TERORISME; Setali Tiga Uang

0
953

Jaminan rasa aman mungkin semakin mahal harganya di negara ini. Bagaimana tidak, berbagai aksi teror tak hentinya menghantam ketentraman rakyat Indonesia. Mulai peristiwa bom Bali I, II dan sederet kasus terorisme di berbagai tempat lainnya. Tak terhitung lagi kerugian materi maupun korban jiwa yang ditimbulkan. Selama ini, beberapa nama telah dituding sebagai otak dibalik seluruh aksi teror tersebut.

Sebutlah alm. Dr. Azhari, Nurdin M. Top dan komplotannya yang tersebar di mana-mana. Mereka tergabung dalam jaringan Islam garis keras atau lebih dikenal Jema’ah Islamiah. Sontak saja, fakta ini sangat merugikan citra agama Islam. Islam menjadi teropinikan sebagai agama kekerasan, sadis, dan menghalalkan tindakan yang berdarah-darah itu.

Apa sebenarnya motif utama dari tindakan mereka? Berjihad melawan Baratkah, karena selama ini banyak mendzalimi umat Islam? Kalau begitu, benarkah jihad yang mereka lakukan? Atau aksi-aksi teror selama ini hanyalah sebuah rekayasa dari konspirasi global, dan stigma Islam militan cuma dijadikan kambing hitam belaka?

Analisa-analisa dari berberapa pertanyaan inilah yang mewarnai Seminar Sehari pada tanggal 10 Februari 2006 dengan tema Terorisme; dalam perspektif agama, politik dan keamanan. Seminar yang berlokasi di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon ini sepenuhnya atas prakarsa Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Aly (STAIMA). Perhelatan ini dibuka oleh pimpinan Yayasan STAIMA KH. Syarifuddin Yahya. Dengan dimoderatori oleh Zainal Arifin, sesi seminar menghadirkan tiga orang narasumber dari berbagai bidang. Faqihuddin Abdul Qadir dari Fahmina Institute didaulat untuk berbicara menggunakan perspektif agama. Sedangkan Nuruzzaman M.S.i mengomentari terorisme dengan pendekatan ekonomi politik. Dan terakhir, Komisaris Polisi Dadang Sudiana melihat persoalan terorisme melalui kacamata ketahanan nasional.

Dari seminar itu, setidaknya terungkap, bahwa memahami terorisme tidak bisa dengan cara pandang sempit dan tendensius. Seringkali jika berbicara terorisme selalu saja memojokkan kelompok tertentu, tanpa melihat faktor di balik layar yang bisa jadi lebih patut dipersalahkan. Oleh karena itu, di awal peresentasinya, Kang Faqih berusaha menjelaskan hakikat terorisme dengan mengajukan teori-teori yang populer di kalangan para pengamat. Menurutnya ada tiga teori untuk membaca aksi-aksi teror tersebut.

Pertama, aksi-aksi teror yang kerap dialamatkan pada Barat sebenarnya berakar pada ketidakadilan global yang selama ini dialami sebagian negara Islam. Barat, dalam hal ini Amerika Serikat, telah melakukan kejahatan demi keuntungan ekonomi politiknya dengan cara mengeruk sebanyak-banyaknya sumber daya negera-negera itu, seperti minyak dan lain-lain. Dengan berbagai strategi, bahkan sekalipun harus memprakarsa tumbangnya kekuasaan yang menentang kehendak AS. Karena itu, Nuruzzaman menimpali, aksi “teror” sebenarnya telah dilakukan lebih dulu oleh AS dan sekutunya. Untuk menguatkan asumsinya itu, Kang Zaman mengungkapkan beberapa fakta historis dimana AS terlibat dalam naik tumbangnya sebuah rezim di beberapa negara. Sebut saja Irak, Afganistan, Palestina, Kuba dan lainnya yang menyendat kepentingan-kepentingan “busuk” Amerika Serikat. Kenyataan ini lambat laun menyulut aksi teror yang berkelanjutan. Runtuhnya WTC sebagai pusat prekonomian Amerika pada 11 September 2001 membenarkan bahwa para korban AS sudah terlalu jengah akan kezaliman yang mereka rasakan, terutama penjajahan ekonomi yang membuat nadi kehidupan mereka nyaris terhenti.

Kedua, dugaan adanya konspirasi global di balik semua aksi terorisme. Dengan merujuk pada pengamat terorisme kenamaan, Thoriq Ali, Kang Faqih menegaskan bahwa aksi terorisme itu sebenarnya telah diciptakan oleh Barat sendiri. Alasannya, bisa jadi karena ingin membangkitkan fundamentalisme Kristen yang mulai redup. Dengan menyulut sumbu fundamentalisme Islam, tentu akan menimbulkan efek kontra dari pihak Kristen, yaitu lahirnya gerakan fundamentalisme tandingan. Kemungkinan selanjutnya adalah ambisi AS untuk meneguhkan dirinya sebagai polisi dunia. Melalui agen-agennya, AS merekayasa aksi-aksi teror di berbagai belahan dunia. Selanjutnya AS pula yang merasa paling berhak untuk menginfasi kambing hitam yang ia ciptakan sendiri. Karena dialah sang negara adi daya, adi kuasa ataupun super power. Ketiga, penafsiran agama yang tidak proporsional. Para pelaku teror tak jarang berdalih bahwa tindakannya dibenarkan ajaran agama (Islam). Dengan berpijak pada ayat-ayat jihad yang bernada ekstrem, mereka berkeyakinan memiliki justifikasi ajaran ([QS. 25: 52], [QS. 9: 73], [QS. 61: 11], dll). Merekapun berupaya merujuk pada fakta-fakta sejarah. Dimana Islam seringkali dijadikan dalil utama dalam melakukan tindak kekerasan (jihad).

