Oleh: Alifatul Arifiati
Kenya untuk Kali Kedua
Januari 2020, kali kedua Penulis ke Kenya, tetapi dengan atmosfer yang berbeda, saya merasa sangat beruntung. Jika, sebelummnya adalah pertemuan para lembaga pelaksana program kebebasan beragama dan berkeyakinan, maka kedatangan ke Kenya kali ini adalah pertemuan dengan para anak muda inspiratif yang bergerak pada isu-isu perdamaian, penulis bersama 7 orang lainnya dari Indonesia berangkat pada tanggal 10 Januari 2020, melalui Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng menuju Ibukota Kenya yaitu Nairobi, penerbangan transit di Dubai selama sekitar 3 jam, total perjalanan yang kami tempuh dalam pesawat adalah 13 jam.
Waktu 13 jam ini kami gunakan untuk saling mengenal satu sama lain, karena dari 8 orang peserta Indonesia, hanya ada 4 nama yang saya kenal, itupun kenal sebatas sapa, bukan mengenal dekat. Bahkan, saya dengan Devi Farida, peserta dari Cirebon, belum lama mengenal, Devi adalah salah satu peserta Sekolah Cinta Perdamaian (Setaman) dimana saya menjadi penanggung jawab kegiatan, Devi juga menjadi peserta Pelatihan Kepemimpinan Anak Muda, yang saya menjadi fasilitatornya. Jadi, secara personal, belum banyak yang saya ketahui dari Devi.
Jika dilihat dari usia, saya paling dewasa diantara 7 peserta yang lain, tetapi soal pengalaman, saya merasa taman-teman saya ini jauh memiliki pengalaman yang banyak, terutama soal pengorganisasian. Saya banyak berdecak kagum dengan cerita-cerita apa yang mereka lakukan di komunitas mereka, mereka sangat inspiratif! Khas anak muda millenial. Aku juga millenial, catat!.
Belajar tentang perdamaian, tentu tidak akan lepas dari belajar tentang keberagaman, dan belajar keberagaman tidak bisa hanya melalui bacaan semata, melalui teori-teori saja, tapi harus mengalami, pengalaman adalah teori terbaik, begitu kira-kira apa yang disampaikan oleh guru saya, walaupun pada saat itu konteksnya adalah ketika saya belajar tentang participatory action research, tetapi rasanya ini juga tepat ditempatkan dalam konteks belajar keberagaman. Ya, mengalami langsung keberagaman melalui perjumpaan dengan individu-individu yang berbeda latar belakang, berbeda suku, berbeda agama, berbeda isu, berbeda usia, dapat memberikan pengalaman yang sangat baik bagaimana kita menghargai keberagaman itu sendiri.
Delapan Anak Muda Penggerak Perdamaian
Siapa sajakah kami berdelapan ini? Pertama adalah saya sendiri, Alifatul Arifiati, dari Fahmina Institute, sehari-hari beraktivitas dengan anak muda, laki-laki dan perempuan, ulama perempuan, dan tokoh masyarakat untuk bergerak mempromosikan toleransi dan perdamaian di lingkungannya masing-masing, misalnya di sekolah, di pesantren, di desa, di kampus, di majelis taklimnya, bahkan di komunitas bermainnya.
Kedua, Devi Farida, kader IPPNU Kabupaten Cirebon yang merupakan Ketua PAC IPPNU Pabuaran. Devi sangat aktif berorganisasi baik di luar kampus maupun didalam kampusnya yaitu UNU Cirebon. Bahkan sebelum berangkat ke Kenya, tidak kurang dari 15 berita baik koran harian maupun media online yang memberitakan perihal rencana keberangkatannya ke Kenya. Orang tuanya yang sehari-hari berjualan buah di pasar Pabuaran sempat khawatir karena Devi belum memiliki pengalaman pergi jauh dari rumah, apalagi naik pesawat terbang sampai 13 jam lamanya. Dari pertemuan di stasiun dengan Ibunya ketika mengantarkan Devi, saya melihat pancaran mata kebanggan sekaligus kekhawatiran. Saya menenangkan beliau, “Ibu tenang aja, percaya sama Devi ya”, beliau pun mengangguk pelan.
Ketiga adalah Cornelius Selan, Saya biasa memanggilnya Lius, yang lain memanggil Kaka Lius ada pula Brother Lius. Lius berasal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, saat ini dia bekerja di Dian Interfidei Jogja, sebuah lembaga yang bisa dibilang senior dalam memperjuangkan toleransi, keberagaman, dan perdamaian di Indonesia. Lius adalah seorang pembelajar yang sangat baik, buktinya adalah pertama kali mengenalnya dalam sebuah forum pelatihan yang berbahasa inggris, sekitar tahun 2018, saat itu Lius pendiam sekali, ternyata dia belum percaya diri dengan kemampuan berbahasa Inggrisnya, tapi di Youth Exchange ini dia yang paling sering berbicara baik di dalam ruang formal atau non-formal, dia sudah sangat percaya diri, proud of you Lius.
