Sabtu, 27 Juli 2024

Fahmina Konsisten Kenalkan Islam Perspektif Perempuan

Baca Juga

KIG-8

Inisiatif Yayasan Fahmina dalam mengenalkan “Islam perspektif perempuan” sampai saat ini terus dilakukan. Terutama kepada mereka yang tidak berlatar belakang pendidikan Islam, serta para aktivis perempuan yang memperjuangkan gerakan sosial keadilan gender dengan kegiatan “Dawrah Fiqh Perempuan” atau disebut juga Kursus Islam dan Gender (KIG).

Fahmina juga telah menyelenggarakan KIG sejak tahun 2004 dan kurikulum yang dihasilkan telah dipakai ratusan kali di berbagai tempat di Indonesia. Modul “Dawroh Fiqh Perempuan” tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan sebagian bahasa Arab, serta pernah diterapkan untuk pelatihan sejenis di Malaysia, Philipina, Thailand, dan terakhir di Mesir.

Termasuk KIG ke-8 yang telah diselenggaran Fahmina pada Rabu-Jumat (26-28/12/12) lalu. Kurikulum KIG didesain secara khusus untuk memudahkan para peserta memahami konstruksi ajaran Islam terkait relasi gender, dan pada saat yang sama menjadi bahan advokasi bagi upaya penguatan keadilan gender. Dengan memperkenalkan peserta terhadap sumber-sumber ajaran, yaitu al-Qur’an dan Hadits, interpretasi atas keduanya terutama pemikiran fiqh, dan perkembangan hukum Islam terapan di Indonesia dan negara-negara Islam yang lain.

Seperti KIG-KIG sebelumnya, metode yang digunakan adalah refleksi pedagogik, yang memungkinkan para peserta yang aktivis dan para nara sumber yang berbasis pendidikan Islam bisa saling belajar satu dengan yang lain, serta mempertemukan aksi dan pengetahuan terkait praktik-praktik dan asumsi-asumsi agama dalam hal relasi gender. Peserta KIG ini diutamakan perempuan, berprofesi sebagai aktifis yang bukan berasal dari latar belakang pendidikan keislaman dan atau peserta berasal dari perguruan tinggi umum. Namun tidak menutup kesempatan bagi peserta yang berasal dari perguruan tinggi Islam dan aktifis yang berlatar belakang pendidikan keislaman.

Pada KIG kali ini Yayasan Fahmina memberi kesempatan kepada akademisi Kota dan Kabupaten Cirebon, terutama perempuannya. Di antaranya dari Akademi Kebidanan (Akbid) Muhammadiyah, Pengurus Cabang (PC) Muhammadiyah, Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Bunga Bangsa, Tarjih PP Muhammadiyah, PMII Jabar, GP Anshor dan sejumlah aktivis perempuan lainnya.

Mengapa Isu Perempuan?

Menurut Alifatul Arifiati, Project Officer (PO) KIG kali ini, isu perempuan di Indonesia menjadi isu penting dan masuk dalam wacana keislaman yang didiskusikan dalam institusi-institusi pendidikan Islam. Institusi tersebut di antaranya seperti dari lembaga keagamaan formal, seperti madrasah, STAIN, IAIN, UIN sampai lembaga keagamaan tradisional-informal, seperti pesantren, majlis ta’lim dan kelompok pengajian.

“Dari institusi-institusi ini lahir para pejuang gerakan perempuan; sembari mereka menjadi aktivis organisasi-organisasi muslim di Indonesia,” ungkapnya.

Gerakan perempuan, tak terkecuali di Indonesia, memang memiliki keunikan tersendiri. Salah satu keunikan itu adalah bertemunya kelompok perempuan tak berbasis agama dengan kelompok perempuan berbasis agama. Situasi ini, seperti dikatakan Zainah Anwar, aktivis perempuan muslim dari Malaysia, telah menempatkan gerakan perempuan Islam di Indonesia pada posisi penting bahkan menjadi ‘tolok ukur’ dalam diskursus Islam dan perempuan di dunia Islam.

Lebih jelasnya, pada saat ini wacana Islam dan pemberdayaan perempuan secara intensif disosialisasikan oleh institusi-institusi keislaman yang peduli pada pemberdayaan perempuan. Antara lain oleh Fatayat-Muslimat NU, Aisyiyah Muhammadiyah, Fahmina, Rahima, Puan Amal Hayati, PSW-PSW Perguruan Tinggi Islam, untuk menyebutkan beberapa. Kesemua institusi tersebut menggunakan pendekatan yang mirip: pemberdayaan perempuan dengan menggunakan argumentasi keagamaan. Namun tidak semua aktivis perempuan akrab dengan pengetahuan dasar tentang Islam dan isu-isu perempuan. Padahal pada kenyataannya, hampir tidak mungkin membahas isu perempuan tanpa mengaitkan dengan persoalan keagamaan.

Dalam konteks ini, para aktivis perempuan yang kebetulan tidak berlatar belakang pendidikan Islam tampaknya seringkali mengalami kesulitan tatkala berhadapan dengan komunitas Muslim. Terlebih saat ini, ketika Islam sedang mengalami pasang naik.

“Situasi ini menuntut para aktivis untuk sedikit banyak mengenali isu-isu keislaman, terutama yang menyangkut isu perempuan dan keadilan gender. Di sinilah pentingnya pendidikan yang berorientasi pada penguatan wawasan keislaman bagi para aktivis perempuan.” (alimah)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya