Persoalan muncul kemudian, setelah ada dua kategori kitab kuning. Kitab mu’tabarah (valid untuk diruju’) dan kitab ghairu mu’tabarah (tidak valid diruju’). Sebagian besar pesantren nahdhiyin menggunakan pakem keagamaan yang sama, yaitu nada keberagamaan dalam pakem kitab kuning yang mu’tabarah. Lalu pembacaan tafsir-tafsir ajaran agama dalam berbagai disiplinnya, yang tadinya menghargai berbagai pandangan yang berbeda, kemudian hanya menghargai dan akrab dengan ajaran-ajaran versi kitab mu’tabarah. Bila ada kyai atau pesanren yang keluar dari pakem ini, habislah sudah otoritasnya.
Selain itu juga, pembatasan rujukan hanya pada kitab-kitab mu’tabarah, sejatinya lebih cenderung sebagai upaya ideologisasi, dan tidak murni kerja-kerja ilmiah per se. Karena itu kecenderungan demikian sungguh layak dicurigai. Ada agenda politis apa sesungguhnya di balik itu semua?
Kecenderungan yang tidak kondusif bagi pengembangan keilmuan pesantren tersebut, diperparah oleh ‘penuhanan’ metode pembacaan dan kejian keagamaan. Yakni penuhanan pada metode ‘ambil comot teks’ alias tekstualis. Dan juga metode gampang percaya pada ‘konon kata ulama’ alias taqlid qaulan. Akibatnya kitab kuning dibaca dan didekati sebagai korpus tertutup, yang ahistoris, dan anti kritik. Pembacaan dan pemahaman yang dilakukan pun cenderung berulang-ulang (mutakarrirah). Masalah apa pun yang muncul, segera dicarikan jawabannya dari kitab mu’tabarah begitu saja, tanpa membandingkan perbedaan konteks zamkani-nya. Padahal kitab-kitab itu berisi pandangan ulama yang ditawarkan untuk mneyelesaikan persoalan pada zaman dan tempat yang jauh berbeda dengan konteks kekinian dan kedisinian.
Tawaran Pembacaan Produktif (Qira’ah Muntijah)
Penulis di sini menawarkan pembacaan terhadap kitab kuning sebagai sumber nilai keagamaan yang dianut masyarakat pesantren. Pembacaan dengan metodologi hermeneutik ini disebut juga –oleh Nashr Hamid Abu Zayd- sebagai pembacaan produktif (qira’ah muntijah) yang merupakan lawan dari pembacaan tidak produktif dan berulang-ulang (qira’ah mutakarrirah). Dengan qira’ah muntijah ini diharapkan dapat memberikan penafsiran-penafsiran dan berbagai kemungkinan baru yang bukan hanya kritis-evaluatif tetapi juga kritis-emansipatoris. Dengan qira’ah muntijah diharapkan penafsiran kegamaan bukan hanya dapat mengubah kata-kata (change of the word) tetapi juga dapat melakukan perubahan pada dunia realitas (change of the world)
Dalam membaca dan menganalisa teks, seperti kitab kuning, qira’ah muntijah mempunyai asumsi bahwa sesungguhnya teks telah selesai (al-nushush mutanahiyah), sedangkan realitas tidak pernah berhenti, bahkan terus berkembang (al-waqa’I gahiru mutanahiyah). Karena itu dalam membaca dan mencari makna serta siginfikansi (maghza) teks dengan realita kekinian, qira’ah muntijah mengenalkan beberapa istilah kunci, yakni the world of text, the world of author dan the world of audience.
Yang dimaksud dengan the world of text dalam konteks dunia pesantren adalah nilai-nilai ajaran keislaman klasik yang terdapat dalam kitab-kitab kuning (al-kutub al-mu’tabarah). Nilai-nilai luhur keislaman klasik inilah yang menjadi acuan dalam berfikir dan bertindak bagi masyarakat pesantren. Pesantren baik di Jawa, Madura atau bagian Indonesia lain rata-rata menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam kitab kuning. Kitab kuning sebagai teks, diajarkan, dan diwariskan kepada setiap generasi santri yang mesantren di pesantren-pesantren tersebut. Beratus-ratus, ribuan bahkan jutaan santri setiap tahunnya masuk dan keluar dari pesantren-pesantren itu hanya untuk mengaji kitab kuning. Kitab kuning menjadi semacam “teks sakral” yang menjadi trade mark bagi pesantren-pesantren, khususnya di Indonesia.
Meskipun demikian, the world of text tidak dapat berdiri sendiri dan terlepas dari realitas yang lain. Ia tidak dapat berdiri dan ada secara netral. The world of Text akan tampak seperti ruang yang kosong jika tidak dilihat dalam kerangka hitoris dan peradaban umat manusia yang lebih kongkrit. Oleh karena itu the world of text hanya dapat hidup, dimaknai, ditafsirkan, dibangun, dan ditafsirkan melalui the world of author (dunia pengarang, penafsir, penyusun konsep, perencana, pelaku atau aktor yang sesungguhnya berperan dalam masyarakat dan sejarah). Dalam konteks pesantren, the world of author tentu saja para penulis kitab, pensyarah, bahkan para kiai yang mencoba berijtihad sendiri dan hasil ijtihadnya disebar luaskan.
