Melalui media sosial dengan beragam pilihan, kita menyaksikan tiap hari, perdebatan, pertentangan, perbedaan pandangan keagamaan atas suatu masalah. Mereka menjawab dan berargumen dengan merujuk pada sumber hukum yang sama, alquran dan Hadits Nabi. Tetapi dengan pendekatan atau cara yang berbeda.
Perdebatan di sekitar pemahaman atau pemaknaan atas suatu teks atau suatu obyek sesungguhnya merupakan perdebatan yang sangat klasik. Ia muncul sejak manusia mulai berfikir dan berkebudayaan. Ia berlangsung bukan hanya dalam masyarakat muslim, tetapi juga di dalam semua penganut semua agama.
Dalam masyarakat muslim, perdebatan itu telah melahirkan aliran-aliran pemikiran keagamaan bahkan ideologi-ideologi, dalam berbagai dimensinya (hukum, teologi dan spiritual/tasawuf). Pada dimensi fiqh, dikenal dua aliran besar, ahl al-hadîts dan ahl al-ra’y. Aliran pertama (ahli al-hadits) mendasarkan kebenaran pada kwalitas sumber berita dan memahami teks berdasarkan makna harfiahnya (tekstualis). Jika sumber itu valid, sahih, maka makna harfiah teks itu adalah kebenaran. Sementara yang kedua (ahlurra’yi) kebenaran dilihat pada aspek rasionalitasnya. Banyak orang menyebut yang pertama sebagai aliran tradisionalis-tekstualis, dan yang kedua, aliran rasionalis-progresif.
Terhadap fenomena itu, ada pertanyaan-pertanyaan yang selalu disampaikan orang: Apakah teks harus diterima menurut arti lahiriahnya/ harfiahnya atau tidak harus. Ia bisa dan kadang harus diinterpretasikan/ditafsirkan/
di-takwîl ?. Ulama berbeda pendapat mengenai ini.
Lalu ada pertanyaan juga :
هل الاحكام معللة بعلة ام لا
Apakah hukum-hukum yang terdapat dalam teks bisa ditanyakan “mengapa?.
Jawaban atasnya juga berbeda-beda. Pandangan pertama menyatakan tidak bisa dan tidak karena apa-apa. Keputusan Tuhan dan Nabi sebagaimana dalam bunyi tekstualnya tidak bisa dan tidak perlu ditanyakan “mengapa” atau karena apa?. Keputusan-Nya dan Nabi pasti benar dan baik. Para penganut pandangan ini mengatakan :
لا يسأل عما يفعل وهم يسألون
.
“Tuhan tidak ditanya mengapa dia melakukan ini atau itu. Manusialah yang akan ditanya”.
Mayoritas besar ahli hukum Islam menyatakan : bisa dan perlu. Imam al-Amidi bermazhab Syafi’I bahkan dengan tegas mengatakan :
“لا يجوز القول بوجود حكم لا لعلة اذ هو خلاف اجماع الفقهاء على ان الحكم لا يخلو من علة”.
“Tidak boleh kita mengatakan bahwa ada ketentuan Tuhan tanpa ada alasan rasional. Ini bertentangan dengan consensus ulama yang menyatakan bahwa keputusan Tuhan tidak lepas dari alasan rasional”.
Bahkan menurut mereka rasio legis lah yang menentukan berlaku atau tidak berlakunya hukum yang disebutkan dalam teks tersebut. Kaedahnya :
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
Hukum itu tergantung pada ada atau tidak adanya illat (logika teks).
Banyak sekali ayat al-Qur’an yang memuat alasan atas suatu keputusan, dengan redaksi yang beragam.
Pertanyaan lain :
Apakah akal selalu sesuai dengan Wahyu atau bisa bertentangan dengan wahyu? Bagaimana jika bunyi teks /wahyu atau hadits Nabi berlawanan dengan logika-rasional atau dengan realitas empiris, manakah yang harus diprioritaskan? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu saja dijawab dengan pandangan yang beragam dengan argumentasinya masing-masing.
Lalu apakah yang mendasari pandangan masing-masing yang berbeda-beda itu?. Pengetahuan, pengalaman hidup, lingkungan yang berbeda atau ideologi?.
Pertanyaan terakhir. Apakah perbedaan pandangan tersebut harus disatukan?. Atau dibiarkan berbeda asal tidak saling bermusuhan dan membenci.