….Kelemahan bangsa ini adalah tidak memproduksi, petani pun hanya menanam saja tidak memproduksi bibit sendiri dengan alasan repot dan lainnya. Para pengusaha kapitalis memanfaatkan itu dan sebetulnya ada agenda lain yang tersembunyi yaitu mencuri ilmu pengetahuan kita…
Kalimat tersebut meluncur dari salah satu konsultan sekaligus Direktur Sustainable Development Education Center (Susdec) Lembaga Pengembangan Masyarakat Pedesaan (LPTP), yang akrab disapa Rahadi. LPTP sendiri merupakan lembaga swadaya masyarakat yang berkedudukan di Surakarta Jawa Tengah. Sebagai organisasi independen, LPTP tidak berafiliasi pada kekuatan golongan tertentu, bukan organisasi rasial, keagamaan kesukuan maupun golongan serta bukan underbow dari partai politik manapun. LPTP berorientasi pada masalah kemanusiaan dan pembangunan dengan menjunjung tinggi transparansi, partisipasi dan toleransi.
Kalimat yang juga menjadi salah satu kegelisahannya terhadap kapitalisme global, ini disampaikan Rahadi (44th) di tengah diskusi siang bersama mahasiswa Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon pada Kamis (27/12) di Gazebo ISIF. Fokus diskusi siang itu adalah seputar pengorganisasian masyarakat yang perlu dilakukan mahasiswa, terutama untuk melawan kapitalisme yang sekarang ini mencengkram masyarakat lewat media terutama televisi (Tv). Dan juga pemerintah yang terkesan tidak peduli terhadap hal itu.
“Sekarang pemerintah seperti pedagang yang menjual setiap daerahnya. Sejak tahun 76 mahasiswa dijauhkan dari kehidupan nyata masyarakat. Singkong pun harus import dari negara lain. Kalau dulu yang dijauhkan adalah tanah, kemudian pikiran, dan sekarang rasa, bagaimana kapitalisme itu mengontrol orang hingga sampai urusan pribadi,” paparnya.
Semuanya dikontrol lewat media massa, lanjutnya. Maka apa kaitannya kalau kita berbicara tentang pengorganisasian, riset dan lainnya? Itu luar biasa berat. Masyarakat tidak pernah berdiri dalam ruang hampa udara. “Kita harus sadar itu, untuk mengetahui kebutuhan yang sebenarnya diinginkan masyarakat butuh intensitas dalam mendikusikannya dengan warga. Mengenali, mendengar dan memperhatikan terus. Bagaimana caranya mendorong masyarakat mau mengeluarkan kata-kata dan bertanya dari diri pribadi (mengeluarkan gagasan Pribadi) itulah inti sebenarnya dari sebuah pengorganisasian.”
Negara Ini Perlu Diformat Ulang
Dalam diskusi panjang ini, Rahadi juga memaparkan bagaimana beajar analisis sejarah serta bagaimana memperhitungkan sesuatu. Dia memulainya dengan salah satu pengalamannya tentang kemampuan menghitung. Menurutnya kemampuan menghitung itu penting, memperhitungkan (scanning) berbagai persoalan yang ada. Rahadi mencontohkan pemakaian sabun detergen di suatu daerah di Solo dengan merek “Rinso” seharga 1000 dikalikan 500 kepala keluarga dihitung selama 30 hari 12 bulan = 180 juta, itulah mengapa “rinso” berani membayar iklan media dengan menggunakan citra (image) “kotor itu baik”.
Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah belajar analisis sejarah, sebelum ada Rinso, ada buah klerek buah alami untuk mencuci baju, kemudian mencari pohon kelerek sehingga memerlukan bibit pohon klerek. Kebetulan di daerah tersebut daerah rawan bencana sehingga pembibitan pun perlu dilakukan untuk mencegah longsor. Jadi semuanya memiliki keterkaitan.
Masyarakat Indonesia sekarang ini tingkat konsumtifitasnya tinggi dalam membeli barang. Sekarang tinggal bagaimana memanfaatkan alam secara maksimal perlu mencontoh negeri Cina, karena semua produk Cina itu diolah tanpa mengenal kata mubazir. Yang artinya butuh kreatifitas hidup. Contoh lain adalah Mahatma Gandhi. Ia sebetulnya hanya mengajarkan orang India memakai garam produksi nelayan sendiri, dan hasilnya luar biasa. Tapi itu perlu konsistensi yang tinggi dalam melakukannya.
Kelemahan bangsa ini adalah tidak memproduksi, petani pun hanya menanam saja tidak memproduksi bibit sendiri dngan alasan repot dan lainnya. “Para pengusaha kapitalis memanfaatkan itu dan sebetulnya ada agenda lain yang tersembunyi yaitu mencuri ilmu pengetahuan kita,” ungkapnya.
Oleh karena itu, menurutnya negara ini perlu diformat ulang kalau kita kembali melihat Cina. Para peternak memproduksi biogas, dan mereka diberi insentif oleh Negara. Misal potongan harga dalam bahan baku dll, sehingga orang terpacu untuk memproduksi lagi. (Diaz)
.