Di bagian lain, Kang zaman menambahkan, bahwa selama ini terjadi sesat pikir yang membuat satu sama lain saling curiga. Yaitu adopsi berlebihan terhadap pemikiran Samuel Huntington tentang adanya benturan peradaban di abad globalisasi ini. Huntington mengatakan bahwa saat ini musuh utama globalisasi Amerika hanyalah Islam. Ironisnya, teori ini begitu diimani oleh mainstrem pemikiran dunia, baik Barat maupun Timur. Sehingga satu sama lain, sama-sama memandang yang lain (the other) sebagai rival. Conter wacanapun saling bersliweran. Setelah orientalisme, kemudian muncul oksidentalisme. Walaupun terkadang bertujuan positif, tapi pada dasarnya mereka masih diselimuti bias terhadap yang lain. Kondisi ini lambat laun memicu permusuhan dan perseteruan berkepanjangan.

Begitupun dengan penjelasan Komisaris Dadang Sudiana. Beberapa temuan-temuan di lapangan secara tidak langsung membenarkan dugaan bahwa aksi-aksi teror selama ini dilakoni aktor global. Dari jenis mesiu misalnya, ataupun modus-modus operandi yang digunakan. Oleh karena itu, menurutnya persoalan terorisme tidak bisa dipandang sederhana. Karena melibatkan tangan besar yang tersembunyi. Besar kemungkinan, negera Indonesia sekedar dijadikan boneka saja, yang dapat dibuat mainan kapan saja.

Tafsir Kontekstual Dalil-Dalil Jihad

Selanjutnya, Faqihuddin menyayangkan kenyataan bahwa sebagian pelaku teror acap kali menggunakan dalil-dalil agama. Padahal, pandangan yang picik serta mengabaikan subtansi ajaran dapat berakibat fatal, bahkan menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Ayat-ayat yang dijadikan dalil jihad oleh pelaku teror seyogyanya difahami secara konprehensif. Faqih menegaskan, bahwa Islam adalah agama cinta damai dan kasih sayang, rahmatan lil’alamin ([Al-An’am, 6: 154], [Al-Nahl, 16: 89], dll.). Dalam banyak ayat, prinsip ini berulang kali ditegaskan. Dengan ini tidak benar, jika Islam membenarkan tindakan membabibuta seperti bom bunuh diri. Jelas itu tidak manusiawi, yang menelan korban orang-orang tidak berdosa.
Mengenai ayat-ayat yang dijadikan dalil jihad itu, tidak bisa simplifikatif dalam menafsirinya. Perlu di sini, mempertimbang konteks historis dimana ayat itu hadir, serta melihat spirit yang dikandung oleh ayat tersebut. Tidak benar jika ayat-ayat itu ditujukan kepada golongan yang berbeda. Jika demikian, tidak hanya orang kafir yang harus diperangi tapi di dalam Islampun justeru terdapat firqah-firqah. Oleh karena itu justru akan menghancurkan diri sendiri. Dalil-dalil di atas lebih tepat digunakan sebagai sprit membela hak-hak kaum tertindas. Dan jihad yang dilakukan tidak harus dengan senjata dan berdarah-darah. Memperjuangkan hak pendidikan, kesehatan serta hak-hak lainnya melalui jalur sosial dan politik merupakan jihad yang lebih tepat untuk konteks zaman saat ini.

Selain itu, Faqihuddin mensinyalir bahwa membangun kekuatan sipil demi pemberdayaan umat merupakan agenda yang mendesak. Dengan ini pula, pesantren tidak hanya bertugas memudahkan operasionalisasi ajaran di tingkat praktis, tapi juga dapat berperan secara lebih signifikan. Pesantren adalah pranata sosial yang tidak bisa dianggap remeh. Di seluruh tanah air, pesantren memiliki basis cukup besar. Jika potensi ini dikelola secara profesional, tentu pesantren akan menjadi lokomotif perubahan sosial yang akan banyak membantu pada pembangunan bangsa ini. Apalagi pada ranah pembangunan ekonomi. Mengingat sebagian besar pesantren merupakan kantung dari basis-basis kaum miskin.

Ikhtitam

Baik Faqihuddin maupun Nuruzzaman sepakat perlu adanya upaya menyeluruh untuk menanggulangi bencana terorisme di kemudian hari. Penindasan serta ketidakadilan oleh yang kuat kepada yang lemah, sengaja maupun tidak sengaja harus dihentikan. Utama sekali memberangus penindasan terselebung dalam struktur kekuasaan. Baik kekuasan internasional, nasional maupun dalam skala yang lebih kecil. Tapi keduanyapun setuju, cara yang digunakan tidak boleh dengan kekerasan. Karena justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah. Dengan melakukan advokasi, baik pada wilayah sipil maupun pemerintahan, tentu perjuangan ini akan lebih efektif. Tanpa menyimpang dari prosedur-prosedur yang sah secara politik maupun hukum yang berlaku.

Alhasil, seminar sehari yang sempat dinilai “kesiangan” ini, tetap perlu dikembangkan. “Paling tidak sebagai suntikan wacana bagi para mahasiswa STAIMA yang usianya relatif muda” demikian ujar Badlawi M. Mura’i selaku pimpinan STAIMA.[thr]