan dunia luar. Dan tampaknya, bukan hanya kalangan diplomat yang menjajakan ketiga citra itu. Dua wakil organisasi Islam terbesar di Indonesia yang dianggap moderat, pun tak ketinggalan dalam promosi citra Islam moderat ini ke dunia luar. Dalam rangka ini, beberapa waktu lalu Muhammadiyah menyelenggarakan World Peace Forum II, sementara Nahdlatul Ulama (NU) baru saja menggelar International Conference of Islamic Scholars (ICIS).
Kita pantas bangga dengan citra Islam Indonesia yang menjadi keuntungan strategis dalam berdiplomasi dengan dunia luar itu. Yang terabaikan oleh banyak pihak, tidak terkecuali organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah dan NU adalah, pertama citra tidak selamanya sesuai dengan fakta dan realita. Kedua, citra tersebut tidak datang atau terberi dengan sendirinya. Ia merupakan bentukan dari pergulatan sejarah panjang Islam di Indonesia. Ketiga, sejalan dengan dua poin sebelumnya, citra tersebut tentu dapat berubah sewaktu-waktu, terutama kalau kita tidak waspada dan senantiasa mendekatkannya dengan realita.
Citra Moderasi
Tentang poin pertama, kini kita dapat melihat betapa rapuh dan rentannya citra Indonesia sebagai negeri mayoritas Muslim yang demokratis, moderat dan pluralis itu untuk bergeser. Arus reformasi tidak hanya mengantarkan Indonesia ke jajaran negara-negara demokratis di dunia, tapi juga mengubah peta pergerakan dan corak Islam. Sejak reformasi bergulir, konfigurasi lama tentang Islam Indonesia yang biasa kita anggap didominasi dua menara kembar moderasi Islam Indonesia (Muhammadiyah dan NU), kini mulai bergeser.
Beberapa gerakan Islam baru muncul dan tampil lebih garang dari Muhammadiyah dan NU. Dan tak jarang, pada tingkat wacana dan aksi, mereka tampil lebih nyaring dan leading daripada Muhammadiyah dan NU. Sementara sibuk menjual citra moderasi Islam, bahkan menjadikan Indonesia sebagai proyek percontohan toleransi bagi dunia luar, Muhammadiyah dan NU tak jarang alpa untuk berperan aktif dalam merawat dan menguatkan jaringan dan institusi-institusi penyangga moderasi Islam itu. Bahkan, dalam beberapa kasus, wacana dan aksi yang dikembangkan keduanya idem dito atau hanya reaksi terhadap genderang yang ditabuh kalangan yang tidak bisa disebut moderat.
Jika ini terus terjadi, dan ini poin kedua, tidak mustahil dalam beberapa tahun ke depan terjadi pergeseran citra. Kita tahu, fakta moderasi Islam itu dibentuk oleh pergulatan sejarah Islam Indonesia yang cukup panjang. Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi Islam yang sudah malang-melintang dalam memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam, baik lewat institusi pendidikan yang mereka kelola maupun kiprah sosial-politik-keagamaan yang mereka mainkan. Karena itu, kedua organisasi ini dapat disebut sebagai dua institusi civil society yang amat penting bagi proses moderasi negeri ini.
Dan di belahan dunia Muslim mana pun, kita nyaris tidak menemukan organisasi sosial-keagamaan yang begitu besar, moderat, tua, dan mengakar di kalangan masyarakat sebagaimana Muhammadiyah dan NU. Karena itu, ketangguhan kedua aset berharga ini dalam menjaga citra moderasi Islam Indonesia tetap tidak dapat dipandang sebelah mata. Namun, ketika kedua organisasi ini tidak menjalankan fungsi pendidikan dan sosialnya dengan semestinya, bukan mustahil peran-peran tersebut akan direbut oleh mereka yang tidak peduli dengan proyek moderasi Islam di Indonesia.
Kini tengoklah, betapa absurd-nya klaim kita tentang moderasi Islam. Dalam kasus Ahmadiyah, intimidasi sistematis yang dilakukan kelompok-kelompok Islam baru ini bukan hanya tidak dapat dibendung, tapi dalam beberapa hal seperti dibiarkan dan mendapat dukungan moral-teologis dari beberapa eleman internal Muhammadiyah dan NU.
Hanya beberapa figur penting seperti Gus Dur dan Syafii Ma’arif yang turun gunung dan bertarung menentang bentuk-bentuk intoleransi yang makin menggejala. Akibatnya, setelah SKB moderat tentang Ahmadiyah keluar, mereka masih menuntut Keputusan Presiden untuk pembubaran Ahmadiyah.
Mengambil Langkah
Dan sayangnya, tidak ada teriakan “cukup!” baik oleh pemerintah maupun ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU terhadap ekspresi intoleransi agama, baik terhadap Ahmadiyah maupun lainnya.
Saya kira, kini sudah tiba saatnya untuk melakukan langkah-langkah strategis guna menghentikan proses ekstremisme Islam di Indonesia. Telah banyak bukti bahwa kearifan dalam menuntaskan persoalan-persoalan keagamaan sudah berganti dengan kericuhan. Aksi gebuk massa telah menjadi cara terfavorit dalam merespons isu agama dan gosip murahan sekalipun.
Jejaring sosial yang bermusyawarah dan bermufakat seakan tiada lagi berguna. Pekik stigmatisasi terhadap suatu kelompok (aliran/kelompok sesat, proyek Kristenisasi, atau cap-cap lainnya) sudah cukup untuk menggerakkan massa untuk bertindak. Hancurkan dulu, urusan belakangan. Ini persis seperti taktik kuno sepakbola Inggris, kick and rush (tendang, lalu lari).
Jika taktik yang tidak elok dan tak bertanggung jawab ini terus berjalan dan sering tidak diproses secara hukum, lama-lama kita akan melihat kekerasan menjadi proyek dan semacam karier. Itu pastilah akan merusak sendi-sendi harmoni sosial yang berkesesuaian dengan Indonesia yang demokratis, moderat, dan pluralis.
Saya kira, semua kita berkepentingan untuk merawat, mengawetkan, dan mendekatkan citra Indonesia yang demokratis, moderat, dan pluralis itu dengan realita. Jika tidak, bukan hanya orang lain yang tertipu karena membeli citra yang salah, namun kita pun akan terkena getah-getahnya.[]
Penulis adalah Kontributor RePro, Dosen Universitas Paramadina, Jakarta
Sumber: Suara Pembaruan, Jum’at, 8 Agustus 2008