Sabtu, 27 Juli 2024

PUASA DAN TRANSFORMASI SOSIAL

Baca Juga

Tak terasa, beberapa hari lagi bulan Ramadlan akan berakhir. Dia akan pergi selama 11 bulan untuk kembali pada tahun mendatang. Kehadirannya selalu dinanti dan dirindukan seluruh umat Islam sedunia, dan kepergiannya selalu ditangisi-diberati dan diantar umat Islam sedunia dengan pesta tasyakkur ‘idul fitri karena telah memberikan berkah, kasih sayang, dan sejumlah karunia yang tidak dimiliki bulan-bulan lain. Ramadlan memang sangat istimewa di hati umat manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, semuanya memperoleh karunia yang berlimpah sepanjang kehadirannya.

“Law ya’lamu al-‘ibadu ma fiy syahri ramadlana latatamanna al-‘ibadu an yakuna syahru ramadlana sanatan [seandainya manusia tahu rahasia-rahasia yang ada dalam bulan Ramadlan, pasti mereka akan berharap bulan Ramadlan menjadi setahun penuh],” sabda Rasulullah Muhammad SAW. 

Tulisan ini bermaksud mengungkap hakekat puasa dalam konteks peradaban hari ini, yang penting ditindaklanjuti paska-Ramadlan. Sebab banyak orang lupa atau abai dengan hakekat ini, sehingga puasanya hanyalah ritual-formal belaka yang tidak memiliki ruh atau spirit untuk perubahan diri dan perubahan sosial yang menjadi tujuan puasa. Atas kasus ini, Rasulullah SAW bersabda, “kam min sha’imin laysa lahu min shiyamihi illa al-ju’ wa al-‘athasy [banyak orang berpuasa tidak memperoleh apa-apa dari puasanya itu, kecuali lapar dan dahaga].” Mengapa? Tidak lain jawabannya karena mereka tidak berpuasa secara hakekat, hanya berpuasa secara ritual-formal belaka.

Hakekat Puasa

Banyak orang memahami bahwa puasa yang paling penting adalah menahan makan dan minum serta menahan bersetubuh sepanjang hari, mulai dari terbit pajar hingga terbenam matahari. Di luar itu, mereka bebas untuk makan, minum, dan bersetubuh atau melakukan hal-hal yang dilarang dalam berpuasa. Pemahaman ini dibantah sendiri oleh Rasulullah SAW. “Laysa ash-shiyamu min al-akli wa asy-syurbi. Innama ash-shiyamu min al-laghwi wa ar-rafatsi [Puasa itu bukanlah menahan makan dan minum. Melainkan puasa itu sesungguhnya adalah tidak melakukan perbuatan sia-sia dan tidak berkata bohong dan kotor],” jelas Nabi Muhammad SAW. Dalam penjelasan lain, Nabi SAW menegaskan, “Ash-shiyamu junnatun ma lam yakhruqha bi kadzibin aw ghibatin [Puasa itu memang akan menjadi perisai, selagi dia tidak disertai dengan kebohongan atau perilaku menggunjing kejelekan orang lain].”

Jelaslah, hakekat puasa dengan demikian adalah menahan hawa nafsu menuju kepada kepribadian yang jujur, baik, bermanfaat, dan maslahat bagi kemanusiaan. Menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh bukanlah tujuan dan hakekat puasa, tetapi hanyalah cara, metode, dan teknik latihan fisik menuju kepada kejujuran, kebaikan, kemanfaatan, dan kemaslahatan bagi kemanusiaan semesta yang sejati. Dengan demikian, puasa sebulan dalam bulan Ramadlan ibarat Diklat saja, yang harus selalu dilakukan setiap tahun, dengan harapan terus terjadi peningkatan kualitas kejujuran, kebaikan, kemanfaatan, dan kemaslahatan yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari.

Puasa Kontekstual

Jika hakekat puasa adalah pengendalian diri dari hawa nafsu, menuju pribadi yang jujur, baik, manfaat, dan maslahat bagi kemanusiaan, maka puasa yang sebenarnya bukanlah hanya pada bulan Ramadlan semata. Puasa yang sebenarnya dilakukan sepanjang masa, kapanpun, di manapun dan dalam situasi apapun, kita wajib berpuasa.

