Oleh: Abdul Rosyidi
Repot sekali ya kalau tuturan yang bersifat lisan kemudian dituliskan. Apalagi yang nulisnya sudah berpretensi macam-macam, atau salah penafsiran, atau memang kurang konsentrasi saat liputan. Ketiganya mungkin.
Sejak kemarin hape saya ramai pembicaraan mengenai ucapan Kiai Said dalam pidatonya di Harlah Muslimat ke-73 di SUGBK, Minggu 27 Januari 2019. Sebagai orang NU tentu saya marah. Bagaimana tidak, banyak media menuliskan berita tentang ceramah ini dengan makna yang berpotensi memecah belah.
Kesan yang muncul dalam berita-berita tersebut, Kiai Said mengatakan bahwa “kalau dipegang selain NU, salah semua”.
Saya ambil contoh satu saja berita dari salah satu media online. Dalam salah satu laman ditulis:
“Agar berperan di tengah-tengah masyarakat. Peran apa? Peran syuhudan diniyan, peran agama. Harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA, Pak Menteri Agama, harus dari NU, kalau dipegang selain NU salah semua,” ujar Said Aqil.
Berita ini tentu berpotensi besar memecah belah dan menimbulkan kebencian dari ormas Islam lain. Tapi pertanyaannya, benarkah Kiai Said bicara demikian? Lalu ucapan tersebut maksudnya bagaimana?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita simak dulu berita atas peristiwa yang sama yang ditulis NU Online.
“Peran agama harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA (kantor urusan agama), menteri agama, harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, (nanti dianggap) salah semua: nanti banyak (tuduhan) bid’ah kalau selain NU. Ini bid’ah nanti. Tari-tari sufi (dituduh) bid’ah nanti,” ujar Kiai Said sambil menunjuk kepada para penari sufi.
Perhatikan, kata-kata yang berada di dalam kurung. Kata-kata itu ditambahkan redaksi (bisa wartawan atau redakturnya). Tujuannya apa? agar pembaca bisa mengetahui maksud tuturan.
Dulu saat jadi wartawan maupun redaktur saya biasa menambahi keterangan “.red” sebelum tutup kurung sebagai tanda bahwa kata-kata dalam kurung adalah tambahan dari redaksi, bukan ucapan narasumber.
Dalam hal ini, saya ingin mengatakan bahwa wartawan bekerja tidak hanya menuliskan kata-kata yang didengar, melainkan juga memahami maksud ujaran. Wartawan itu bukan notulen. Wartawan itu penulis, dia pendengar sekaligus penafsir.
Saya cukup lama menjadi wartawan dan sering menemukan kasus di mana narasumber yang saya wawancara bicara dengan nuansa lisan yang sangat kuat. Saya tahu Kiai Said itu orator, muballigh, orang yang lahir dari daerah dengan tradisi lisan yang mengakar kuat: Cirebon. Tentu bisa dibayangkan betapa kuatnya nuansa lisan pada setiap beliau ceramah.
Kekuatan ceramah bukan hanya pada gramatikanya, melainkan pada penekanan, pada intonasi, dinamika, mimik, dan gaya penyampaian. Orang yang belajar retorika, ceramah atau belajar pidato pasti mengetahuinya.
Saya tahu, Kiai Said sering ceramah dengan gaya bodoran khas Cirebon yang ceplas-ceplos. Itu adalah gayanya di atas panggung. Tapi bukan berarti Kiai Said tidak paham ilmu gramatika. Beliau bahkan sangat ahli di bidang itu. Saya tahu karena orang yang bisa baca kitab kuning pasti sudah ngelotok ihwal gramatika tulisan.
Tapi ceramah yang bersifat lisan selalu dinamis. Pembicara akan selalu melihat audiens-nya. Kita semua tahu, audiens waktu Kiai Said pidato adalah ibu-ibu muslimat. Dari situ kita tahu, Kiai Said ingin berbicara dengan bahasa yang biasa digunakan dan bisa diterima dengan renyah oleh ibu-ibu muslimat yang datang dari daerah.
Saya tidak perlu jelaskan, bagaimana psikologi ibu-ibu pengajian dalam menangkap informasi. Kalau Anda tidak pernah ikut pengajian dan majelis taklim mereka, Anda tak akan pernah mengerti apa yang saya gambarkan.
Kembali lagi ke pembahasan kita. Berita Kiai Said yang seolah mengatakan bahwa “kalau dipegang selain NU, salah semua”, menurut saya, bisa terjadi karena sang juru warta salah memahami, atau pun salah dengar mengingat banyaknya peserta yang hadir. Kebisingan peserta bisa mengganggu pendengaran wartawan.
Kalau iya, harusnya itu tidak jadi alasan. Karena masalah mis-understanding harusnya tidak terjadi karena jurnalistik mempunyai standar verifikasi. Wartawan bersangkutan harusnya verifikasi ke narasumber langsung. Atau kepada pihak-pihak terkait.
Wartawan bisa saja berdalih bahwa dia punya rekamannya. Tapi rekaman, selama ini kita punya pengalaman buruk, tidak bisa menangkap suasana kelisanan sepenuhnya.
Dan suasana itulah yang tidak bisa dia sampaikan kepada pembaca. Nuansa itulah yang ikut membentuk makna ujaran. Nuansa itulah yang membuat NU Online memberikan tafsiran-tafsiran atas ujaran Kang Said, dengan menambahkan dalam kurung di dalam kalimat langsung.
Tapi saya juga bisa memahami standar verifikasi itu kini telah menjadi barang mahal di tengah jurnalisme-digital dengan prinsip adu cepat. Saya ingat sekali, dulu redaktur saya selalu bilang bahwa jurnalisme itu bukan sekadar metode, tapi juga etika.[]
*Penulis adalah Editor Mubaadalahnews.com