Hujan deras mengguyur kota santri kala itu. Sambil meneduh saya menyempatkan untuk bercengkrama dengan warga sekitar. Salah satunya Ijank, dia santri kalong (warga sekitar yang ikut mengaji dipesantren) yang dengan hangat saya diajak berkeliling kompleks pesantren Buntet yang menyisakan kenangan tujuh tahun silam menyicipi ilmu di sina. Setiap kali saya ke Haul Buntet tak lupa menginap di rumahnya yang tidak jauh dari areal pesantren.
Seiring waktu, tradisi yang dijalankan tetap terjaga salah satunya ziarah makam. Kami biasa menyebut tempat itu Makbaroh. Ia mgatakan, ” inti dari haul ya ziarah ke makam sesepuh” ungkapnya. Maka tak heran meski hujan mengguyur tak menyurutkan dia untuk ikut berziarah di komplek Makam Gajah Ngambung yang berlangsung dengan khidmat. Ia bersama kerabat lainnya sengaja menyempatkan waktu untuk pulang ke Buntet dari perantauannya karena momen inilah dia bisa merasakan lebaran ketiganya setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Perbincangan itu sekira 5 April 2015 silam.
Haul pun menjadi ajang silaturrahim Kiyai, Nyai, para guru, warga, santri dan alumni. Tumpah ruah elegi kemeriahannya nenyirat akan makna ta’dzim kecerdasan spiritual. Berbagi kisah pendorong motivasi, menyingkap pribadi-pribadi saleh tuk menimba ilmumya.
Sabtu malam, menjadi puncak perhelatan haul. Area lapang di depan Masjid Agung Buntet disulap menjdi gelanggang muhasabah.
Malam itu saya menyimak mauidzoh hasanah yang cukup menyentuh dan menarik hati saya. Beberapa petikan pelajaran itu di antaranya, tausiah yang disampaikan oleh KH Muhammad Ridwan Sururi Pengasuh Pesantren An Nur dari Purwokerto Jawa Tengah , beliau mengaku mengaji kepada Almaghfullah Kiyai Akyas. Beliau teringat dengan pesan Kyai Akyas kala mengajarinya. Dalam pesan itu ia menganalogikan bahwa kita sebagai umat Islam janganlah menjadi Kumbang yang dengan kekuasaan yang dimilikinya, sang kumbang dengan kekuasaannya seenaknya mengkroposi pohon-pohon smapai ia mati dan tumbang.
Sebaliknya ia menambahkan, jadilah Lebah yang memiliki kemapuan kedisiplinan, ulet dan guyub walau masing-masing memiliki senjata penyengat namun mereka tidak saling menyakiti satu sama lain. Sebaliknya kecerdasannya untuk memilah mana bunga yang menghasilkan madu yang juga bermanfaat bagi kesehatan. Namun sang Lebah tidak tertipu dengan bunga plastik walau menunjukkan keindahannya tak mereka lirik.
Beliau juga mengingatkan dalam kondisi seperti saat ini kita jangan mau diadu domba oleh “mereka” pihak yang tidak mau bertanggung jawab dan harus menjaga identitas budaya kita. “Arus globalisasi harus dibendung dengan penguatan keislaman yg dibarengi dengan kesadaran akan merawat kearifan lokal yg luhur,” Tegas kiyai yang khas dengan iket kainnya itu.
Sementara KH Said Aqil Siraj pada sambutannya mengingatkan bahwa agaman Islam yang berkembang di Indonesia sangat dihormati dunia Internasional karena mampu menjadi dinamisator keharmonisan umat beragama. Oleh karenanya kita harus berjihad melawan oknum penyebab pengkroposan keharmonisan itu. Tidak gampang di adu domba. Seraya mampu menjadi pelopor perdamaian dengan memperkuat benteng keimanan serta menghargai sesama.
Keesokan harinya saya pamit kepada Kiyai KH Tb. Ahmad Rifki Chowwas, pengasuh Pondok Darussalam Buntet. Sebelumnya beliau memberikan pesan kepada santri lain yang ikut pamit untuk meningkatkan keilmuan dan tetap menjaga adab yang mulia meski sudah tak lagi nyantri. “Yang terpenting setelah keilmuan adalah adab yang harus ditingkatkan,” seru sang kiyai. Karena menurut beliau, orang semakin berilmu maka semakin beadab. Karna Nabi sendiri penyeru sekaligus contoh sempurnyany budi pekerti yang baik. Semoga Haul Buntet mendatang berjalan dengan lancar dan penuh makna. Tepatnya hari Sabtu, 15 April 2017. Salam Takzim.
Penulis adalah Alumnus Pondok Darussalam Buntet Pesantren Cirebon.