Tuhan dan Hal-hal yang Paradoks

0
1438
Sebait syair pesantren tiba-tiba melintas begitu saja: “Inna al Kalam La fi al Fuad. Wa Innama Ju’ila al Lisan ‘ala al Fuad Dalila”(Kata-kata sebenar-benarnya tersembunyi di sudut hati. Bahasa hanya merupakan tanda bagi suara relung hati). Maka saya hanya menduga-duga. GM sedang bertualang, dalam dan tentang kegelisahan dan kegirangan manusia, menelusuri lorong gelap-terang, menapaki jalan yang ramai dan sepi. Manusia adalah sebuah misteri. GM mencari batas, di mana-mana, entah sampai kapan, pada setiap orang yang menyejarah, liar, melangkahi tabu-tabu tradisi dan agama rakyat. Dan GM tak menemukan batas : “Kita tak tahu sampai kapan perjalanan itu selesai” (Tatal 13, h. 27). Manusia tetap saja eksistensi dengan sejuta paradoks, karena harus berjalan melewati waktu yang berganti-ganti dan ruang yang tak pernah beku.  

Hari ini, ketika GM menulis, paradoks itu begitu nyata, kembali menyeruak di setiap ruang. Pertarungan sedang berlangsung. Dan Tuhan selalu menjadi senjata paling ampuh untuk mengalahkan yang lain, sumber kenikmatan dan tempat bersembunyi yang paling aman. Karena Tuhan tak bisa dilawan. GM bicara begitu manis : “Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting dalam hidup orang banyak, memberi kekuatan, menerangi jalan, tapi juga membingungkan dan menakutkan”. Nama Tuhan Maha Agung dan Kudus disebut ramai-ramai, dalam gemuruh-riuh atau sendiri-sendiri dan dalam sepi. Tetapi dalam waktu yang sama, rumah-rumah Tuhan yang diam membeku, dirusak, para pemuja Tuhan diusir dengan pedang dan parang, rame-rame. Tuhan menjadi begitu menakutkan.

Di jalan-jalan, hari ini, Kata-kata Tuhan diteriakkan dengan garang : “Ini kata Tuhan. Kata-kata-Nya tak boleh ditentang. Siapa menentang kafir dan zalim. Karena itu wajib dimampuskan”. Betapa anehnya orang itu, padahal Tuhan tak pernah menghampirinya dan membisikkan kata-kata-Nya kepadanya. Dia “rajulun la ya’rif annahu la ya’rif, kata al Ghazali, satu saat. Orang itu tidak mengerti dirinya tak mengerti. “Ajari dia mengerti”.

Di sudut-sudut yang lain nama-nama Tuhan diwiridkan, karena janji kenikmatan sorgawi. Tak peduli dia melakukan apa, meski membuat banyak orang lara. :”Man Kana Akhir Kalamih La Ilaha Illa Allah Dakhala al Jannah”(Jika batas nafasnya menghembuskan nama Tuhan, dia masuk sorga). 99 nama-nama cantik Tuhan dihapal, juga karena janji keindahan yang tak terbayangkan dan tanpa batas: “Man Ahshaha Dakhala al Jannah”. Ini kata-kata Nabi.

Tapi Sahal al Tusturi bilang : Kata-kata Tuhan adalah simbol yang menyimpan makna tak terbatas. Tak termanai, kata GM. Sufi besar itu berkata : “Law U’tha al ‘Abd bi Kulli Harf min al Qur’an alf Fahm, lam Yablugh Nihayah ma Awda’ah Allah fi Ayah min Kitabih. Li Annahu Kalamullah. Wa Kalamuhu Shifatuh. Wa Kama Annahun Laisa Li Allah Nihayah fa Kadzalika La Nihayah fi Fahm Kalamih.Wa Innama Yafham Kullun bi Miqdar Ma Yuftah ‘alaih” (Andaipun manusia dianugerahi seribu mengerti untuk satu huruf al Qur’an, dia tak cukup mengerti pesan Tuhan. Ia adalah kata-kata Tuhan. Kata-kata itu sifat-Nya. Jika Tuhan tak berbatas, sifat-Nya juga tak berbatas. Setiap orang punya batas mengerti, terserah Tuhan). Kata-kata acap menipu, ambigu. Tapi kata-kata tidaklah salah. Meletakkan dan memaknai kata-kata itu yang mungkin salah.

