Indonesia adalah negara anggota PBB yang telah meratifikasi covenan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Karena itu di negeri ini, kebebasan beragama sungguh dijamin oleh negara dengan segala konstitusinya. Pemerintah Daerah dan Pusat harus mampu menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Itu idealnya. Tetapi kenyataanya, fakta berbicara bahwa masih banyak diskriminasi bahkan tindak kekerasan terhadap satu kelompok masyarakat dengan mengatasnamakan agama. Ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung.
Karena itulah kita bertemu dalam rangka konsolidasi dan penguatan-penguatan bersama untuk menangani masalah kekerasan atas nama agama. Demikian dikatakan oleh Gatot Irianto, pimpinan LBH Bandung, dalam pertemuan Jaringan Masyarakat Cirebon Cinta Damai (JAMACICIDA), yang diselenggarakan pada 27 Maret 2008 di Hotel Bentani Kota Cirebon.
Pertemuan yang berlangsung seharian itu diikuti oleh 70 peserta lebih. Mereka ini terdiri dari utusan berbagai kelompok pro kerukunan beragama yang bukan hanya berasal dari wilayah III Cirebon, tetapi juga dari Jawa Barat. Dari wilayah III Cirebon hadir peserta perwakilan dari Fahmina Institute, Forum Lintas Iman Cirebon, Lakpesdam NU Cirebon, Lakpesdam NU Indramayu dan Lakpesdam NU Majalengka, juga PMII kab. Cirebon. Dari Bandung hadir LBH Bandung, Jaringan Kerja Pemantauan dan Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (PAKBB), dan Gereja Kristen Pasundan (GKP). Dari Jakarta, hadir perwakilan PP Lakpesdam NU. Hadir juga dalam pertemuan itu beberapa anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan KH. Maman, pengasuh pesantren Al-Mizan Majalengka, serta Sunarno dari Kajari, tepatnya Kasubsi Bidang Politk dan Inteljen Cirebon.
Salah seorang peserta dari JAI, menyatakan bahwa pertemuan ini selain bertujuan untuk bersilaturrahmi juga dalam rangka membangun kesadaran bersama untuk menjaga kesatuan dan keutuhan NKRI. Selain itu, menurut Fahmina dan Laskpesdam Cirebon, target pertemuan ini adalah adanya upaya untuk mendorong aparatur negara agar menjamin kebebasan beragama, sesuai dengan konstitusi yang ada. “Jadi pertemuan ini tidak lain, kecuali hendak membantu aparat negara untuk menjalankan tugasnya melindungi masyarakat untuk tetap bebas beragama dan berkeyakinan, tidak ada unsur kekerasan di dalamnya”, tegas Gatot dari LBH.
Pertemuan ini diawali dengan sedikit paparan JAI mengenai nasibnya yang belakangan cenderung menjadi sasaran diskriminasi, bahkan tindak kekerasan sekelompok masyarakat yang selalu saja mengatasnamakan agama mayoritas yang ada di Indonesia. “Saya bingung, aparat dalam hal ini terkesan tidak tegas pada kelompok pelaku kekerasan. Alasannya mereka kan mayoritas dan banyak. Padahal kalau bicara Indonesia, maka yang maentream, atau mayoritas Islam Indonesia adalah NU atau Muhammadiyah. Rasanya orang-orang NU dan Muhammadiyah telah lama kenal dan bergaul dengan kami”, kata seorang peserta dari JAI yang hadir.
Senada dengan JAI, Heru dari Forum Lintas Iman Cirebon (Forum Sabtuan): “Selain Ahmadiyah, kami dari Kristen Protestan juga sering korban, tapi belum ada sikap tegas dari aparat kepolisian”. Karena itu ia meminta agar pertemuan ini merekomendasikan untuk mendesak pihak berwenang agar menegakkan hukum dan menjalankan tugasnya dengan tegas.
Menanggapi hal itu, Kasubsi Bidang Politik dan Inteljen dari Kajari Cirebon menyatakan bahwa, sesungguhnya pihaknya mendukung sosialisasi terkait dengan kebebasan beragama dan berkaykinan. Selama ini, menurutnya, kejaksaan dan apatur negara telibat dalam menjamin kebebasan ini dalam bentuk pencegahan (preventif) tindak kekerasan atas nama agama dan juga melakukan kerjasama dengan tokoh-tokoh agama yang ada. Ia mengakui bahwa dalam beberapa hal, aparat masih banyak kekurangan. Karena itu ia meminta kerjasama dengan seluruh peserta yang hadir untuk memberikan data-data yang valid dan akurat mengenai pelanggaran hak kebabasan beragama atau tindak kekerasan yang terjadi.
Sementara itu KH. Maman menyarankan agar sebaiknya JAI mendekat dan sowan ke kiai-kiai sepuh NU yang alim, bijak, ramah dan tidak garang. “Sudah lama kiai-kiai NU yang santri dan pengkutnya ada di mana-mana ini, kenal dekat dengan Ahmadiyah. Saudaranya Wahid Hasyim sendiri ada yang Ahmadiyah dan ikut memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaan negeri ini”, kata KH. Maman. Lebih jauh ia menyatakan: “Saya baru saja mengikuti pertemuan Kiai-Kiai sepuh se Indonesia di Wahid Institute yaangbertujuan mencegah kekerasan berbasis agama. Dari pertemuan itu saya tahu, banyak sekali sesungguhnya kiai yang tidak setuju dengan tindak kekerasan yang dilakukan kelompok garis keras di Indonesia. Karena itu, saya sarankan Ahmadiyah agar merapat ke kiai-kiai NU”.
Setelah paparan JAI dan diskusi para peserta, dengan difasilitasi PP Lakpedam NU, para pesrta kemudian berusaha merumuskan beberapa hal strategis. Seperti pembentukan forum, jejaring, dan beberapa rencana ke depan. Hamzah dari PP Lakpesdam menjelaskan bahwa, pertemuan ini adalah lanjutan dari pertemuan tgl 12 Maret di PP Al-Mizan Majalengka. Saat itu hadir Jaker PAKBB, Fahmina, Lakpesdam se wilayah III dan Lakpesdam Garut dan Tasikmalaya, LBH Bandung, KH. Maman dan beberapa anggota JAI. Pertemuan di Majelangka itu terselenggara dalam rangka mengatisipasi tindak kekerasan berbasis agama yang belakangan marak. “Dari pertemuan itu kemudian disepakati pertemuan kali ini”, kata Hamzah.
Selanjutnya peserta berdiskusi merumuskan berbagai langkah yang mungkin ditempuh, baik dalam waktu dekat maupun rencana jangka panjang yang lebih strategis. Dari hasil rumusan bersama kemudian disepakatilah beberapa hal. Diantaranya adalah seluruh peserta yang hadir sepakat untuk membikin forum bersama yang dikoordinatori oleh KH. Maman. Disepakati juga bahwa forum akan melakukan sosialisasi beragama secara damai berkaitan dengan Pilkada Jawa Barat yang akan segera dilaksanakan. Forum juga menyepakati akan bertemu sebulan lagi dan membahas langkah-langkah pengorganisasian yang lebih matang. (AM)