Keempat adalah Azhar, di kegiatan ini adalah pertama kali bertemu dengan Azhar, sebelum bertatap muka, sekitar beberapa hari sebelum berangkat ke Kenya, Azhar mengirim pesan melalui whatsapp, “Mbak, saya Azhar, mau saya bantu cek in online?”, kira-kira begitu isinya, sambil dia megirim etiket pesawat, Saya perhatikan etiket yang dia kirim, sama sekali tidak ada nama Azhar disitu, saya menngerutkan dahi, siapakah Azhar ini? Haha.setelah mengkonfirmasi, ternyata namanya adalah Bacharuddinn Mokobombang, ternyata ada kisah dibalik namanya. Nama aslinya memang ada Azhar-nya, tetapi karena dianggap terlalu panjang, saya agak lupa kisahnya, namanya hanya ditulis dua dalam paspor.
Kelima adalah Yeni, Dwi Preti Natalia, perempuan lulusan Magister Psi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini, telah hampir 2 (dua) tahun bekerja di Mosintuwu Institute, sebuah lembaga di Tentena, Poso yang konsen pada penguatan perempuan dan anak muda di desa, mereka melakukan pengorganisasian pada masyarakat untuk memperoleh hak-haknya sebagai warga negara, juga memberikan kabar baik kepada dunia tentang poso yang penuh denga potensi alam yang sangat indah, masyarakatnya yang sangat ramah, adat dan tradisi yang arif, tetapi sayangnya banyak masyarakat dunia bahkan Indonesia sendiri, yang masih melihat poso dalam konflik. Perempuan yang biasa dipanggil Yeni ini memiliki keinginan yang sangat kuat menjadikan Institute Mosintuwu sebagai sebuah lembaga yang dapat menjadi teman bagi masyarakat, dan tentu saja bagi seluruh pegiat atau staf Mosintuwu, baginya Institute Mosintuwu adalah rumah kedua, karenanya harus menjadi tempat yang nyaman bagi semua penghuninya, bergerak bersama dan bertumbuh bersama.
Keenam adalah Lani, perempuan muda yang merupakan kordinator Media untuk Institute Mosintuwu. Lani adalah salah satu penggerak untuk radio komunitas yang didirikan oleh Institute Mosintuwu dan jaringannya. Bagi Lani, radio komunitas memiliki peran penting dalam memberikan informasi, edukasi, dan hiburan bagi masyarakat sekitar Tentena. Selama beraktivitas bersama kurang lebih 10 hari di kegiatan Youth Exchange, Lani sangat menyukai fotografi, tentu saja ini menggembirakan teman-teman yang lainnya, terutama saya, tinggal pilih latar, berpose, cekrek! Jadilah kami foto model ternama, haha. Teman-teman dari Kenya dan Belanda sungguh kagum (untuk tidak mengatakan heran) atas antusiasme peserta Indonesia berfoto, tentu saja, bagi kami foto adalah pemersatu bangsa! Hehe
Ketujuh, adalah Sari, Sari Wijaya lengkapnya, perempuan asli Betawi ini adalah seorang guru sejarah di sebuah SMA di Jakarta, Jakarta mana tepatnya, ingatanku sungguh tidak dapat menemukannya. Sari adalah Kordinator Gusdurian Jakarta. Saya mengenal Sari sebagai orang yang easy going, simple, tetapi memiliki prinsip yang kuat dalam isu-isu kemanusiaan. Sepanjang bersamanya, saya banyak mendapatkan cerita tentang kegiatan-kegiatannya, masa lalunya di SMA, keyakinanya dalam beragama, dan keluarganya. Cerita-cerita masa SMA-nya mengingatkanku tentang cerita di cerpen-cerpen majalah Anita dan Aneka yang waktu SMA menjadi bacaan favorit. Cerita favoritku soal Sari adalah saat ujian semester di SMA, dia terlambat datang padahal rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah, sampai ruang ujian ternyata dia duduk disamping kakak kelas cowok ganteng, tajir nan pinter yang hampir seluruh perempuan di sekolah itu memujanya, seluruh teman perempuan di sekelasnya mmengutuk Sari karena kebentungannya.
Peserta kedelapan dari Indonesia adalah Mukhib, punggawa Sekretariat Nasional (Seknas) Gusdurian, pertama kali bertemu di Akademi Kepemimpinan Gus Dur (AKG) yang diselenggarakan oleh Seknas Gusdurian. Mas Mukhib, saya memanggilnya, kenapa pake Mas, padahal dia lebih muda dari saya, saya juga tidak tau pasti, kemungkinan karena saya agak nggak enak hati sama Gus Dur, Allohu yarham, Guru Bangsa yang sangat saya hormati dan salah satu inspirator saya dalam kerja-kerja yang mudah-mudahan bisa disebut sebagai kerja-kerja kemanusiaan. Mas Mukhib ini memiliki wajah yang sangat menggemaskan, bulat, putih bersih tanpa skinker, sepertinya mirip squisi jika dipegang. Salah satu yang dirindukannya di Kenya bersama teman-teman Indonesia adalah makan Indomie di kamar, Indomie tersebut hadiah dari teman Kenya kami sesama peserta Youth Exchange.
Begitu banyak kebahagiaan, kegembiraan, kelucuan, persahabatan yang kami rasakan selama 10 hari menjadi keluarga, kami bercerita dan berdiskusi banyak hal tentang impian masa depan, film-film menarik, musik, kata-kata khas daerah, bahkan bicara tentang kebangsaan. 10 hari menjadi keluarga, semoga selamanya akan menjadi keluarga dalam mewujudkan perdamaian di Indonesia bahkan dunia. Love you all.