Dalam dunia nyata, berpuasa dalam peradaban manusia hari ini adalah mengendalikan diri dari nafsu korupsi, nafsu penyalahgunaan kekuasaan, nafsu memberi dan menerima suap dalam berbagai bentuknya, nafsu tindakan diskriminasi, nafsu pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, nafsu kekerasan dalam berbagai bentuknya, nafsu pelecehan seksual, nafsu perzinahan dan perkosaan, nafsu mabuk-mabukan, nafsu perdagangan manusia (trafiking), nafsu eksploitasi buruh dan tenaga kerja, nafsu eksploitasi tubuh dan seksual, nafsu penggusuran PKL, nafsu mengkafir-kafirkan sesama Muslim, nafsu pencitraan diri yang menipu, nafsu menghambur-hamburkan uang untuk kampanye yang menipu dan kesombongan diri melalui baliho, pamflet, televisi, radio, dan iklan di koran-koran.

Inilah makna dan hakekat puasa yang sebenarnya, yang nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Puasa bukanlah menahan makan, minum, dan hubungan seksual, tapi puasa adalah mengendalikan hawa nafsu itu semua, di antaranya nafsu menjelang Pilkada, Pilleg, dan Pilpres, yakni nafsu memberi dan menerima suap, nafsu pencitraan diri yang menipu, dan nafsu menghambur-hamburkan uang untuk kampanye yang sia-sia dan kesombongan diri melalui baliho, pamflet, televisi, radio, dan iklan di koran-koran.

Puasa mengajarkan kita agar komplotan nafsu itu dikendalikan dan ditundukkan, kemudian didayagunakan dan diarahkan untuk kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat dan maslahat bagi kemanusiaan yang lebih luas. Misalnya, kampanye diarahkan kepada pemberian beasiswa dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, perbaikan fasilitas umum, bekerjasama dan membantu komunitas yang tertindas, minoritas, dan marjinal, berkata jujur dan konsisten, membuka lapangan pekerjaan yang layak dan manusiawi, meningkatkan upah buruh dan perlindungannya dari kekerasan, eksploitasi, dan ketidakadilan. Inilah kebaikan, kemanfaatan, dan kemaslahatan yang diharapkan dari Diklat puasa selama Ramadlan.

Dari Teologi ke Transformasi Sosial

Artinya, puasa jangan hanya dipahami pada ranah teologis-transendental semata, urusan manusia dengan Tuhan, melainkan harus dibumikan menjadi spirit perubahan diri (spirit of self transformation) dan modal perubahan sosial (modal of social transformation) untuk perjuangan keadilan, kemanusiaan, kerahmatan, kebaikan, dan kemaslahatan yang menjadi tujuan dasar syari’at Islam (maqashid asy-syari’ah). Islam bukan hanya ajaran langit, tapi ajaran bumi yang harus mampu membebaskan manusia dari ketidakadilan, ketertindasan, dan eksploitasi yang dilakukan para penguasa yang lalim, orang kaya yang menindas, dan orang pintar yang menjilat. Islam adalah ajaran keadilan, ajaran kemaslahatan, dan ajaran pembebasan yang berpihak kepada mereka yang tertindas (mustadl’afin dan madhlumin), yakni orang-orang fakir dan miskin, orang-orang yang terlilit hutang, tergusur dan terpinggirkan oleh sistem dan kebijakan yang tidak adil (riqab, gharimin), dan orang-orang yang rentan (mu’allaf, ibnu sabil, sabilillah). Islam bukan stempel penguasa yang lalim dan pengawal para pemuja kekuasaan. 

Apabila puasa kita tidak berdampak kepada transformasi diri dan transformasi sosial menuju kemanusiaan, keadilan, dan pembebasan, maka berarti kita gagal mengikuti program Diklat puasa selama Ramadlan. Kita tidak memperoleh apa-apa dari Diklat puasa itu, kecuali lapar dan dahaga. Na’udzu billah min dzalik.[]

*Marzuki Wahid adalah Wakil Rais Syuriyah PCNU Kab. Cirebon, Deputi Rektor ISIF Cirebon, dan Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Alamat email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Pernyataan Sikap Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Atas Kejahatan Kemanusiaan Israel di Palestina

Bismillahirrahmaanirrahiim Menyikapi tindakan-tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Zionis Isreal terhadap warga Palestina, yang terus bertubi-tubi dan tiada henti,...

Populer

Artikel Lainnya