Persoalan yang seringkali muncul dibidang jasa angkutan adalah penyimpangan trayek, dan maraknya Pungutan Liar atau Pungli. Kedua masalah itu, ditingkat awak angkutan telah menimbulkan keresahan, bahkan memicu pergesekan konflik. Bagi pihak sopir yang trayeknya dilanggar, jelas dirugikan dari sisi pendapatan. Belum lagi, ditambah oleh beban pungutan liar dan retribusi.
Di Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon, kasus pelanggaran trayek marak di beberapa jalur, antara lain : trayek Cirebon-Sindanglaut-Ciledug, Cirebon-Losari-Ciledug, dan Cirebon-Pabuaran-Ciledug. Menurut pengakuan para sopir, angkutan tanpa izin trayek resmi (bodong) berupa bus, angkot, dan elf yang beroperasi dijalur-jalur tersebut mencapai 75 %. Diduga kuat, pelanggaran trayek terjadi juga dijalur trayek-trayek lain. Sementara, Pungli (Pungutan Liar) ditarik oknum preman dibeberapa titik, khususnya di terminal Harjamukti.
Retribusi: Bayaran Tanpa Jaminan.
Menyikapi masalah penyimpangan trayek dan Pungli, para sopir menyesalkan praktik-praktik ilegal itu terus terjadi. Mereka menilai tidak ada tindakan tegas dari Aparat terkait. Peruntukan Pungli sendiri tidak jelas untuk apa. Menurut Tabrani, Ketua Paguyuban sopir Elf GP-SIPARI Cirebon, Keberadaan Pungli hanya menguntungkan oknum-oknum tertentu. “kita hanya kena getahnya, sebab tidak ada kontribusi apapun yang diperoleh kami”. tegasnya.
Selain itu, Para sopir juga mempertanyakan kontribusi konkret dari retribusi Terminal sesuai Perda N0.13 Tahun 2001, sebesar Rp. 1000 yang selama ini mereka bayar. Menurut mereka, retribusi sebagai kewajiban sopir, mestinya diikuti oleh layanan profesional dari Dishub dan Balai Perhubungan Propinsi. “kita bayar, ya mestinya kita memperoleh fasilitas selayaknya, juga jaminan keamanan dan bebas dari pungutan lain.” Kata Ali, Sopir Elf asal Ciledug. Namun, kenyataannya dilapangan kondisi terminal masih semerawut, pelanggaran trayek seolah dibiarkan, ditambah banyaknya pungutan yang tidak jelas juntrungnya itu. Bila dilihat dari aliran dana, keberadaan Pungli sebetulnya merugikan pendapatan daerah (PAD) . Besaran Pungli berkisar mencapai Rp. 15.000, lebih besar dari retribusi yang hanya dipatok Rp. 1.000. Bisa dibayangkan, jika dihitung selama sebulan atau setahun, berapa besar dana yang mengalir ke kantong-kantong pribadi, Pemkot Cirebon sendiri hanya bisa gigit jari.
Ditemui ketika aksi damai pada Rabu (0102) lalu, sopir-sopir mengakui mau mematuhi penyesuaian tarif retribusi, tapi dengan syarat diikuti kontribusi yang jelas bagi mereka. ”kita sudah komitmen bayar retribusi, sebab pada dasarnya kita taat hukum, tapi Dishub dan Balai Perhubungan Propinsi harus meningkatkan kinerjanya, termasuk layanan kepada kami”, tuntut Tabroni. Pembayaran dan penyesuaian tarif retribusi terminal, harus diikuti oleh penghapusan segala bentuk pungutan liar (Pungli) yang tidak legal, dan peningkatan layanan yang memadai.
Demonstrasi : Menuntut Keadilan
Selama ini, keluhan pelanggaran trayek dan Pungli, kerapkali disampaikan kepada instansi-instansi terkait seperti : Dinas Perhubungan Kota dan Kabupaten Cirebon, Balai Perhubungan Propinsi di Cirebon, Polresta Cirebon, dan Komisi C DPRD Kota Cirebon, supaya ditindak tegas. Komunitas sopir yang tergabung dalam paguyuban sopir elf GP-SIPARI Cirebon sudah melakukan beberapakali hearing (Dengar Pendapat), sampai aksi demonstrasi untuk mendesakkan kepentingan mereka.
Namun, hearing-hearing yang dilakukan tidak menghasilkan apapun. Sehingga pada 10 Oktober 2005, Sopir-sopir Elf Sindanglaut berdemonstrasi. Mereka menuntut Dishub dan aparat terkait bersikap tegas dalam menindak pelanggaran trayek. Tapi, lagi-lagi tuntutan tersebut tidak pernah digubris. Pelanggaran trayek tetap berlangsung. Tidak ada tindakan konkret apapun, bahkan Dishub dan Balai Perhubungan seolah menutup mata.
Karena tuntutan tidak pernah didengar, kembali sopir-sopir pada Rabu (01/02), berunjukrasa. Dalam demo kali ini, dikerahkan 60 unit Elf, dan melibatkan 300-an awak angkutan. Mereka menggeruduk Dishub Kota terkait pungli yang membebani mereka, apalagi terasa berat paska kenaikan BBM.
Secara umum, pertemuan dengan instansi-instansi terkait menghasilkan kesepakatan bahwa Dishub. Kota Cirebon akan berkoordinasi dengan Kepolisian Kota Cirebon untuk menindak tegas oknum preman yang melakukan Pungli. Sedangkan, pelanggaran trayek akan ditindak tegas, dan jika masih membandel maka izin trayek akan di cabut Balai Perhubungan propinsi. Namun, kenyataannya komitmen itu tidak pernah ditepati. “kita tidak akan pernah berhenti aksi, sebelum tuntutan kita direalisasikan” tegas Tabroni.
Obeng Nur Rosyid, aktivis penguatan komunitas dari Fahmina institute Cirebon, menilai bahwa walaupun mekanisme dan saluran-saluran aspirasi untuk menuntut hak sudah dibuka lebar, namun tentunya itu tidak akan efektif ketika pengambil kebijakan tidak punya kemauan politik untuk serius mengakomodir kepentingan-kepentingan masyarakat bawah. “kondisi itu akan memunculkan asumsi publik bahwa kinerja institusi-institusi pemerintah maupun legislatif tidak optimal, bahkan tidak ada” kata Obeng. Bila itu yang menguat, maka menurut Obeng eksistensi lembaga-lembaga publik posisinya menjadi lemah. “Hal itu terjadi, sebab nilai kepercayaan publik terhadap institusi-institusi pemerintah sudah luntur” . tegas Obeng.
Menyikapi persoalan di daerah, Sopir-sopir berharap Departemen Perhubungan tidak tinggal diam. Menurut mereka Departemen Perhubungan perlu observasi langsung ke lapangan, dan sesuai kewenangan dan tanggungjawabnya menindak tegas setiap pelanggaran tanpa pandang bulu. Sebab, selama ini Instansi-instansi terkait didaerah, terkesan tidak serius menangani persoalan tersebut. Padahal, tidak menutup kemungkinan pelanggaran trayek dan Pungli menjadi masalah serius yang terjadi juga di daerah-daerah lain. Tentunya, tanpa penanganan serius. [add].