Manusia adalah makhluk Tuhan yang merdeka sejak ia ada/diciptakan. Ini di satu sisi. Pada sisi lain ia adalah hamba-Nya, karena ia diciptakan dan Dialah Penciptanya. Maka manusia adalah makhluk merdeka ketika ia berhadapan dengan sesamanya dan adalah hamba ketika di hadapan Tuhan, Penciptanya. Dalam bahasa agama manusia disebut Abd Allah. Ini gelar paling terhormat. Jadi, manusia menjadi hamba hanya bagi Tuhan dan tidak bisa dan tidak boleh menjadi hamba bagi manusia yang lain (sesamanya). Demikian sebaliknya; manusia tidak boleh memperhambakan manusia lain (sesamanya). Memperhambakan manusia sama artinya dengan melanggar hak Tuhan.
Nabi Muhammad dan para Nabi yang lain, 25 yang disebutkan al-Qur’an dan ratusan lagi yang tidak disebutkannya adalah para hamba sekaligus manusia-manusia pilihan Tuhan. Mereka ditugaskan membawa misi Tauhid. Kalimat La Ilaha Illa Allah, berarti “tidak ada yang patut disembah, kecuali Allah saja”. Dengan begitu maka tidak boleh ada pemujaan manusia atas manusia yang lain.
Al-Qur’an menegaskan: “(Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang-benderang dengan izin Tuhan mereka”. (Q.S. Ibrahim, [14:1]. Mengeluarkan adalah membebaskan. Kegelapan di sini bermakna kekafiran (ketertutupan hati dan pikiran akan kebenaran), kezaliman, kesesatan dan kebodohan. Cahaya adalah keimanan kepada Tuhan, keadilan, jalan lurus dan Ilmu pengetahuan. Ini semua merupakan ajaran paling inti dari Islam dan setiap agama yang dibawa para nabi, utusan Tuhan dan para pembawa misi kemanusian yang lain. Karena ia merupakan pengejawantahan atau perwujudan dari pernyataan Ke-Maha-Esa-an Tuhan.
Kemerdekaan manusia dalam Islam telah diperoleh sejak ia dilahirkan ibunya. Umar bin Khattab, khalifah kaum muslim ke dua, kemudian mengembangkan ajaran para Nabi di atas. Ketika Abdullah, anak Amr bin Ash, Gubernur Mesir, menganiaya seorang petani desa yang miskin, Umar bin Khattab segera memanggil anak sang Gubernur tersebut. Kepadanya Umar mengatakan: “sejak kapan kamu memperbudak/memperhambakan manusia, padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka“. Umar lalu mempersilakan si petani miskin tersebut mengambil haknya yang diperlukan terhadap anak pejabat tinggi negara itu.
Sikap Umar ini memperlihatkan kebijakan yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Dia memperlakukan semua orang yang berada dalam kekuasaannya. Umar ingin menunjukkan bahwa di depan hukum, setiap orang mempunyai hak untuk tidak dihakimi dan dizalimi hanya karena kedudukan sosialnya yang dianggap rendah. Perbedaan status sosial-ekonomi, dalam pandangannya tidak boleh membuat orang yang tak beruntung atau yang dianggap berkelas rendah oleh masyarakatnya, dinafikan hak-hak dasarnya. Sebaliknya orang dengan status sosial beruntung, tidak boleh dibiarkan merampas hak orang lain seenaknya dan dibebaskan dari tindakan hukum. Hal yang terkhir ini pernah disampaikan Nabi: “Sesungguhnya bangsa-bangsa di masa lalu, hancur-lebur, karena mereka mempraktikkan hukum secara tidak adil menghukmnya. Bila yang mencuri adalah orang-orang yang lemah, mereka menghukumnya. Tetapi bila yang mencuri adalah orang-orang yang kuat, mereka membebaskannya. Andaikata Fatimah, anakku, mencuri, aku pasti akan menghukumnya”.
Kemerdekaan adalah Bertindak Etis
Kemerdekaan manusia meliputi hak untuk menjadi ada dan dihargai, (hak hidup), beragama dan berkepercayaan, berpikir dan mengekspresikannya, beraktualisasi, berproduksi, hal bereproduksi (berketurunan), hak untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan, hak atas kepemilikan dan lain-lain. Manusia juga tidak boleh diperbudak oleh aturan dan kekuasaan apapun secara semena-mena (tidak berkeadilan). Sebaliknya aturan dan kekuasaan diperlukan sebagai cara manusia memperoleh rasa aman, damai, kesejahteraan dan keadilan. Semua hak yang disebutkan ini adalah hak-hak fundamental manusia dan bersifat universal.
Tetapi tentu segera harus dikemukakan bahwa berbagai kemerdekaan manusia ini tidak berarti bahwa dia boleh bertindak semau-maunya. Ini adalah hal yang tak mungkin. Karena setiap manusia berada dalam batas-batas ruang, waktu dan orang lain yang juga memiliki kemerdekaan. Atas dasar inilah maka tidak seorangpun berhak memaksakan kehendaknya atas orang lain. Karena yang lain juga punya kehendak yang sama. Pemaksaan kehendak, apalagi dengan cara-cara kekerasan, pembatasan dan perendahan martabat adalah melanggar prinsip kemanusiaan itu sendiri. Kemerdekaan seseorang selalu membawa konsekuensi pertanggungjawaban atas seluruh tindakan dan pikirannya. Kemerdekaan dan tanggungjawab adalah bagai dua sisi mata uang. Maka setiap orang dituntut secara etis untuk saling memberikan perlindungan, rasa aman dan penghormatan atas martabatnya. Dari sini tampak logis bahwa kemerdekaan memiliki korelasi tak terpisahkan dengan kesetaraan antar manusia dan penghargaan atau penghormatan satu atas yang lain. Dengan begitu, kemerdekaan adalah berpikir dan bertindak etis. Yakni berpikir dan bertindak untuk memperoleh kebaikan bagi diri dan orang lain dalam sistem atau institusi yang adil. Karena inilah tujuan kehidupan bersama manusia.
Cirebon, 17082013