Di tengah derasnya globalisasi dan kemudahan akses informasi, banyak remaja terlibat masalah serius seperti penyalahgunaan narkotik, seks bebas, ikut geng motor, dan sebagainya. Pesantren pun dilirik orangtua sebagai institusi pendidikan yang dapat memberi tempat belajar aman di tengah masalah-masalah itu. Ada ungkapan, pesantren adalah bengkel moral yang bisa melindungi generasi muda.
Di sisi lain, pesantren juga memiliki peran amat besar dalam membangun kehidupan masyarakat khususnya dalam bidang keagamaan. Bahkan dalam bidang kehidupan lainnya pun pesantren dengan kyai sebagai figur sentral juga telah memberikan sumbangsihnya. Dari persoalan yang bersifat pribadi sampai yang berkaitan dengan kehidupan untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsa ini.
Meski demikian, ada beberapa hal-hal baru yang mengalami hambatan dan proses panjang di pesantren, misalnya isu kesehatan reproduksi.
Di tengah asumsi besar bahwa pesantren adalah tempat paling aman bagi generasi muda, sering kali terlewatkan bahwa komponen utama sebuah pesantren adalah santri.
Santri di pesantren rata-rata berumur 13-25 tahun, yang kemudian disebut sebagai masa remaja. Dalam perkembangannya kebanyakan santri akan mengalami masa pubertas ketika tinggal di pesantren. Mereka akan mengalami menstruasi, keputihan, perubahan fisik dan mimpi basah untuk pertama kalinya.
Mereka juga akan merasakan masalah sosial yang menyertai pubertas, seperti jatuh cinta untuk pertama kali, pengelolaan dorongan seksual dan bahkan gencetan (bullying). Mengingat mereka tinggal jauh dari orangtua (hanya pulang tiga kali setahun), pada masa ini pemberian informasi dan konseling seputar kesehatan reproduksi amat mereka butuhkan.
Masalah yang dialami para santri dalam masa-masa pubertas tidak berbeda dengan remaja yang berada di luar. Santri juga membutuhkan informasi yang benar terkait kesehatan reproduksi mengingat di pesantren masih banyak mitos-mitos yang menyebabkan pemberian informasi terkait kesehatan reproduksi dianggap tabu.
Dalam banyak kitab fikih yang dikaji di pesantren sudah banyak dibahas tentang permasalahan-permasalahan kesehatan reproduksi, sebut saja kitab “Risalatul Mahid”, yang menjelaskan gamblang tentang menstruasi, apa saja yang tidak diperbolehkan ketika sedang mendapatkan menstruasi, menghitung masa suci dan lain-lain.
Namun sayangnya pemberian pelajaran ini tidak dibarengi dengan pemberian informasi yang lengkap dan benar. Sebagian besar guru pesantren adalah laki-laki sehingga para santri putri kerap merasa malu bertanya dengan detail.
Kita berharap pesantren dapat memenuhi hak santri dengan memberikan informasi yang lengkap dan benar tentang kesehatan reproduksi, juga pelayanan kesehatan dan konseling. Sehingga kelak masalah kesehatan reproduksi bisa dipahami oleh para santri.
Bagaimanapun, para santri mempunyai tantangan yang sama dengan para remaja di luar pesantren.
sumber berita:http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/memenuhi-hak-kesehatan-reproduksi-para-santri-085623884.html
sumber gambar: http://www.docstoc.com/docs/79837838/Tanasul-Ed-02—Mitos-vs-Fakta