Meski sudah hampir seminggu, suasana KUPI masih terngiang-ngiang dalam ingatan, masih tampak jelas di pelupuk mata, masih sering terbawa mimpi indah. Kesibukan itu seolah masih melekat dalam keseharianku. Oh, KUPI… Sungguh ngangeni. Rindu selalu dengan suasana KUPI. Meski sangat melelahkan karena urus sana-sini, tetapi semuanya hilang dan berganti bahagia yang membuncah saat kesuksesan besar itu tiba. Bangga bisa terlibat dan manjadi bagian dari sejarah besar pergerakan perempuan Indonesia, bahkan perempuan dunia, di saat ulama perempuan se Nusantara berkumpul untuk merumuskan ‘fatwa’ keagamaan dalam perjumpaan nasional KUPI.
Kongres itu baru saja digelar. Tepatnya pada 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon, pimpinan Nyai Hj. Masriyah Amva—seorang ulama perempuan penulis, penyair, dan spiritualis. Tidak ada satu catatan sejarah bahwa ulama perempuan pernah melakukan kongres sebelumnya, baik di Indonesia maupun dunia. Bahkan penyebutan istilah “ulama perempuan” sendiri masih debatable. Meski tidak menyebut “kongres pertama,” tetapi dengan catatan sejarah tersebut, KUPI yang digelar kemarin dapat disebut sebagai kongres pertama ulama perempuan, baik di Indonesia maupun dunia. Namun karena diikuti oleh mayoritas ulama perempuan Indonesia, maka KUPI—sesuai dengan namanya—lebih tepat disebut sebagai kongres pertama ulama perempuan Indonesia.
Ada banyak hal yang menarik untuk dicatat dari perjumpaan KUPI Cirebon kemarin. KUPI telah melahirkan dan menyepakati “Ikrar Keulamaan Perempuan” atau Ikrar Pesantren Jambu Cirebon. Ikrar ini meski singkat dan pendek, tetapi secara substansi mirip dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Filosofis dan fundamental. Di antara kutipannya, “Perempuan adalah manusia yang memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana laki-laki melalui akal budi dan jiwa raga. Semua ini adalah anugerah Allah Swt yang diberikan kepada setiap manusia yang tidak boleh dikurangi oleh siapapun atas nama apapun.” “Ulama perempuan bersama ulama laki-laki adalah pewaris Nabi Saw yang membawa misi tauhid, membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, memanusiakan semua manusia, dan menyempurnakan akhlak mulia demi mewujudkan kerahmatan semesta.” (Teks Ikrar telah dishare pada status fb ini sebelumnya).
Yang tak kalah menariknya adalah isi perbincangan atau isu yang diangkat dalam agenda utama KUPI, yakni pernikahan anak, kekerasan seksual, dan perusakan alam. Tidak saja pada pilihan isunya, tetapi yang lebih menarik lagi adalah hasil musyawarah keagamaan yang dikeluarkan ulama perempuan Indonesia. Ulama perempuan menetapkan bahwa mencegah pernikahan anak hukumnya wajib karena madlarat besar yang ditimbulkannya. KUPI merekomendasikan untuk meningkatkan usia minimal menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun bagi perempuan dalam UU Perkawinan.
Ulama perempuan juga menetapkan bahwa kekerasan seksual dalam segala bentuknya, baik di luar maupun di dalam perkawinan, hukumnya haram. Ulama perempuan juga memandang bahwa perzinahan dan pemerkosaan adalah dua pidana (jarimah) (yang berbeda, baik dari sisi definisi, unsur-unsur, maupun sanksi pidana dan pembuktiannya. Pemerkosaan memiliki sanksi yang lebih berat dari perzinahan, karena ada tindak pidana pemaksaan (ikrah) yang dilakukan pemerkosa–yang pada umumnya–dengan memanfaatkan relasi kuasa. Dalam pemerkosaan, yang berdosa dan wajib dihukum adalah pemerkosa, sementara pihak yang diperkosa tidak berdosa dan tidak terkena sanksi apapun, malah wajib memperoleh perlindungan dan pemulihan. Ini ketentuan yang sangat baru, karena dalam banyak kitab fiqh tidak pernah dijelaskan perbedaan antara perzinahan dan pemerkosaan. Malah banyak pandangan fikih menyamakan perzinahan dengan pemerkosaan.
