Oleh: KH Husein Muhammad
Betapa bijaksana dan lembutnya Rasulullah Saw. Beliau tidak menyalahkan salah satu pikiran sahabat-sahabatnya, malahan memberikan penghargaan kepada keduanya atas usaha mencari kebenaran
Memahami teks atau kata-kata ternyata tidaklah mudah. Meski kata-kata atau ucapan itu sangat jelas. Itu jika hanya dengan membaca atau mendengar kata-kata nya saja. Situasi sebelum atau saat ia dikatakan menjadi sangat penting untuk diperhatikan agar bisa memahaminya dengan lebih baik. Kasus kebingungan memahami terjadi di kalangan sahabat Nabi saw. Salah satunya adalah dalam kasus Shalat ‘Ashar di Bani Quraizhah. Kasus ini sangat populer dan sering diceritakan para ahli hukum Islam. Ceritanya begini:
Usai perang Khandaq atau Ahzab, Nabi saw mengumpulkan para sahabatnya. Beliau ingin menyampaikan pengarahan kepada mereka apa yang harus dilakukan berikutnya. Kepada mereka beliau mengatakan:
لَا يُصَلِّيَنَّ اَحَدُكُمْ الْعَصْرَ اِلّا فِى بَنِى قُرَيْظَة
“Janganlah sekali-kali kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”.
Mereka sangat paham kata-kata Nabi itu, karena dinyatakan dengan bahasa yang jelas dan tegas : “jangan sekali-kali…kecuali”. Atau : “tidak seorangpun boleh shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”. Ini berarti bahwa shalat Ashar hanya boleh dilakukan di Bani Quraizhah. Dan itu berlaku bagi siapapun para sahabat Nabi yang ada di situ. Tidak ada seorang pun ketika itu yang bertanya. Andaikata Nabi bertanya kepada mereka : “Apakah kalian mengerti kata-kataku ini?”, niscaya mereka akan mengatakan serentak : “mengertiiii”. “Nah sekarang berangkatlah”, kira-kira begitu kata beliau.
Maka merekapun berangkat ke arah perkampungan yang disarankan Nabi itu. Tetapi di tengah perjalanan mereka melihat ke langit sambil bergumam sendiri : “Mega merah saga menjelang datang. Langit dihiasi warna kuning. Bila shalat Ashar di laksanakan di tempat yg diperintahkan Nabi tadi, mega merah saga pasti merebak, memenuhi langit. Ini berarti waktu shalat Ashar menjelang habis. Bila perjalanan dilanjutkan sampai ke Bani Quraizhah, waktu Ashar pasti habis dan masuk waktu shalat Maghrib.”
Mereka bingung, gaduh dan berdebat: “Kita harus shalat Ashar di mana? Di Bani Quraizhah atau di perjalanan?”, begitu pertanyaannya.
(Baca jug artikel terkait: Ayat Suci HadirUntuk Merespon Realitas)
Masing-masing lalu merenung: “Jika ikut perintah Nabi berarti harus di Bani Quraizhah. Tidak bisa tidak. Bukankah perintah Nabi wajib diikuti?. Tetapi akibatnya waktunya sudah habis, lewat, dan kita tidak boleh melaksanakannya di luar waktunya masing-masing. Bukankah al-Qur’an sudah menegaskan hal ini. Akan tetapi jika shalat Ashar dikerjakan di tengah perjalanan, akibatnya tidak menuruti perintah Nabi yang sangat jelas itu. Jadi kita akan mengikuti siapa? Allah atau Nabi?. Tapi bagaimana mungkin itu boleh terjadi?.
Lalu apa yang kemudian terjadi? Ada sahabat yang shalat di perjalanan, dan ada yang di kampung Bani Quraizhah, sesuai dengan pendekatan/pemahaman masing-masing.
Manakala kemudian bertemu Nabi, mereka menceritakan kejadian itu, sambil meminta pandangan beliau tentang siapa di antara dua kelompok itu yang benar. Nabi tersenyum, tidak marah dan tidak menyalahkan siapapun. “Kalian telah berpikir keras dan untuk itu semua kalian mendapat pahala”.
Aduhai. Betapa bijaksana dan lembutnya Rasulullah Saw. Beliau tidak menyalahkan salah satu pikiran sahabat-sahabatnya, malahan memberikan penghargaan kepada keduanya atas usaha mencari kebenaran
Para ahli hukum Islam mengomentari peristiwa ini. Mereka yang shalat di Bani Quraizhah adalah penganut Mazhab “Nashshiyyah” (tekstual/harfiah). Sementara yang salat di tengah perjalanan, adalah penganut madzhab “kontekstual”. Ada yang menyebutnya Mazhab “Maqashidiyah”. Wallahu A’lam.
(Baca artikel terkait: Debat Nasi Goreng: Santri Tekstual vs Kontekstual)