Al Ghazali, menghabiskan seluruh napasnya mencari Tuhan melalui pikiran dan kata-kata manusia, siang-malam. Begitu melelahkan. Satu saat pikirannya begitu kacau. Dia tak menemukan Tuhan pada segala khutbah kaum teolog, tak menjumpainya pada  celoteh kaum filosof. Mereka ngawur, omong kosong. Tak ada gunanya. Al Ghazali tak percaya pada segala ada dalam sejarah. “Al Naas Niyaam. Fa Idza Matuu Intabahu. Fa Idza Mata Zhaharat lahu al Asy-ya ‘ala Khilaf Ma Yusyahiduhu al Ana”. Hidup nyatanya tidur belaka. Bangun dari kematian, menyingkap segalanya serba aneh”. Mata dan telinga tak pernah mengenalinya. Al Ghazali akhirnya hanya percaya pada getaran hatinya sendiri. GM mengasyikkan ketika dia mengatakan : “Tak ada totalitas yang bisa dirumuskan ketika  yang transenden mengarungi sejarah. Tak ada totalitas yang berarti. Sebab hanya pada saat-saat tersendiri yang konkrit, yang bukan sekedar bagian dari keseluruhan, wahyu punya makna”(Tatal 13, h. 28). Al Ghazali sadar tidak mengerti dirinya sendiri karena dia tidak menciptakan dirinya. Maka dia ingin berada dalam Tuhan yang menciptakan, dalam sepi di Syam.  
   
Ibnu Arabi, sang belerang merah, bilang lain lagi: “al Wujud Kulluh Khayal fi Khayal”. Segala wujud adalah khayalan dalam khayal manusia. Manusia tak pernah berhenti berkhayal, berangan-angan. “Aku berkhayal, maka aku ada”. Al Qur’an mengatakan : “Wa ma al Hayah al Dunya Illa Mata’ al Ghurur”. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu. “Kehidupan di dunia hanyalah sendagurau dan permainan, perhiasan, saling berbangga diri, menghimpun kekayaan sebanyak-banyaknya….”.
 
Semua orang ingin bicara atas nama Tuhan dan berebut paling mengerti Tuhan. Tapi siapakah Dia?. Dia Ada dan mendahului yang ada. Abu al Hasan al Asy’ari, pendiri teologi sunni, memeras otak siang dan malam merumuskan Tuhan, atribut-atribut dan 99 nama-Nya. Dia, kelu dan berhenti pada kata-kata yang paling irasional. Katanya : “La Hiya Huwa wa La Hiya Ghairuhu”.  Sifat-sifat dan 99 nama Tuhan bukanlah Dia, tetapi bukan juga selain Dia. Al Qur’an sebenarnya sudah menuntaskan : “Laisa Kamitslihi Syaiy-un”. Dia tan kinaya apa. Tak termanai. Akal manusia mampat menjawab ini. Maka Imam Malik bin Anas memfatwakan : “Al Wajh Ma’lum wa al Kaif Majhul wa al Iman bihi Wajib wa al Sual ‘anhu Bid’ah”. Abu Nu’aim dalam “Hilyah al Awliya”, mengutip Ibnu Abbas, menasehati : “Tafakkaru fi Kulli Syaiy wa La Tatafakkaruu fi Allah”. Pikirkan saja segala hal, jangan pikirkan tentang Tuhan.

Martir yang Terkutuk

Musim semi di Kairo yang manis. Di tepi Nil Taufiq Hakim menulis tentang sejarah manusia yang menyimpan paradoks : cinta dan benci, rindu dan dendam. Dia menulis kembali karya-karya tragedi manusia Sophokles ; Antigone dan Oedipus. Taufiq mengkhayal tentang Iblis yang bangga jadi pahlawan kehidupan. Setan iblis, ingin berhenti mengacaukan manusia dan ingin jadi saleh selamanya, biar bumi aman damai, tak ada lagi kebencian yang menyala-nyala, perang yang bergemuruh dan bom yang menggelegar. Kepada Syeikh Al Azhar dia minta fatwa tentang rencana pertobatannya. Katanya : Bukankah Tuhan sering bilang : “Sucikan Tuhanmu dan bertobatlah. Dia sungguh Maha selalu membuka pertobatan hamba-Nya”. Syeikh merenung : “Andai setan jadi saleh, bagaimana kelak al Qur’an harus dibaca. Betapa banyak ayat yang hilang”. “Aku tak bisa menjawab. Ini bukan urusanku”, katanya. Iblis mengingatkan : “Alastum Ruasa al Din” (bukan kah anda pemimpin agama?). Jika anda tidak bisa, lalu aku harus ke mana?. Syeikh kembali merenung sambil mengurai jenggotnya : “Itu niat yang baik, tapi…. “Harus aku katakan padamu, tugas utamaku hanya mengibarkan bendera Tuhan dan merawat kewibawaan institusiku”.

