Oleh: Devi Farida
Kampung sawah adalah daerah yang didiami oleh masyarakat yang heterogen. Berbanding terbalik dengan kampung pada umumnya, yang mana kondisi lingkungannya homogen atau serumpun baik agama, keyakinan, suku, adat maupun Budaya. Kampung sawah justru memiliki masyarakat yang beragam agama. Disana terdapat Tiga rumah ibadah yang berbeda, ada Gereja Katolik Santo Servatius, Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Sawah, dan Masjid Agung Al-Jauhar Yasfi. Hal ini tercapture dengan begitu indah dalam bangunan secara insfrastruktur maupun kehangatan persaudaraan secara kultur. Kerukunan yang para tokoh dan pemuka agamanya ajarkan membuat persaudaraan antar umat beragama di kampung sawah ini terasa indah, sehingga di sebut Segitiga Emas.
Bagaimana cara merawat keragaman itu tetap terjaga ?
Menurut Pak Pendeta Yoga salah satu pendeta di GKP Kampung Sawah beliau mengatakan ” Kampung sawah ini memang sudah ada sejak abad ke 4. Bagaimana para leluhur kami sudah bergotong royong membangun kerukunan melalui inkulturasi budaya. Seperti Ngaduk Dodol, adanya ruang² perjunpaan atau pertemuan untuk membahas Lingkungan dan Sosial kemasyarakatan. Pungkasnya.
Menurut Pak Eko beliau salah satu pengurus Gereja Katolik disana menambahkan, Kami tidak menggunakan istilah Toleransi, karena menurut kami istilah toleransi itu mengandung subordinasi artinya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Sehingga itu tidak relevan dengan Budaya yang ada di kampung sawah. Kami lebih menggunakan bahasa Kerukunan dan Persaudaraan, karena kami itu Mayoritas yang mencintai Bangsa Indonesia agar tetap Utuh dan Bersatu. Bukan kelompok minoritas yang menginginkan bangsa kita terpecah belah, sedikit tapi mereka berisik. Imbuhnya.
Untuk menjaga kondusifitas wilayah segitiga emas ini, mereka ikat dengan inkulturasi budaya betawi. Masing² dari mereka menggunakan pakean adat betawi saat beribadah, walaupun tidak semua tapi mereka mempraktekan bahwasanya tidak boleh meninggalkan budaya yang sudah menyatukan mereka. Karena, bukan saja pakean adat, melainkan gotong royong, saling peduli, peka dan mengisi kekurangan satu sama lain. Sehingga bisa terciptanya keharmonisan antar umat beragama di Kampung Sawah. Salah satu acara yang mengikat kita setiap tahun ada acara Sedekah Bumi. Tambah Pak Nalih, beliau Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Katolik Santo Servatius
Pada saat perayaan hari besar di agama masing-masing dari Hari Raya Idul fitri dan Natalan kami tidak sungkan berbagi lahan parkir di halaman rumah ibadah masing². Kalau acara Natalan banser yang jaga, kalau hari raya idul fitri umat katolik dan kristen yang menjaga kami dalam melakukan ibadah sholat ied. Tambah pak eko sebelum menutup sesi pertemuan di Gereja Katolik Santo Servatius.
Dalam islam kita diajarkan untuk saling mengenal satu sama lain agar bisa hidup berdampingan. Perbedaan itu jangan menjadi sebuah ancaman melainkan persatuan untuk saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Pungkas Kyai Afif Pengasuh Pondok Pesantren Yasfi.
Bagaimana Peran Perempuan dalam Merawat Persaudaraan di Kampung Sawah ?
Peran perempuan dikampung sawah dalam menjaga persaudaraan dan perdamaian tentu tidak bisa kita pandang sebelah mata. Karena, pada hakikatnya mereka bukan saja mengurus bagian domestik dalam setiap perjamuan atau pertemuan. Tapi, kami dari kaum laki² pun mendorong untuk mereka bisa tampil diruang publik. Seperti ada acara bersama kami mendorong salah satu pengurus gereja perempuan untuk menjadi ketua panitia. Sehingga perempuan tidak hanya dibelakang layar ngurusom konsumsi tapi mereka juga ikut dalam menggerakan proses perdamaian itu terwujud. Pungkas pak Eko.
Di kampung sawah juga memiliki ketua RW Perempuan dan membawahi RT laki². Dan setiap acara-acara kami juga melibatkan organisasi perempuan baik itu dari NU, GKP maupun dari WKRI.
Potret keberagaman yang terbalut hangat dengan nilai persaudaraan antar umat beragama ini lah yang menjadikan kota bekasi dengan kota toleran nomor 2 di Indonesia. []