Meski tidak persis dengan karya sastra (baca: puisi), syair lagu, entah itu dangdut, pop, rock, jaz atau tarling memiliki kesamaan sebagai produk budaya. Kesamaan itu antara lain pertama meliputi representasi budaya dan unsur-unsur intrinsik lainnya seperti amanat (missi), diksi, rima dan tema.
Dengan kata lain, sebagai suatu karya, syair lagu selain menghasilkan teks dia juga mencerminkan konteks. Seperti juga syair-syair lagu lainnya, lagu-lagu tarling dangdut ( Cerbon-Dermayu) diciptakan berdasarkan ekspresi jiwa, cita-cita, cinta dan lain sebagainya. Tema-tema itu didapat dari inspirasi (pribadi), pihak luar, fenomena yang ada (nyata), harapan, romantika atau boleh jadi sekadar fantasi dan rekreasi hati. Namun dalam percakapan penulis dengan Sunarto Marta Atmaja, beliau mengakui bahwa lagu “Berag Tua” yang cukup popular di tahun 1970-an dan belakangan kembali dipopularkan oleh Nunung Alvi, diciptakan olehnya berdasarkan kenyataan yang ada.
Menurutnya saat itu ia melihat seorang laki-laki yang telah mendapat umur akan tetapi perilakunya seperti remaja yang sedang dilanda asmara. Ia kemudian tertarik untuk menciptakan lagu tersebut, dan orang tua tersebut menjadi “model” atau sumber inspirasi. Tentu di sana-sini dilakukan penambahan atau variasi sebagai bumbu seni. Namun tidak merubah substansi. Demikian pula tatkala Thorikin menggarap lagu “Mabok Bae” yang kemudian dipopularkan oleh Aas Rolani, tak bisa dipungkiri saat itu fenomena minuman keras memang sedang marak.
Deskripsi KDRT
Secara umum lagu-lagu tarling dangdut berkisar pada tema rumah tangga, kerinduan seorang remaja, kasih tak sampai, kekaguman gadis terhadap kekasihnya. Tema ini boleh dikata “tema abadi” pada lagu-lagu tarling dangdut. Namun pada pembahasan kali ini penulis ingin memaparkan teks-teks (baca syair) lagu tarling dangdut yang mendeskripsikan tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Tema KDRT boleh dikatakan cukup banyak ditemukan dalam teks-teks lagu tarling dangdut. Pada lagu-lagu yang lama kita bisa simak bagaimana penderitaan sang isteri yang disakiti sang suami sebagaimana dalam lagu Nambang Dawa, Awak Abang, Cukup Setahun, Garet Bumi, Mabok Bae, dll. Belakangan lagu-lagu tentang kekerasan dalam rumah tangga semakin marak.
Lagu “Ketuwon” ciptaan Amin Hermawan yang dinyanyikan oleh Rina Rivana tampak lengkap memaparkan bagaimana penderitaan seorang isteri yang disakiti sang suami. Untuk lebih jelasnya saya kutip seluruh syair lagunya: Beli disangka beli dinyana Sampean bohongi kula Selawase rumah tangga Kula sering dilelara Kaya beli ngenal dosa Nganiaya badan kula Batin sun rasa kesiksa Rusak jiwa lan raga Bengen sun ngalami Dikawin wong due rabi Gawe lara ati Ngangis beli mari-mari Kien sun ketuwon Bengen gugu omonge wong Ampun aduh gusti Keduhung tinemu guri (Tak disangka tak diduga Anda membohongi saya Saya sering disakiti Seperti tak kenal dosa Menganiaya badan saya Batin saya terasa tersiksa Rusak jiwa dan raga Dulu saya mengalami Dinikahi orang yang beristeri Bikin sakit hati Menangis tak henti-henti Sekarang saya kecewa Dulu tak menurut kata orang Ampun aduh gusti Kecewa ketemu di belakang) Lagu “Ketuwon” menggambarkan penderitaan yang sempurna akibat poligami. Dari beberapa syair lagu tarling dangdut tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang penulis amati, ternyata tema poligami dan perselingkuhan yang cukup mendominasi.