Jadi the world of text sesungguhnya dan selamanya tidak pernah terlepas dan selalu terjebak, serta terbelenggu oleh pemahaman dan konstruk berfikir dan konstruk pengetahuan para kiai yang menjadi penulis, pensyarah atau penafsir sebuah karya berupa kitab kuning. Makna yang dimunculkan dalam kitab kuning tidak mungkin terlepas dari kiai yang mengkajinya. Sedangkan pemahaman pengarang, pensyarah atau para penafsir kitab-kitab kuning itu sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh konteks zaman di mana ia hidup. Uraian, pemaknaan dan pemahaman pengarang era agraris akan berbeda jika dibandingkan dengan uraian pengarang era industri dan begitu pula akan berbeda dengan era globalisasi budaya dan agama dan begitu seterusnya. Uraian dalam tradisi ‘lisan” akan berbeda dari tradisi “tulisan”. Tradisi manuskrip akan berbeda pula dari tradisi mesin cetak, dan komputer serta internet.
Pada gilirannya, pemahaman dan penafsiran sang pengarang pada era tertentu dapat saja “membeku” dan berubah menjadi begitu hegemonik dan dominatif. Hal demikian dapat terjadi secara alami dan karena adanya kepentingan-kepentingan lain yang melekat kemudian. Proses membaku dan membekunya sebuah pemahaman adalah proses alami yang dialami setiap disiplin ilmu. Semua disiplin keilmuan tidak akan lepas dari “hukum budaya” ini, baik fiqih, hukum, sosial, budaya, politik tasawuf, kalam , filsafat, pendidikan, ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu humaniora, teologi, ilmu-ilmu agama dan begitu seterusnya.
Ketika telah terjadi pembakuan dan pembekuan, hegemoni, dominasi, dan bahkan ortodoksi, maka seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan pengalaman manusia itu sendiri, akan muncul dengan sendirinya pemahaman baru yang mempertanyakan “keabsahan” penafsiran dan pemahaman yang disusun, dibakukan dan dibekukan oleh generasi the world of author. Pertanyaan yang kritis akan muncul ke permukaan dengan sendirinya karena terjadi anomali (ketidaktepatan-ketidaktepatan), dan krisis relevansi yang melekat pada bentuk dan jenis pemikiran, pemahaman dan penafsiran terdahulu yang terlanjur dibakukan dan dibekukan oleh masyarakat. Hal tersebut terjadi secara wajar dan alami, tanpa harus direkayasa oleh siapa pun. Lebih-lebih setelah berkembangnya ilmu pengetahuan yang cukup spektakuler dalam berbagai bidang.
Yang perlu dicatat adalah bahwa pertanyaan kritis yang diajukan kepada the world of author tidak datang dari the world of text, tetapi datang dari kutub ketiga, yakni the world of audience (dunia pendengar, pengguna, umat dan masyarakat secara luas), dan seakligus juga dunia kritikus sosial-budaya dan kritikus sosial-keagamaan. The world of audience disamping punya akses dan dapat berdialog langsung dengan dunia pengarang (the world of author), ia juga punya akses langsung untuk dapat memahami dan menafsirkan the word of text secara mandiri. Jika saja mereka yang berkecimpung dan bergelut dalam the world of audience ini mempunyai kerangka berfikir, kerangka teori dan metodologi yang lebih valid dan dapat dipertanggungjawabkan, maka pada saatnya, pemikiran yang dilontarkan dan dipopulerkan oleh the world of audience, cepat atau lambat, akan dapat menggeser dominasi dan hegemoni pemikiran yang selama ini dimonopoli oleh the world of author. Pada saatnya kelak, the world of audience akan berpindah menjadi menjadi the world of author yang dapat memproduksi wacana keberagamaan sendiri.
Yang menarik adalah bahwa perpindahan posisi (shifting position) dari the world of audience menjadi the world of author dapat berlangsung setiap saat, tergantung pada persoalan dan krisis relevansi yang sedang dihadapi oleh umat beragama, dalam hal ini komunitas pesantren. Namun ada kalanya proses perpindahan itu berjalan begitu alot, bahkan juga membutuhkan waktu dan energi yang tidak sedikit.
Demikianlah dengan metode pembacaan qira’ah muntijah diharapkan nilai-nilai kitab kuning dapat berkembang. Karena dengan qira’ah muntijah yang berperan bukan hanya author yang sebelumnya telah diakui otoritasnya dalam memproduksi wacana keagamaan, tetapi juga audience, yang dapat berupa kiai muda atau santri atau bahkanpun masyarakat yang mampu meproduksi nila-nilai luhur keagamaan untuk kehidupan sehari-hari.
Wallahu A’lam bi al-shawab
Makalah ini dpresentasikan dalam diskusi kemisan, diskusi internal Fahmina institute Cirebon, 10 Agustus 2006