Tidak hanya isu perempuan, KUPI juga membahas isu kemanusiaan dan perusakan alam. Dalam keputusan musyawarah keagamaan ulama perempuan, hukum perusakan alam adalah haram mutlak, meskipun atas nama pembangunan. Pembangunan tidak boleh merusak alam (air, udara, tanah, flora, fauna, dan keseimbangan ekosistem). Apabila ada kerusakan akibat pembangunan, maka negara berkewajiban untuk memulihkannya (ishlahiha).
Dalam keputusannya, negara wajib menghukum seberat-beratnya pihak-pihak yang merusak alam, utamanya korporasi, pengusaha besar, dan mereka yang merusak dengan menggunakan kekuasaan politik. Bagi saya, ini suatu keputusan yang sangat berani dan berbeda dengan pada umumnya fatwa keagamaan.
Dalam sejarah Indonesia, baru sekarang ini di dalam kongres ini ulama perempuan Indonesia berani mengeluarkan hasil musyawarah keagamaan (setingkat fatwa) dan rekomendasi (tazkiyah). Bukan sekadar keputusan, tetapi keputusan ini sangat progresif, berani, kritis, dan sangat tajam. Tentu ini suatu prestasi dan capaian (milestone) yang gemilang dari gerakan perempuan Indonesia.
Selain isu dan hasil musyawarah keagamaan yang menghentakkan kesadaran keagamaan kita, yang menarik lagi untuk dicatat adalah partisipan kongres. Kongres ini menurut catatan panitia diikuti oleh lebih dari 700 orang baik sebagai peserta maupun pengamat. 700 orang ini adalah hasil seleksi dari 1400-an orang yang mendaftar, baik secara online maupun offline. 700 orang ini berasal dari ragam latar belakang provinsi, budaya, etnik, bahasa, dan aliran keagamaan. Bahkan, sebagian peserta berasal dari 15 negara dari Asia, Afrika, dan Amerika.
700 orang ini juga berasal dari tradisi keilmuan dan gerakan sosial yang berbeda. Di antara mereka, ada yang berasal dari pondok pesantren dan majlis ta’lim, ada yang berasal dari perguruan tinggi Islam, LSM Perempuan, Ormas keislaman, dan bahkan individu-individu yang memiliki konsen kesetaraan dan keadilan gender.
Walhasil, KUPI Cirebon ini adalah pertemuan besar para ulama, aktivis, akademisi, dan peneliti dari ragam negara dan daerah, ragam etnik, ragam gender, dan ragam aliran keagamaan, yang menyatu ke dalam kesatuan isu kesetaraan dan keadilan gender. Lagi-lagi, momentum seperti ini langka terjadi. Mungkin peristiwa ini kali pertama terjadi dalam sejarah Indonesia. Mereka tidak mempersoalkan perbedaan yang melekat dalam identitas masing-masing, melainkan fokus membahas sejumlah isu yang menjadi konsen gerakan perempuan Indonesia selama ini.
Bagi saya, KUPI bukan hanya event. KUPI adalah akumulasi dari proses panjang gerakan sosial keagamaan sejumlah organisasi yang memprakarsai kongres ini. Oleh karena itu, membaca KUPI tidak bisa hanya memotret momentum saat itu saja, melainkan harus dikaitkan dengan proses panjang sebelumnya yang telah dilakukan oleh tiga organisasi yang memelopori penyelenggaraan KUPI, yakni Fahmina, Rahima, dan Alimat. Lebih dari itu, membaca KUPI harus juga membaca aktivitas dan gerakan para partisipan yang terlibat di dalamnya. KUPI adalah melting pot (titik temu-red) dari irisan banyak gerakan perempuan Indonesia sepanjang sejarah Indonesia.
Momentum sejarah yang langka dan penting ini sayang apabila tidak didokumentasikan dalam bentuk narasi ilmiah yang menjelaskan dan memposisikan KUPI sebagai gerakan baru perempuan Indonesia. Saya ingin menulis KUPI dan memposisikannya sebagai gerakan baru perempuan Indonesia, sekaligus bagaimana tantangan dan prospek keberlanjutan gerakannya di masa mendatang. Masihkah akan terbit mentari KUPI jilid kedua esok hari?
Setelah KUPI selesai, 700an partisipan terpilih dari seluruh Indonesia itu, setelah mereka kembali ke habitatnya, lalu ngapain? Agenda ini sangat penting dirumuskan, sehingga api semangat KUPI tetap menyala menerangi kegelapan dan menjadi bunga yang harum semerbak dalam taman keragaman komunitas terdekat mereka. Ulama Perempuan harus meneguhkan diri menjadi cahaya dalam setiap relung peradaban rakyat di mana ia berpijak.