Senin, 23 Desember 2024

Jangan Coba-coba Menyebarkan Islam dengan Cara-cara yang Ditempuh Negara lain

Baca Juga

Perkembangan Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari maju mundurnya pendidikan pesantren. Pondok pesantren adalah ciri khas pendidikan Islam di Indonesia. Dalam banyak hal, ia adalah penentu kuat dan lemahnya Islam di negeri ini. Islam adalah agama kaafah (sempurna), tetapi bukan berarti Islam di satu tempat dan tempat lainnya haruslah sama. Makanya jangan coba-coba menyebarkan Islam dengan cara-cara yang sama dengan cara yang ditempuh negara-negara lain. 

 

Sekali lagi, ciri khas Islam Indonesia adalah pesantren. Lihat berapa ratus tahun dinasti Mughol di India, tetapi kerajaan ini tidak berhasil menjadikan Islam di sana menjadi mayoritas. Tetapi di Indonesia, tanpa melalui perang dan paksaan, orang-orang masuk Islam. Mereka ini yadkhuluna fi dinillahi afwaja.

 

Fakta menyatakan bahwa ketika berkembang di negara-negara yang berbeda dengan cara-cara yang berbeda pula. Pada abad ke-7 Masehi Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui Aceh dan sekitarnya. Namun sayangnya, waktu itu kurang mampu berkembang ke tempat yang lebih luas, karena konon katanya ada penghalang kuatnya penganut ‘ilmu hitam’ di Krinci, Sriwijaya. Baru pada tahun 1450-an Sunan Ampel Dento mendirikan masjid di Surabaya sebagai pusat penyebaran Islam. Dan sejak itulah, Islam mulai menyebar di Indonesia dengan caranya sendiri. Di sinilah peran khas pesantren dimulai.

 

Masjid yang dibangun Sunan Ampel bukan sekedar masjid, tetapi juga ada serambi yang disesuaikan dengan Pendopo Brawijoyo, ora model Arab (tidak seperti di Arab). Dari sinilah Sunan Ampel membina dan mengembangkan Islam. Masjid dengan serambinya ini kemudian dikenal dengan Pesantren Ampel Dento.

Siapa yang menjadi santri di Pesantren Ampel Dento? Anehnya, mereka bukan anak-anak Islam, tetapi para penggede kerajaan, anak raja, orang-orang terkemuka, juga para bajingan. Mereka membaur menjadi satu, betapa indahnya. Hasilnya, kerajaan Pajang yang saat itu dipimpin oleh putra dekat Brawijoyo, dengan mudah dan tanpa perdebatan panjang, kemudian memeluk Islam.

Banyak lagi fakta sejarah seperti itu yang bisa diceritakan dan mencerminkan bahwa Islam di Indonesia tidak bisa begitu saja dengan yang ada di tempat lain. Inilah Indonesia, inilah berkah Allah melalui pendidikan pesantren. Nabi SAW. bersabda: A’jabu iimanan ummatin awakhiri ummati laa yudrikuunii walaa yaraaka ashaabii (sungguh mengagumkan keimanan umat akhir zaman, yang tidak ada di zamanku dan para sahabat ku. Umat ini yang muslim Indonesia, yang masuk Islam pada masa akhir-akhir. Islam menyebar ke Maroko, Tunisia dan Asia pada abad ke-7. Islam masuk ke Aceh pada abad ini, tetapi sebagaimana sudah disampaikan, awalnya tidak berkembang. Lalu pada akhir abad ke-15 atau ke-16 Islam berkembang di Jawa, dan kemudian menyebar ke seluruh nusantara. Ini dilakukan dengan cara-cara pendidikan pesantren. Untuk pertama kalinya adalah pesantren Ampel Dento.

Pesantren sendiri mengajarkan Islam damai dan toleran serta akomodatif terhadap budaya setempat. Allah SWT. berfirman bahwa: Dhuribat ‘alaihimu dhillatu ainama tsuqifu illa bihahblimminallah. Artinya, mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah. (QS. ali-‘Imran 3: 112). Maksud dari ayat ini bahwa, orang-orang Islam non-Arab yang berpegang pada budayanya sendiri akan tersesat hanya jika mereka membuat perubahan yang terkait dengan wilayah ketuhanan.

