Pemilihan Kepala Daerah Langsung merupakan mekanisme politik yang secara langsung melibatkan masyarakat. Berbeda sebelumnya, dimana pemimpin daerah hanya bisa diputuskan dan dipilih oleh legislatif. Pilkada membuka peluang selebarnya bagi siapapun menentukan pemimpinnya. Dalam konteks Pilkada, masyarakat tidak lagi sekedar obyek politik, melainkan subyek.
Namun kesempatan itu, ternyata tidak sepenuhnya di ambil. Dalam catatan pelaksanaan Pilkada dibeberapa daerah, partisipasi pemilih dalam menyalurkan hal politiknya tidak lebih dari kisaran 80%, bahkan di beberapa daerah termasuk Pilgub DKI Jakarta prosentasenya lebih kecil hanya 70%. Sedangkan jumlah pemilih mangkir relatif besar, rata-rata 20-30% dari total pemilih. Tidak siginifikannya partisipasi politik dalam Pilkada menjadi catatan tersendiri bagi ICMI Muda Kab. Cirebon. Apakah mekanisme Pilkada telah betul-betul menjamin orang bisa menyalurkan hak politiknya. Ataukah baru sebatas semangat, sebab masih adanya regulasi dan praktik-praktik penyelenggaraan Pilkada yang masih menyisakan hambatan bagi penyaluran hak politik seseorang.
Kecenderungan rendahnya parisipasi politik itu, dikaji oleh ICMI Muda Kab. Cirebon dalam seminar yang bertajuk : “Menakar Ulang Partisipasi Masyarakat di Era Pemilihan Langsung” pada hari Kamis (21/02) di Hotel Apita Green Cirebon. Seminar merupakan rangkaian kegiatan dari acara pelantikan dan rapat kerja pengurus Majlis Pimpinan ICMI Muda Daerah Kab. Cirebon masa khidmat tahun 2007-2012 dengan menghadirkan pembicara : Jerry Sumampow (Kornas JPPR), Drs. Makky Yuliawan, S.H.,M.H., (Praktisi Hukum dan Ketua Umum ICMI Muda Jawa Barat), dan Dr. H. Nuruddin Siradj, M.Si (Politisi, Wkl. Ketua DPRD Kab. Cirebon).
Dalam perspektif JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat), Jerry Sumampow mengungkapkan tingginya angka pemilih yang tidak menyalurkan suaranya di TPS disebabkan banyak faktor. Salah satunya dipicu DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang bermasalah. “pendataan pemilih ini adalah problem sistemik yang melibatkan dua pihak yakni pemerintah (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) dan KPU” tutur Jerry. DP4 sebagai sumber DPS (Data Pemilih Sementara) tidak didata ulang. Sementara verifikasi oleh KPU dilakukan dalam kurun 1 bulan. Karena itu menurut Jerry validitas data pemilih tidak kuat. Belum lagi, DPS hanya dipublikasikan selama 3 hari sehingga banyak warga yang tidak tahu dirinya sudah terdaftar atau belum. Singkatnya masa verifikasi dan publikasi DPS ini dikritik Jerry sebagai salah satu bentuk keterbatasan regulasi (undang-undang) Pilkada. “ini persoalan serius sebab berarti substansi hak memilih dipangkas undang-undang” katanya. Selain DPT, pemicu lain sebagian masyarakat tidak menyalurkan aspirasinya terkait problem proses pencalonan kandidat Bupati/Gubernur di tubuh partai. Menurut Jerry calon itu dibelenggu partai. Partai cenderung subyektif dalam memutuskan calon. Aspirasi dari bawah seringkali tidak diakomodir. Banyak calon yang diusung Partai ditingkat cabang / ranting tidak sesuai dengan rekomendasi DPP. Dalam catatan JPPR keterbatasan alternatif calon ini turut mendorong angka Golput tinggi. “ini pun termasuk salah satu bentuk pengekangan hak politik rakyat” ungkap Jerry.
Sementara Drs. Makky Yuliawan, S.H.,M.H., menyoroti kapasitas calon pemimpin daerah. Makky mengkritik banyaknya calon pemimpin instan yang muncul tiba-tiba. Tidak heran jika masyarakat kurang respek terhadap Pilkada sebab banyak calon tidak pernah bersentuhan langsung dengan mereka sebelumnya. Berbicara Pilkada dalam konteks hukum, menurut Makky setidaknya menyangkut hal : apakah regulasi / UU politik sudah bisa mengakomodir atau belum, serta soal konsistensi penegakan hukum. “KPU atau penyelenggara Pilkada tidak akan absolut ketika kedua hal itu belum optimal” katanya.
Dr. H. Nuruddin Siradj, M.Si mengamati fenomena kemunculan pemilih tradisional, khususnya diwilayah Cirebon. Pemilih type ini cenderung memilih karena didorong-dorong oleh tokoh-tokoh tertentu. Bukan atas motivasi sendiri dan pilihan cerdas. “kacaunya lagi tokoh yang mendorong-dorong itupun sebetulnya gak ngerti juga “ kata Nuruddin. Untuk itu ia berharap JPPR tidak sekedar memantau, tetapi aktif melakukan pendidikan politik secara kontinyu terhadap rakyat. Jika pemilih menentukan pilihannya secara rasional dan cerdas, Nuruddin yakin potensi konflik dan kekacauan Pilkada bisa diminimalisir.[add]