Minggu, 22 Desember 2024

Kayu “Tuk”, Bekas Duduk Pangeran Walangsungsang

Baca Juga

Juru pelihara merangkap juru kunci situs balong keramat Pangeran Mancur Jaya, Raden Suparja, mengatakan, puncak acara muludan alias pelal di desa Tuk, di peringati setiap tanggal 19 Rabiul Awal, atau sepekan setelah puncak muludan di Keraton Kanoman dan Kasepuhan Cirebon.

Ritual pengangkatan kayu keramat Pangeran Mancur Jaya, di mulai dengan pembacaan shalawat Nabi. Setelah di kumandangkan adzan oleh seorang muadzin, tujuh orang kemudian menyelam ke dasar balong keramat untuk mengangkat kayu tersebut.

Kayu berukuran panjang kurang lebih dua meter tersebut kemudian di terima oleh empat orang, lalu di mandikan dengan air kembang dan kemenyan. Setelah di mandikan, kayu tersebut di kafani dan di semayamkan layaknya jenazah manusia.
Ratusan warga setempat berbaur dengan pengunjung yang datang dari berbagai daerah seperti Indramayu, Majalengka, dan Kuningan, bahkan dari Bandung dan Jakarta memadati jalanan menuju lokasi balong keramat.

Mereka datang ke persemayaman kayu keramat sambil nyekar atau menaburkan bunga sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur. Masyarak setempat meyakini kayu peninggalan Wali tersebut, mengandung karomah dan memiliki beberapa keistimewaan. Salah satunya, kayu tersebut setiap tahun panjangnya selalu berubah. Selain itu kayu tersebut memiliki sifat-sifat seperti layaknya manusia.

Di jelaskan Raden Suparja, Pangeran Mancur Jaya menemukan kayu perbatang pada pukul sembilan tanggal 19 Rabiul Awal. Kayu tersebut adalah bekas tempat duduk Raden Walangsungsang ketika bertapa, yang di temukan Pangeran Mancur Jaya ketika ia di perintahkan pihak Keraton untuk mencari sumber air kala terjadi kekeringan panjang di wilayah Cirebon.

Memancarkan air    

“Ketika Pangeran menghentakan kayu tersebut ke tanah, memancarlah air dari sela-sela tanah. Benturan kayu menimbulkan bunyi “tuk”sehingga desa tersebut  kemudian dinamakan desa tuk”kata Raden Suparja.

Percikan air dari balong keramat yang di pakai untuk memandikan kayu tersebut, di percaya dapat memberikan aura yang tertutup dan membuang kesialan. Sehingga ratusan orang berebut air keramat tersebut, tak terkecuali anak-anak kecil.

Setelah di mandikan dan di kafani, buyut kayu perbatang Pangeran Mancur Jaya, selanjutnya di letakan kembali ke dalam balong, setelah melalui suatu prosesi yang di awali dengan arak-arakan panjang jimat pada pukul 20.00 WIB.

Berbagai benda pusaka peninggalan Pangeran Mancur Jaya, Pangeran Jaka Tawa, dan Pangeran Matang Aji, seperti pusaka si kober, trisula, golok warangan, pendil sewu dan pusaka lainnya yang berjumlah 17 buah di arak keliling desa. Ribuan warga dari berbagai tempat datang untuk mengikuti atau sekedar menyaksikan ritual tahunan tersebut. Sejumlah warga tampak melakukan tabur bunga dan melemparkan uang receh ke arah benda-benda keramat tersebut.

Mereka percaya benda-benda pusaka tersebut dapat memberi berkah

Setelah arak-arakan selesai, pada pukul 22.00 Wib di lakukan prosesi peletakan kayu keramat ke dalam balong. Acara tersebut di awali dengan marhabanan sebagai bentuk puji-pujian Nabi Muhammad SAW, kemudian sebelum di masukan ke dalam balong seorang muadzin mengumandangkan adzan. Di masukannya kayu keramat ke dalam balong keramat menandai berakhirnya prosesi muludan di Desa Tuk.


Sumber: Mitra Dialog, Jum’at, 28 Maret 2008, ditulis ulang oleh Ghani Hasyim

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya