Konflik air antara PDAM kota Cirebon dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan terus meruncing. Pemerintah Kuningan bersikukuh agar PDAM kota Cirebon membayar kompensasi penggunaan air sesuai dengan kesepakatan yang diteken th. 2004. PDAM dan Pemkot Cirebon keberatan, karena dasar hukumnya tidak ada. BPKP bahkan menyatakan MoU itu menyalahi aturan [red Tempo].
Konflik air antara PDAM kota Cirebon dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan terus meruncing. Pemerintah Kuningan bersikukuh agar PDAM kota Cirebon membayar kompensasi penggunaan air sesuai dengan kesepakatan yang diteken th. 2004. PDAM dan Pemkot Cirebon keberatan, karena dasar hukumnya tidak ada. BPKP bahkan menyatakan MoU itu menyalahi aturan [red Tempo].
Akibatnya November 2008 lalu Pemerintah Kabupaten Kuningan mematikan air dan mengunci pipa sehingga air tidak mengalir ke Kota Cirebon. Kondisi ini berlangsung hingga seminggu. PDAM Kota Cirebon akhirnya sepakat akan membayar kompensasi air sebesar Rp 1,7 miliar dengan dua kali pembayaran. Pembayaran tahap pertama sebesar Rp 700 juta dilakukan November 2008 lalu dan pembayaran kedua Rp 1 miliar akan dilakukan April mendatang”.[red Tempo] Air pun mengalir lagi ke kota Cirebon
Namun sejak 19/12/2008 debit air secara sepihak kembali dikecilkan oleh Kuningan. Alasannya karena debit air yang mengalir ke Kota Cirebon melebihi kesepakatan. Akibatnya sejak 19/12/2008 air pun tidak lagi mengalir ke rumah-rumah masyarakat. Kondisi itu menyebabkan sejumlah karyawan melayangkan mosi tidak percaya ke Dirut PDAM dan Walikota Subardi. Mereka mempertanyakan kinerja Direktur Utama PDAM [red Tempo].
Apapun masalahnya, yang dirasakan masyarakat kota Cirebon adalah jelas sekali, krisis air bersih. Masyarakat merasa kecewa dengan berlarut-larutnya persoalan PDAM [red MD 5 Januari 09]. Sebenarnya masyarakat dengan sadar membayar setoran setiap bulannya, agar kebutuhan airnya bisa terpenuhi.
Lebih Dari Sekedar Beban Ganda
Sampai sekarang ini, kerja-kerja rumah tangga, sepertinya hanya menjadi tanggung jawab perempuan, ibu rumah tangga. Bila rumah berantakan, dapur kotor dan jorok maka pertama kali yang disalahkan adalah perempuan, ibu rumah tangga atau pembantu (baca: pekerja) rumah tangga (PRT). Bila ada laki-laki yang sering melakukan kerja-kerja rumah tangga, oleh sebagian masyarakat kita bahkan dijuluki ’cupar’, alias mengerjakan pekerjaan yang bukan layaknya. Dengan anggapan budaya yang demikian, nampaknya setiap perempuan dituntut untuk pandai dan cekatan melakukan kerja-kerja rumah tangga, hanya karena ia perempuan. Masih banyak kita dengar keluhan di masyarakat bila seorang perempuan diketahui ternyata tidak pandai memasak, seperti: ”Kamu ini bagaimana, masa perempuan kok tidak bisa memasak”.
Parahnya, kerja-kerja rumah tangga yang sebagian besar dilakukan perempuan, terkadang tidak mendapatkan penghargaan yang layak. Bahkan cenderung dianggap remeh adanya. Bila sang suami seharian pergi ke luar rumah, dianggap sebagai bekerja (produktif), sementara perempuan melakukan kerja-kerja rumah tangga di dalam rumah, dianggap tidak sebagai bekerja (tidak produktif). Padahal apa yang dilakukan laki-laki dengan bekerja di luar rumah dan perempuan dengan bekerja di dalam rumah, mestinya dianggap sama-sama berpartsipasi besar bagi langgengnya kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Bahkan bila seorang perempuan aktif bekerja di luar rumah, pekerjaan rumah tangga tetap menjadi semacam ’kewajibannya’ semata. Dalam hal ini perempuan lalu tertimpa apa yang disebut dengan ’beban ganda’. Beban pekerjaan di luar rumah dan di dalam rumah.
Pemerintah Kota Harus Ramah Perempuan
Penghasilan Asli Daerah (PAD) kota Cirebon banyak mendapatkan masukan dari sektor kesehatan. Dan ternyata dari data-data rumah sakit yang ada, penghasilan mereka banyak dari pasien perempuan, khususnya perempuan hamil dan melahirkan. Jadi ibu-ibu inilah penyumbang terbesar PAD kota Cirebon ini. Demikian dikatakan Nurdin M Noor, wartawan senior Cirebon, dalam kesempatan peluncuran buku yang diselenggarakan Fahmina 26/12/2008 lalu.
Sebagai penyumbang PAD terbesar, seharusnya ibu-ibu dan kaum perempuan pada umumnya mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah. Pemerintah dengan segala wewenang, kekuasaan dan kebijakannya mestinya bertindak sebanyak-banyaknya untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat, yang kebanyakan adalah perempuan. Bukannya pemerintah bertindak sebaliknya, menyengsarakan dan mempersusah hidup rakyat, dengan melakukan salah urus dalam pengelolaan air bersih.
*Penulis adalah alumni STAIN dan aktifis PMII Cirebon