Hampir semua pencipta lagu mengutuk poligami dan perselingkuhan dalam lirik lagunya. Poligami dalam beberapa lirik lagu tidak hanya mengakibatkan kekerasan psikis akan tetapi juga “kekerasan seksual” sebagaimana dalam lagu “Satria Arjuna”, ciptaan Tatim S yang dinyanyikan oleh Wulan: Priben perasaane wong digawa wayuan Tentu blenak rasane lamun waktu giliran Seminggu ping telu kula turu barengan Yen waya giliran laka sing kanggo sasaran (bagaimana perasaannya orang dipoligami.
Tentu tidak enak rasanya saat dia (pergi) giliran Seminggu tiga kali saya tidur bersama Kalau waktu giliran tak ada yang untuk sasaran) Meski tradisi poligami dan perselingkuhan bukanlah barang langka untuk Cirebon dan Indramayu, akan tetapi dalam teks-teks lagu tarling isteri yang suaminya melakukan poligami umumnya mengutarakan penderitaan dan kekecewaannya. Simaklah lagu yang diciptakan Masmo dalam judul “Cinta Materi”: Seumpamane Jodoh bisa ngulati Sun arep luru wong kang beli duwe rabi Bli kudu wong sugih Ora pandeng materi Najan wong bli due Sing penting eman lan sayang Sing paling benci Wong lanang doyan demenan Arepan supir, arepan dalang tarling Arep mama kuwu Sing penting aja diwayu (Seumpama jodoh bisa dicari Kucari orang yang tak beristeri Tak harus orang kaya Tak pandang harta Walau orang tak punya Yang penting sayang dan cinta Yang paling benci Lelaki yang suka pacaran Mau supir, mau seniman tarling Mau kepala desa Yang penting jangan poligami)
Penyesalan ternyata tidak hanya dinyatakan oleh pihak isteri sebagai korban perselingkuhan tetapi juga disesali oleh suami yang melakukan perselingkuhan. Simak lagu “Curut Kecemplung” yang diciptakan sekaligus dinyanyikan oleh Dedy Yohana. Curut kecemplung pikiran bingung ho…. Wong wadon sewot mata melotot ho… Sun demenan keweruhan Wis tanggung kepalang jebur Kakang ampun njaluk akur Demenan njaluk kawinan Wong wadon njaluk pegatan Pusinge ning pikiran Gawe ngrusak ning badan (Curut kecemplung pikiran bingung ho … Istri sewot matanya melotot ho…. Sudah tanggung kepalang basah Aku pacaran ketahuan Sudah tanggung kepalang basah Kakak minta ampun minta akur…. Pacar minta kawin Istri minta cerai Pusingnya pikiran Membuat rusak badan Sekalipun poligami, perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga lainnya dirasakan betul oleh kaum wanita (istri), namun pada umumnya dalam teksteks lagu tarling dangdut tidak ada pihak wanita yang melakukan perlawanan atau pemberontakan.
Dalam beberapa syair lagu bahkan banyak menggambarkan ketidakberdayaan wanita terhadap KDRT tersebut. Sebagian bersikap pasrah karena dianggap sebagai suratan takdir. Sebagian tidak kuasa melakukan perlawanan karena terjerat cinta atau harta. Simak lagu ini: Kula sih wong wadon terserah pujare kono Senejan uripe dadi rabi nomer loro Bokat tekang nasibe kula nerima arep telu arep papat Sing penting aja dipegat (saya sih seorang wanita, terserah apa mau dikiata Meski hidup jadi istri kedua Mungkin telah menjadi takdir saya terima Mau punya istri tiga atau empat Yang penting saya tidak dicerai (“Satria Arjuna” ciptaan Tatim S, Penyanyi Wulan).