Iblis tak menyerah. Dia menerobos langit dan menemui Jibril, dan minta agar menyampaikan maksudnya kepada Tuhan. Jibril tertegun sejenak :”Jika kamu tak ada, jadi saleh, pilar-pilar langit akan runtuh, tak ada lagi warna. Tak ada lagi makna kemuliaan, tak ada lagi makna kebenaran, tak ada lagi putih, tak ada lagi cahaya. Bahkan manusia tak dapat melihat cahaya Tuhan tanpa hadiranmu di bumi. Adamu adalah niscaya sepanjang bumi masih membentang”. Iblis : “Lalu mengapa aku harus dikutuk sepanjang ruang dan waktu kehidupan, meski aku punya niat baik?”. Jibril : “Ya kamu selamanya terkutuk. Ini kehendak Tuhan, biar bumi tetap tegak. Pergilah. Kerjakan saja tugasmu”. Iblis turun sambil berteriak keras : “Inni Syahid”, “Inni Syahid” (martir). Ya Martir yang terkutuk.

Taufiq mengkhayal begitu jauh. “Taufiq kerasukan iblis (talbis Iblis), melecehkan Tuhan”, teriak banyak orang sambil mengacungkan pedang dengan wajah merah saga. “Darahnya halal dialirkan ke Nil”.  Mereka memaknainya sendiri. Tapi Taufiq mungkin ingin mengatakan : kehidupan adalah paradoks dalam keseimbangan yang tak pernah selesai, seperti dia tulis dalam bukunya “al Ta’aduliyyah”. Atau dia ingin katakan ; kehidupan selalu meniscayakan pemberontakan, melazimkan pembangkangan, mengharuskan menggugat, ketika alam semesta dikoyak-koyak. Nabi-nabi, Al Ghazali, al Rumi, Ibnu Arabi, Suhrawardi, Descartes, Nietzsche, Marx dan lain-lain adalah para penggugat, para pemberontak yang lugu, ketika manusia direndahkan, ketika manusia melakukan fungsi Tuhan dan manakala Tuhan dihadirkan untuk menakut-nakuti. Mereka tak pernah mati. Orang-orang seperti mereka akan selalu datang silih berganti, dihadirkan Tuhan, dalam ruang dan waktu yang tak pernah berhenti. GM menulis secara memukau : “Tiap masa selalu ada orang yang mengembara dan membuka kembali pintu ke gurun pasir tempat Musa –yang tak diperkenankan melihat wajah Tuhan- mencoba menebak kehendak-Nya terus menerus. Di sana tanda-tanda tetap merupakan tanda-tanda, bukan kebenaran itu sendiri. Di sana banyak hal belum selesai”.(tatal 23, h.41).

Menyerah dan Teruslah Berjalan GM

Hidup jadi tak pernah selesai. Bahkan tak akan selesai selama-lamanya, meski sesudah kematian. Kematian adalah persinggahan atau tidur sementara. Al Qur’an menyebutkan : “Wa Inna al Dar al Akhirah Lahiya al Hayawan, Law Kanuu Ya’lamun”. Hidup setelah kematian adalah hidup yang sungguh-sungguh, andai saja mereka tahu. Kematian dengan begitu adalah kehidupan yang beralih tempat. Ketiadaan adalah ada yang pindah. Kematian yang seringkali menakutkan banyak orang, tetapi tidak bagi yang lain. Kematian dirindukan berhari-hari.

Saya tidak tahu apakah GM seorang fatalis, nihilis atau idealis. Dan mata saya juga gelap bagaimana petualangan GM setelah menulis buku yang indah ini, akan tetap menyerah atau akan terus melawan. Untuk GM saya ingin mengutip al Qur’an : “Wa Qul I’malu Fasayara Allah A’malakum wa Rasuluhu wa al Mukminun wa Saturadduna ila ‘Alim al Ghaib wa al Syahadah fa Yunabbiukum bi ma Kuntum Ta’malun”(Bekerjalan, Tuhan, utusan-Nya dan orang-orang beriman akan melihat kerjamu. Kamu akan dikembalikan kepada Tuhan Yang Mengetahui segala tiada dan ada. Lalu Dia akan bercerita kepadamu apa yang sudah kamu kerjakan). Tuhan memberi harapan begitu besar kepada siapa saja, lagi-lagi terserah Dia, karena Dialah yang Maha Absolut. Kata-Nya dalam kata-kata suci Nabi : “Wa Rahmati Ghalabat Ghadhabi”. Kasih-Ku mengalahkan Marah-Ku”.


Ditulis untuk Launching dan Diskusi Buku :”Tuhan dan Hal-hal yang tak Selesai”,

karya Gunawan Muhammad, 04 Desember 2007 di Freedom Institute, Jakarta.