Oleh: Dr. KH. Husein Muhammad
Tiba-tiba aku ingat. Tahun 2014 akhir bulan Agustus, aku hadir sebagai pembicara dalam seminar terbatas di sebuah tempat di tepi laut Marmara, Istanbul, Turki.
Temanya : “Blaspemy dan Apostasi”, bersama sejumlah pakar terkemuka dari sejumlah negara. Antara lain Prof. Dr. M. Khalid Mas’ud (Pakistan), Prof. Jasir Audah (Mesir), Prof. Ziba Mir Hoseini (Iran), Prof. Dr. Lena Larsen (Norwegia), Prof. Dr. Kecia Ali (Amerika), Prof. Dr. dari Mesir (aku lupa namanya) dan lain-lain yang aku lupa juga, serta Prof. Dr. Noorhaidi Hasan, dari UIN Yogya.
Semua bicara dalam bahasa Inggris, kecuali aku dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Miki Salman. Perbincangan sangat menarik. Para pakar itu setuju : Islam menolak keras “blaspemy” (penistaan, penghinaan dan caci-maki) terhadap kesucian agama, simbol-simbol, tokoh-tokoh agama dan lain-lain sejenis.
Aku dan Prof. Jasir Audah sepakat menyampaikan “al-Kulliyyat al-Sittah” (6 prinsip perlindungan) : Perlindungan atas hidup (hifz al-Nafs) bermakna perlindungan terhadap hak hidup dan berkehidupan. Perlindungan agama (hifz al-din) bermakna menghormati kebebasan beragama atau berkepercayaan. Menjaga akal (hifz al-aql) bermakna menghargai kemerdekaan berpikir dan mengembangkan research ilmiah dan berpikir ilmiyah.
Menjaga kehormatan (hifz al-irdh) sama dengan melindungi martabat dan kehormatan kemanusiaan (dignity). Melindungi keturunan (hifz al-nasl) bermakna perlindungan terhadap institusi Keluarga dari berbagai bentuk kekerasan dan menjaga kesehatan reproduksi. Menjaga harta (hifz al-mal), melindungi hak milik property, pengembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Atas dasar itu Islam juga menolak pemaksaan agama. Berdasarkan ayat ini, maka adalah sulit diterima logika jika murtad, dalam arti pindah agama/keyakinan harus dihukum mati. Kecuali jika ia bermakna pemberontakan terhadap negara atau mengganti sistem negara yang sudah disepakati atau penghianatan terhadap negara. Itupun manakala masih menganut hukuman mati.
Usai acara aku bersama mahasiswa jalan-jalan menyusuri Taksim Square, dan ke museum penulis novel terkenal dunia sekaligus pemenang nobel Sastra, Orhan Pamuk. Malamnya aku menghadiri ritual Tarekat Mawlawi sekaligu tarian Sema, di sebuah masjid.
Hari berikutnya aku menuju Konya untuk ziarah ke Maulana Rumi, Syamsi Tabrizi, guru spiritual Rumi dan Shadruddin al-Qunawi, anak tiri Ibnu Arabi. Begitu selesai ziarah di maulana Rumi, aku diberi hadiah teman mahasiswa, dua buku karya Maulana Rumi : “Al-Matsnawi” (6 jilid mungil) dan “Qawa’id al-Isyq al-Arba’un”, sebuah novel karya Syafiq Elif.
Dan aku terpukau saat membaca kaedah cinta yang ke empat puluh.
القاعدة الأربعون:
لَا قِيمَةَ لِلْحَيَاةِ مَنْ دُونِ عِشْقٍ. لَا تَسْأَلْ نَفْسَكَ مَا نَوْعُ العِشْقِ الَّذِي تُريدُه، رُوحِيٌ أَمْ مَادِّيٌ، إِلهِيٌ أَمْ دُنْيَوِي، غَرْبِيٌ أَمْ شَرْقِيٌ. فَالإِنْقِسَامَاتُ لَا تُؤَدِّي إِلَّا إِلَى مَزِيدٍ مِنَ الِإنْقِسَامَاتِ. لَيْسَ لِلْعِشْقِ تَسْمِيَّاتٌ وَلَا عَلَامَاتٌ وَلَا تَعَارِيفُ. إِنَّهُ كَمَا هُوَ، نَقِىٌّ وَبَسِيطٌ. “العِشْقُ مَاءُ الحَيَاةِ وَالعَشِيقُ هُو رُوحٌ مِنَ النَّار”، يُصْبِح الْكَونُ مُخْتَلِفاً عِنْدَمَا تَعْشِقُ النَّارُ المَاءَ.
“Hidup tanpa cinta tidaklah bermakna. Tak usah kau tanya cinta macam apa yang kau cari, spiritual atau material, ilahi atau duniawi, timur atau barat. Pembagian-pembagian itu hanya akan berujung pada lebih banyak lagi pembagian. Cinta itu tak bernama, tak bersimbol dan tak terdefinisi. Cinta adalah cinta yang apa adanya, murni dan bersahaja. Cinta adalah air kehidupan. Dan seorang kekasih adalah jiwanya api. Semesta akan berputar ke arah berbeda manakala api mencintai air. []