Yang cukup mengagetkan mungkin karena kemiskinan yang memuncak atau kepedihan yang tak terperi Rastam TT membuat lagu “Ayam Putih” yang dinyanyikan oleh Cici Amelia, demikian syair lagunya : Kakang kula bosen Urip miskin selawase Kang gelem tah beli Kawin karo rangda kaya Nyi rangda akeh dunyane Akeh pisan pekayane Kula gelem diwayu Padu asal seneng bae Bli bakal cemburu Cemburu berat Cemburu akhire mlarat Wong lanang kawin maning Asal kula melu seneng (Mas, saya jenuh Hidup miskin selamanya Mas, mau tidak Nikah dengan janda kaya Nyai janda banyak hartanya Banyak sekali kekayaannya Saya mau dimadu Yang penting senang saja Tidak akan cemburu Cemburu berat Cemburu akhirnya melarat Suami kawin lagi Asal saya turut senang).
Kekerasan fisik & Ekonomi
Selain kekerasan psikis teks-teks lagu tarling dangdut juga mengungkapkan tentang penderitaan kaum hawa akibat kekerasan fisik dan ekonomi. Ki Ageng Ardian dalam karyanya “Pete Karang” yang dinyanyikan oleh Enca Maharani mengungkapkan tentang kebiasaan suami yang egois, hobi begadang, mabukmabukan dan gemar bertengkar dan memukul.
Duh kapan arep elinge Kayangapa pikirane Sapa gelem wong wadone Kesiksa lara atine Apa maning ning salahe Ngaku bener dewek bae Yen wong wadon ngomongi Ngajak tukar karo nangani Apa sih modal wong lanang Emong kalah pengene menang Saban bengi keluyuran Balik esuk, cangkeme mambu inungan (Duh, kapan mau sadarnya Seperti apa pikirannya Wanita mana yang mau tersiksa sakit hatinya Apalagi salahnya Mengaku benar sendiri saja Kalau isteri menasehati Mengajak bertengkar sambil memukuli Apa sih modal laki-laki Tak mau kalah inginnya menang Tiap malam keluyuran Pulang pagi mulutnya bau minuman) Sementara dalam kekerasan ekonomi lagu “Kiriman Entok” ciptaan Pendi Gondrong dapat dijadikan contoh yang cukup tepat. Lagu ini mengisahkan tentang suami yang isterinya pergi menjadi buruh migran di Saudi Arabia. Alih-alih kiriman uang dari sang isteri untuk memperbaiki perekonomian keluarga, ternyata malah digunakan untuk foya-foya.
Fenomena seperti ini adalah hal yang lumrah pada daerah-daerah yang warganya banyak menjadi buruh migran. Fenomena kekerasan ekonomi dilakukan sang suami dengan tepat dilukiskan oleh Pendi Gondrong: Rong taun kiriman wis entok Kanggo maen madon lan mabok Mertua bli nyapa Sengit bli kira-kira Sing luwih pusinge Rabi arepan teka Rong taun kiriman wis pragat Rabine pasti njaluk pegat Wadone usaha kerja ning Arabia Yen oli kiriman pengene foya-foya (Dua tahun kiriman uang sudah habis Untuk main perempuan dan minumminuman Mertua tidak menyapa benci tiada tara Yang lebih pusingnyai isteri segera tiba Dua tahun kiriman telah habis Istrinya pasti minta cerai Istrinya kerja di Arabia Kalau dapat kiriman Inginnya foya-foya Itulah sebagian lagu-lagu tarling dangdut yang mengambil tema KDRT.
Di luar lagu-lagu itu tentu masih banyak yang menyuarakan tentang penderitaan kaum hawa. Sebuah teks atau syair lagu memang bukanlah sebuah berita. Namun sebagai produk budaya ia lahir berdasarkan fenomena sosial yang nyata. Karena itu sebuah lagu yang menyuarakan jeritan hati, kerinduan atau keputusasaan atau apapun temanya merupakan cermin, sekaligus kritik sosial, dan aspirasi massa. Bila suatu lagu digarap dengan syair yang baik, musik yang apik tentu ia akan menarik simpatik. Dengan demikian para pencipta lagu dan penyanyinya yang membawakan lagu KDRT sesungguhnya telah memberi penanda budaya pada fenomena sosialnya. Ia juga berjasa menyapa nurani melalui edukasi seni. Karena media seni masih memiliki efektifitas dalam mengemban misi “Tri Smara Bakti” yakni fungsi pendidikan, penerangan dan hiburan.[]
Sumber: Blakasuta Ed. 15 (Januari 2009)