Oleh: Marzuki Rais
Belakangan ini istilah Moderasi Beragama (MB) makin akrab di telinga kita. Terutama setelah Kementerian Agama (Kemenag) me-launching dan terus menggemakan MB, melalui pelatihan dan sosialisasi di kalangan ASN Kemenag dan masyarakat umum. Menurut Ketua Pokja MB, Oman Fathurahman, cikal bakal MB ini mulai digaungkan sejak tahun 2016 oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin (LHS) yang menjabat tahun 2014-2019. Pada akhir jabatannya di Oktober 2019, LHS juga meluncurkan buku MB yang menjelaskan tentang ruang lingkup MB. Buku ini kemudian disebarluaskan kepada masyarakat, agar memahami apa dan bagaimana konsep MB yang digulirkan oleh Pemerintah dalam hal ini Kemenag RI.
Lalu kenapa MB ini menjadi begitu penting bagi bangsa Indonesia. Sehingga Presiden mengeluarkan Perpres No. 20 Tahun 2018 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024, yang mengamanahkan kepada Kementerian Agama sebagai leading sector implementasi program Penguatan Moderasi Beragama. Perpres ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kemenag dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 18 tahun 2020 yang memasukan MB dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemenag 2020-2024. Sehingga MB ini masuk dan menjadi ruh dalam semua program yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama.
Sebagaimana disebutkan dalam buku Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh Kementerian Agama, setidaknya ada tiga alasan utama mengapa MB ini penting; Pertama, salah satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk menjaga untuk tidak menghilangkan nyawanya. MB menjadi cara mengembalikan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, dan agar agama benar-benar berfungsi menjaga harkat dan martabat manusia. Kedua, munculnya fanatisme dalam menafsirkan teks agama yang sesuai dengan kepentingan politiknya yang berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Ketiga, strategi kebudayaan dalam merawat keindonesiaan sebagai jati diri bangsa Indonesia yang agamis, santun, toleran dan mampu berdialog dengan keragaman.
Sementara dalam buku Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama Tahun 2020-2024, disebutkan tiga tantangan yang melatarbelakangi pentingnya Moderasi Beragama. Pertama, berkembangnya cara pandang, sikap dan praktik beragama yang berlebihan (ekstrem), yang mengesampingkan martabat kemanusiaan. Kedua, berkembangnya klaim kebenaran subyektif dan pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta pengaruh kepentingan ekonomi, dan politik yang berpotensi memicu konflik. Ketiga, berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI.
Dari dua buku tersebut, MB diposisikan sebagai konsep dan strategi yang ditawarkan Kemenag dalam mencegah dan menyelesaikan beberapa persoalan kebangsaan dan keagamaan yang muncul dan berkembang belakangan ini. Lalu bagaimana konsep Moderasi Beragama itu sendiri? Kementerian Agama mengartikan Moderasi Beragama sebagai “cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum – berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa”.
Disamping Kementerian Agama, pada dasarnya banyak para pemikir/tokoh Islam, yang juga memunculkan konsep MB ini, baik dengan istilah yang sama maupun berbeda dengan apa yang dimunculkan Kemenag. Hal ini didasari atas keprihatinan terkait perkembangan kehidupan keagamaan dan kebangsaan di Indonesia yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, MB dimunculkan sebagai bagian dari tawaran solusi atas persoalan tersebut.
Sebagaimana kita ketahui, sejak reformasi digulirkan tahun 1998, kebebasan menjadi hal utama dimana sebelumnya selama 32 tahun menjadi barang mahal. Gamang dengan kondisi yang tak terduga ini, banyak pihak yang salah dalam memahami reformasi. Sehingga reformasi dianggap sebagai kondisi dimana orang bisa sebebasnya melakukan apapun yang diinginkan. Yang muncul kemudian, banyak pihak yang memaksakan kehendak, tanpa memperhatikan hak dan kebebasan orang lain. Bahkan atas nama kebenaran agama yang ditafsirkan secara sepihak, sekelompok orang memaksa orang lain untuk mengikutinya.
Sehingga yang muncul adalah konflik baik atas nama agama, suku, paham keagamaan, dan lain sebagainya. Bahkan lebih jauh kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk berusaha menggantikan tatanan yang ada dengan tatanan yang menurut mereka berasal dari Tuhan. Sehingga dengan segala cara dilakukan, bahkan dengan kekerasan sekalipun. Sehingga yang kita lihat adalah aksi terorisme terjadi dimana-mana. Bahkan dalam perkembangannya mereka melakukan aksi bom bunuh diri, karena menganggap aksinya sebagai jihad dan kematiannya dianggap sebagai sahid dimana surga sebagai balasannya.
Banyak analisa yang dilakukan para peneliti maupun akademisi yang mengatakan bahwa agama banyak digunakan kelompok tertentu untuk melegitimasi tindakan anarkis, mengintimidasi kelompok lain, dan memaksakan kehendaknya. Seolah apa yang dilakukannya merupakan ajaran agama dan perintah Tuhan. Meskipun dengan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan mengorbankan nyawa. Padahal sejatinya, tidak satupun agama yang mengajarkan dan membolehkan membunuh manusia. Dalam Islam sendiri, terdapat ajaran dimana membunuh satu nyawa sama dengan membunuh semua manusia. Ini menunjukkan bahwa Islam melarang pembunuhan terhadap manusia. Justru yang diperintahkan adalah bagaimana agar kita, menjaga kehidupan ini dan berelasi baik dengan sesama manusia, tanpa melihat perbedaan suku, bahasa, agama dan keyakinannya.
Atas dasar kemuliaan ajaran agama serta didorong rasa kemanusiaan dan menjaga nilai-nilai luhur yang diajarkan para pendiri bangsa, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan falsafah negara, pemerintah terus berupaya melakukan pembinaan dan pendampingan kepada masyarakatnya. Beragam upaya terus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menyelaraskan kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang kesetaraan warga negara di depan hukum, dan lain sebagainya.
Bahkan pemerintah juga terus berupaya membendung paham ekstremis yang kecenderungannya semakin meningkat. Baik melalui pembentukan badan khusus yang menangani masalah terorisme, maupun program lain dalam upaya pencegahan terorisme, seperti UU No. 15 tahun 2003 yang direvisi menjadi UU No. 5 tahun 2018 tentang pencegahan dan penanggulangan terorisme. Termasuk pemerintah juga membentuk kesatuan khusus yang menindak pelaku terorisme yang dinamakan dengan Densus 88. Untuk mengintegrasikan antar lembaga dan kementerian, termasuk Kemenag, dalam penanggulangan terorisme pemerintah juga mengeluarkan Perpres No. 7 tahun 2021 tentang RAN PE dibawah koordinasi BNPT.
Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah tersebut, secara kasat mata terlihat belum mampu meredam ekstremisme kekerasan maupun intoleransi dan radikalisme. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang beragama, MB menjadi salah satu tawaran solusi yang diupayakan oleh Kemenag dalam menjaga NKRI terutama dari rongrongan kelompok maupun perorangan yang memposisikan agama sebagai landasan teologis dalam menentang negara maupun tindakan intoleransi dan mengingkari keragaman.