Bulan Agustus merupakan bulan penuh sejarah bagi Rakyat Indonesia. Pada bulan inilah, Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, tepat pada tanggal tujuh belas Agustus. Tanggal dan hari ini selalu diperingati dengan suka cita oleh segenap masyarakat. Berbagai kegiatan dilaksanakan, sebagai wujud syukur atas karunia kemerdekaan oleh Sang Pencipta negeri ini.
Di awal bulan Agustus tahun ini, media disibukkan dengan pemberitaan tingginya angka kriminalitas. Mulai dari pembunuhan berantai dengan sebelas korban, hingga seorang ibu yang tega menghabisi anaknya yang baru ia lahirkan dengan memotongnya menjadi dua bagian. Ibu tadi mengaku membunuh anaknya karena alasan ekonomi. Kekhawatiran akan kesulitan membiayai empat anaknya menjadi alasan utama tindakan bejatnya itu.
Dalam sebuah surat kabar nasional, Tamrin Amal Tamagola, seorang sosiolog mengatakan, kriminalitas diantaranya dapat dipicu oleh tingginya budaya konsumerisme dan tingginya angka kemiskinan di masyarakat. Karena alasan-alasan ekonomi, seperti pemenuhan kebutuhan hedonistik, atau kemiskinan yang membelit, seseorang berani melakukan tindak kriminal bahkan yang paling keji sekali pun.
Bila melihat banyakanya kasus kriminal, yang disbebakan kemiskinan tersebut, maka sesungguhnya rakyat Indonesia masih dalam kubangan kesengsaraan. Betapa kemerdekaan belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh segenap rakyat. Jutaan orang tidak merdeka, karena himpitan kemiskinan, kebodohan, kedzaliman kebijakan penguasa, bahkan kultur patriarkhi yang menyebabkan diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu.
Dalam terminologi agama, mungkin ini yang dinamakan bencana. Rasulullah saw. bersabda,“Jika keburukan telah nyata di muka bumi, maka akibatnya akan Allah timpakan kepada segenap penduduk bumi”. [al-‘Uqubat, Hadits no. 3]. Keburukan dalam arti hancurnya moralitas ataupun prilaku yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dan diantara penyebab bencana itu adalah kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak merata dan tdak setara
Dengan momentum perayaan kemerdekaan inilah, kiranya kita perlu mengoreintasikan kembali makna kemerdekaan bagi kesejahteraan hidup rakyat banyak secara lebih merata dan lebih setara. Tentu saja kestaraan yang dimaksud adalah kesetaraan distribusi kesejahteraan ekonomi, pelayanan pendidikan, kesehatan, maupun kesetaraan kesempatan bagi semua kelompok, ras, agama, dan jenis kelamin (laki-laki dan prempuan).
Kesejahteraan menyangkut distribusi ekonomi bisa dilakukan lebih baik diantaranya dengan memperbaiki kebijakan pemerintah di bidang pertanian. Dengan basis negara agraria, pemerintah seharusnya memberi perhatian lebih pada sektor pertanian. Namun apa yang terjadi selama ini, petani tidak bisa menikmati hasil panennya. Harga jual gabah rendah, sedangkan beras mahal untuk dikonsumsi sehari-hari. Proteksi tidak dilakukan terhadap hasil panen domestik secara memadai dari gempuran impor beras, kedelai, dan lainnya dari pihak asing. Di saat yang bersamaan, pupuk yang disuplai dari impor juga harganya memberatkan petani. Artinya, petani harus menangung beban produksi cukup tinggi, sedangkan gabah hasil panen sangat murah, tidak sebanding dengan kalkulasi produksi. Belum lagi permainan para tengkulak-tengkulak di lapangan yang kian merugikan petani. Nasib petani ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Fakta ini sebagai gambaran nasib kaum tertindas, petani, nelayan dan pedagang kaki lima juga sama sebagaimana petani. Mereka belum merasakan kemerdekaan yang fundamental sekalipun. Yaitu kemerdekaan dari hidup sengsara karena kemiskinan. Seyogyanya, keadilan distribusi kesejahteraan ekonomi dapat mereka rasakan, agar makna kemerdekaan benar-benar nyata dalam hidup keseharian.
Kesetaraan juga belum benar-benar terwujud dalam bidang pendidikan. Ini diantaranya karena komersialisasi dunia pendidikan semakin menjadi-jadi.. Pendidikan berkualitas menjadi sesuatu yang elitis, hanya dapat digapai oleh mereka yang berkecukupan ekonomi. Hak-hak rakyat untuk menerima pendidikan yang layak sebagai prasyarat menuju hidup lebih berkualitas kian terabaikan.
Demikian pula dengan layanan kesehatan yang kian mahal dan memberatkan kaum miskin. Alokasi subsidi dari pemerintah relatif kecil, dan kerap diselewengkan oleh oknum pelayan kesehatan sendiri, seperti dokter dan petugas rumah sakit.
Jika menggunakan analisis gender, perhatian terhadap kesehatan perempuan, khusunya seorang ibu, baik yang sedang hamil maupun telah melahirkan juga bisa dibilang rendah. Tingginya angka kematian ibu melahirkan, seharusnya mendapat perhatian khusus pemerintah untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi mereka. Kematian ibu melahirkan bukan semata nasib, tapi minimnya layanan kesehatan dan kepedulian sosial terhadap ibu hamil. Oleh karenanya, mereka semua memerlukan kemerdekaan dari ancaman wabah penyakit, seorang ibu menjalankan peran reproduksinya dengan aman dan nyaman, tentu dengan kesetaraan layanan kesehatan bagi semuanya.
Selain itu semua, kestaraan rakyat mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara belum terpenuhi dan dilindungi seratus prosen oleh negara. Hak-hak warga negara ini melekat pada siap pun sebagai orang Indonesia, , tanpa memandang ras, agama, etnis, wana kulit, perbedaan bahasa, maupun perbedaan jenis kelamin. Kemerdekaan harus diringi dengan terbukanya ruang aktualisasi bagi setiap orang tanpa memandang latar belakang perbedaan. Diskriminasi dalam bentuk apapun hanya akan membuat bangsa ini kerdil. Hak-hak asasi manusia harus ditegakkan dan menjadi agenda perjuangan bersama. Keseteraan dalam hal ini tidak hanya harus tercermin dalam sosio-kultur masyarakat, tapi menjadi spirit kebijakan-kebijakan pemerintah. Seperti kebijakan anggaran, baik di daerah maupun pusat, hendaknya mengacu pada kesetaraan ini, terutama kesetaraan jender.
Sampai di sini, semua komponen bangsa harus menggunakan segala potensi yang dimiliki untuk merayakan kemerdekaan kali ini. Mengoreksi kekurangan dan mengoptimalkan apa yang telah dicapai. Semuanya kita lakukan sebagai wujud syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi berbagai sumber penghidupan, menuju pembebasan harkat kemanusiaan. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. (al-A’raf, 7: 10). []
Penulis adalah alumnus Ma’had Ali Situbondo Jawa Timur, sekarang tinggal di Cirebon, bekerja untuk kemanusiaan di Fahmina Institute
Tulisan ini dimuat warkah al-Basyar Vol. VII edisi 24 tahun 2008