Ainamaa tsuqifu itu maksudnya adalah kalau kita menghormati, toleran dan berbudaya. Dengan berbudaya kita menjadi arif dalam beragama. Sebagai contoh, bagi orang Arab dan orang Cirebon, makna jenggot jelas berbeda. Di Arab, anak kecil pegang jenggot kakeknya, tidak apa-apa. Tetapi di Cirebon, bila itu dilakukan, pasti dianggap tidak punya tata krama. Kita tidak perlu ragu dengan tradisi kita sendiri, memakai kopyah haji itu, dalam tradisi pesantren kalau sudah naik haji saja. Sholat mengenakan sarung dan kopyah hitam itu tidak akan mengubah Islam. Ini urusan budaya, urusan hubungan sesama manusia (hablum minannas). Tetapi urusan dengan Allah SWT. (hablum minallah) tidak berubah. Kita tetap meyakini dan mengamalkan qul huwallahu ahad (keesaan Allah). Jadi berpegang teguh pada budaya dan tradisi itu tidak masalah, asal tidak mengubah aqidah.

Kita Harus Mengerti Perubahan

Sekarang ini dunia berubah cepat. Sebagai umat Islam kita tidak boleh ketinggalan dengan perubahan ini. Sekarang protein yang hewani seperti susu, diganti menjadi nabati. Kelapa sawit juga sudah menjadi minyak alternatif. Agar umat Islam menjadi makmur salah satunya adalah jangan ketinggalan dan harus mengerti dan mengikuti perubahan yang ada.

Dalam hal ini yang penting disampaikan adalah ayat yang berbunyi: “Walau anna ahlal quro aamanuu wataqauu lafatahnaa alaiihim barakathim minas samaa’. Artinya jika para penduduk desa beriman dan bertakwa, niscaya Allah akan membukakan keberkahan dari langit; (QS. al-A’raaf 7:96). Yang mendapatkan penekanan di sini adalah ahlul quro, yang artinya para penduduk desa, dan penduduk desa ini banyak di Indonesia. Di Arab tidak ada desa, adanya Badui yang hidup seperti tawon, kalau kepala sukunya pindah mereka ikut pindah. Makanya, ayat ini untuk Indonesia. Sekarang yang penting adalah desanya. Kunci keberkahan adalah desa, di mana sebagian besar penduduknya adalah orang pesantren, atau minimal mengamalkan Islam damai sebagaimana yang diajarkan pesantren.

Orang Islam harus mengerti perubahan, karena memang sekarang ini sudah banyak yang berubah. Misalnya lagi, soal pertanian dan perdagangan. Dulu, hasil pertanian zakatnya adalah 10%, sedangkan barang dagangan kewajiban zakatnya hanya 2,5%. Hal ini, karena dahulu orang menanam menggunakan tenaga sapi. Sekarang tidak menggunakan sapi atau kerbau lagi, tetapi traktor. Ada surat al-Baqarah (sapi) dan tidak ada surat traktor.
Dalam al-Qur’an ada yang namanya surat al-An’am (binatang ternak). Binatang ternak yang dimaksud pada sat al-Qur’an itu diturunkan adalah unta, sapi dan domba. Sekarang ini dan di sini di Indonesia, binatang ternak tidak sebatas itu, tetapi malah banyak ayam (dzujajah). Tidak ada surat dzujajah dalam al-Qur’an. Makanya, untuk petani kelihatannya bayar zakat itu berat dan yang kelihatannya diuntungkan adalah pedagang. Untuk melihat ini, mesti memperhatikan perubahan-perubahan yang ada seperti dicontohkan di atas. Bukan berarti al-Qur’an harus diubah, tetapi kitalah yang harus tahu perubahan.

Dahulu kita memakai standar dzahab (emas) dan fidhzah (perak), sekarang ini sudah berubah. Sekarang standarnya adalah dollar. Untuk itu kita harus sesuaikan dengan keadaan. Dalam kaitannya dengan zakat, ada ayat al-Qur’an yang menyebutkan: “Anfiquu min thayyibati maa kasabtum wamimmaa akhrajnaa lakum minal ardhl artinya, nafkahkanlah harta-hartamu yang baik dan usaha kerasmu, dan juga hasil yang dikeluarkan dari bumi. (QS. al-Baqarah 2: 267). Min thayyibati maa kasabtum (yang baik yang kalian usahakan), juga termasuk profesi. Artinya berinfak bukan hanya berupa pemberian materi tetapi juga melakukan pemberdayaan terhadap mereka yang lemah sehingga memiliki profesi dan berdaya dalam hidup. Karena itu saya berpesan, selain rajin tadharu’ kita juga mesti rajin berinfaq, dalam arti pemberdayaan.[]


Penulis adalah Pengasuh Pesantren Sarang Jawa Tengah
dan salah seorang sesepuh Nahdlatul Ulama

Tulisan ini diambil dan disadur dari ceramah beliau pada puncak Haul Pesantren Buntet Cirebon 11/03/2006 yang dimuat dalam Jurnal Kajian Kebudayaan dan Demokrasi Pesantren Ciganjur Edisi 3/th.1/2006, hlm 115-118  

(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VII ed. 02 – tanggal 18 Januari 2008) 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya